Pemilik penginapan yang telah dirasuki oleh roh iblis membuka pintu kamar Mizel. Langkahnya berat, suara derit lantai kayu menyertai setiap gerakannya. la masuk lebih dulu. diikuti oleh lima pria berbadan besar dengan mata bersinar di kegelapan, wajah penuh seringai jahat. Sama seperti pemilik penginapan, tubuh mereka juga telah dirasuki roh iblis. Di luar bangsa iblis lainnya menunggu giliran dengan sabar, tawa mereka terdengar seperti bisikan menyebarkan teror.
"Hahaha! Katanya naga hebat? Lihat, di tangan Brakasa, semuanya binasal" Pemimpin mereka, pria paling besar dengan otot seperti baja, mengaum bangga, la memberi isyarat kepada anak buahnya. "Habisi dia. Biar kubawa kepalanya sebagai trofi."
Kelima pria itu maju perlahan. langkah mereka memancarkan ancaman. Tapi sebelum mereka sempat mendekat. Mizel. yang semula terlihat tidur tenang di atas kasur, melompat berdiri dalam gerakan secepat kilat.
"Kalian salah memilih lawan."
Tanpa peringatan, kakinya melesat ke depan. menghantam wajah salah satu dari mereka dengan kekuatan yang cukup untuk meretakkan tulang. "DUKI" Tubuh pria itu terlempar ke belakang, menghantam tembok dengan keras hingga retak. Mizel bergerak seperti bayangan. kakinya menghantam satu per satu pria-pria itu. Dalam sekejap, suara "DUGI DUGI DUG!" memenuhi ruangan. Tubuh mereka tergeletak tak bergerak, darah segar mulal merembes dari luka-luka mereka.
Meski mereka berbadan besar, Mizel adalah naga. Kekuatan tubuh manusia yang dimilikinya tidak akan kalah dengan tubuh asli. Fisiknya memiliki daya serang sangat kuat.
Di luar kamar, roh iblis yang merasuki tubuh Faun mendengar keributan itu. la salah paham. mengira kawan-kawannya tengah menghajar Mizel dengan kejam.
"Hey, jangan habisi dia dulu! Kami juga ingin bersenang-senang!" teriaknya sambil tertawa.
Namun, suara langkah di atas kepala mereka membuat semuanya mendongak. Di sana. Mizel bergelantung di langit-langit seperti predator mengintai mangsanya.
"Benarkah? Kalau begitu, giliran kalian sekarang." ujarnya dingin.
Sebelum mereka sempat bereaksi. Mizel meluncur turun. Kakinya menghantam kepala Faun, suaranya bergema keras seperti palu menghantam baja. "DUGG" Tubuh korban itu langsung ambruk ke lantai.
Mizel bergerak cepat, seperti bayangan halus tak tersentuh . Tangannya menyambar bahu lima wanita penghibur, lalu menghantamkan kepala ke lutut dengan kekuatan brutal. Sementara itu. dua Faun lainnya mencoba menyerang dari belakang, tapi Mizel berputar dengan lompatan akrobatik, kedua kakinya menendang dada mereka. dengan keras.
"BUAKKI BRAAKI"
Mereka terlempar dan menghantam pagar pembatas koridor, lalu jatuh dari ketinggian tiga lantai.
Salah satu dari mereka, pria kurus berotot memiliki sayap burung dengan cakar yang tajam mencoba menyerang, Mizel menangkap lengannya menggenggam dengan kuat sebelum cakar itu sempat menyentuhnya, lalu ia pelintirkan hingga terdengar bunyi "KRAKK!" teriakan kesakitan menggema.
Mizel memegang leher pria itu lalu menghantamkan kepalanya berkali-kali ke dinding.
"Bangsa iblis atau bukan, kalian tetap lemah." gumam Mizel dengan suara dingin.
Dalam waktu singkat, tubuh-tubuh yang dirasuki mulai dari Harpy, Faun, Arachne, hingga makhluk-makhluk lain yang tidak dikenali Mizel, tergeletak tak berdaya di lantai. Tubuh mereka berserakan di tengah genangan darah. Mizel berdiri di tengah kekacauan yang ia ciptakan, napasnya tetap tenang. Matanya memancarkan kilatan dingin penuh kemenangan.
Namun, suara langkah ringan di belakangnya membuat Mizel menoleh. Sesosok dirinya yang lain keluar dari kamar dengan santai, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Benar, sejak awal Mizel asli tidak pernah meninggalkan kamar itu. Setelah menghajar pemilik penginapan dan teman-temannya, ia hanya berbaring di dalam.
Lalu, siapa yang menghancurkan roh-roh iblis di luar?
Itu adalah klon Mizel, tubuh sihir yang ia ciptakan segera setelah lampu dimatikan.
"Sudah selesai?" tanya Mizel asli tanpa menoleh, nada suaranya datar namun tegas.
"Sudah," jawab klon itu singkat, dengan suara yang hampir tidak beremosi.
Mizel merentangkan tangannya perlahan. Klon itu bergerak maju dan menyatu kembali ke tubuh aslinya dalam kilatan cahaya redup, meninggalkan penginapan yang kini diliputi sunyi.
Setelah memastikan tidak ada ancaman lagi, Mizel bergerak. Ia mendobrak setiap pintu di lorong mencari ruangan kosong yang nyaman, langkahnya mantap hingga ia menemukan kamar sesuai. Begitu masuk, ia menutup pintu dan menguncinya dengan mantra sihir sederhana.
Dari cincin penyimpanannya, Mizel mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan biru terang. Ia membuka tutup botol itu dan menuangkan isinya ke lantai, cairan itu segera menyebar membentuk pola bercahaya yang rumit dan memancarkan sinar lembut ke sekeliling ruangan.
Tanio duduk di tepi ranjang, jemarinya dengan lembut menepuk-nepuk punggung Neyla yang terbungkus selimut hangat. Napas kecil Neyla teratur, melodi lembut yang menenangkan di tengah malam yang hening. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik. Tanio merasakan sesuatu seperti bisikan halus yang menyusup ke dalam pikirannya, dingin dan mendesak. Panggilan itu bukan suara biasa ia tahu pasti ini ulah Mizel. Ramuan pemanggil yang pernah ia berikan kepada Mizel untuk keadaan darurat akhirnya digunakan, meski selama ini ia tak pernah mengira Mizel akan benar-benar memanfaatkannya.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya, pikiran bahwa Mizel membutuhkan bantuan membuatnya khawatir, Naga di buat terdesak bukan lah hal biasa. Dengan hati-hati ia membetulkan selimut Neyla, menariknya hingga menutupi dada gadis kecil itu. Ia menunduk sejenak, memperhatikan wajah Neyla yang damai, kemudian beranjak perlahan. Gerakannya begitu lembut takut bila mengganggu mimpi indah anak itu.
Pintu kamar berderit pelan saat ia membukanya. Ia menoleh sebentar memastikan Neyla tetap terlelap sebelum melangkah keluar dan menutup pintu dengan hati-hati. Kunci pintu diputar tanpa suara, lalu diselipkannya ke dalam saku.
Tanio berdiri di lorong, udara malam menyentuh kulitnya seperti sapuan dingin bagai peringatan. Ia mengulurkan tangannya dan cahaya tipis mulai muncul dari ujung jari. Gerakannya cepat dan terlatih, membentuk pola rumit di udara. Simbol-simbol spiritual terpancar di sekelilingnya, memancarkan aura lembut penuh energi.
Mulutnya bergerak, melafalkan mantra dengan irama tenang penuh ketegasan. Bisikan mantra itu terdengar seperti melodi kuno yang membawa kehidupan pada simbol-simbol bercahaya. Cahaya semakin kuat, hingga akhirnya membentuk lingkaran teleportasi sempurna di bawah kakinya. Tanio memejamkan mata sejenak, memusatkan pikiran dan dalam sekejap tubuhnya lenyap, meninggalkan lorong yang sunyi.
Pada saat bersamaan di tempat Mizel
cahaya dari pola membesar, mengisi ruangan dengan kilauan biru keperakan. Sosok Tanio mulai muncul perlahan di tengah pola.
"Kukira kau tidak akan memanggilku," ujar Tanio dengan senyuman cerah ketika cahayanya perlahan mereda. Tanio lega, situasinya tidak se-darurat ia kira.
"Kita tidak punya banyak waktu," jawab Mizel dengan nada tegas, tanpa menyembunyikan rasa lelahnya. "Baru saja aku diserang, dan sekarang aku butuh istirahat. Jadi, ayo cepat kembali."
Mizel melangkah ke dalam pola tanpa keraguan, bersiap menyelesaikan urusannya.
"Baiklah," jawab Tanio pasrah, meski sedikit tersenyum kecil.
Pola itu kembali memancarkan cahaya terang, menyelubungi keduanya dalam gelombang energi yang semakin kuat. Dalam hitungan lima detik, Mizel dan Tanio menghilang bersama pola bercahaya itu, meninggalkan ruangan kosong yang memancarakan kesunyian dan kegelapan.
Mereka tiba dengan selamat di rumah Tanio. Cahaya biru redup perlahan menyelimuti lorong kosong, membentuk bayangan mereka yang sempat memudar di antara dimensi. Dalam sekejap, cahaya itu lenyap, dan lorong kosong kembali terisi oleh kehadiran mereka.
"Tan, aku langsung ke kamar. Ngantuk." Mizel melangkah malas tanpa basa-basi, sambil meregangkan tubuhnya yang terasa lelah.
Tanio menatapnya dengan alis terangkat, sedikit kesal. "Setidaknya ucapkan terima kasih!" serunya dengan nada mengingatkan.
Mizel menghentikan langkahnya sejenak, menoleh setengah hati. "Terima kasih," balasnya singkat, tanpa benar-benar menatap Tanio, lalu melanjutkan langkahnya ke kamar.
Tanio hanya bisa menghela napas panjang, tangan terlipat di dada. "Huh, untung sahabat," gumamnya pelan, setengah bercanda, setengah pasrah.
Ia sempat menatap pintu kamar Mizel yang baru saja tertutup, merasa sedikit kecewa. 'Padahal aku ingin menunjukkan Pedang Api padanya,' pikirnya, membiarkan ide itu mengendap dalam benak. Akhirnya, ia memutuskan, 'Besok saja.'
Dengan langkah santai, Tanio beranjak dari lorong menuju kamarnya sendiri, membiarkan keheningan malam kembali menyelimuti rumah itu.