Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 18 - Neyla

Chapter 18 - Neyla

Matahari menyingsing begitu cerah, sinarnya yang lembut menyapa ceria siapa saja yang menyambut pagi. Diantara banyak makhluk di dunia ini, Neyla gadis kecil dan menggemaskan baru saja terbangun dari mimpi indah yang menghadirkan kebahagiaan di hatinya.

gerakannya begitu riang ia merapikan tempat tidur, membuka jendela, mandi dan kini saat nya mengenakan pakaian ia berkacak pinggang di depan lemari. "hari ini tema apa ya?" Nayla bergumam sendiri, terdapat belasan lembar pakaian tergantung rapi menyesuaikan ukuran. Bibirnya cemberut karena bingung, tak lama kemudian matanya tertuju pada gaun selutut dengan nuansa manis berwarna peach dan putih.

"Ha!"telunjuknya terangkat, matanya berbinar,

"Tema kelinci!" seru Neyla, wajahnya kembali ceria, dengan semangat ia mengenakan gaun pilihannya.

Usai mengenakan pakaian Neyla berjalan menuju kamar Tanio.

Kaki kecilnya menciptakan nada Indah setiap melangkah, tangannya bergoyang seirama. sampai di depan pintu kamar tanio tangan mungilnya terangkat,

'Tok-tok-tok'

"selamat pagi kakek Tanio!" suara Neyla melengking penuh semangat, menggema ke seluruh ruangan memecah keheningan.

"Waktunya bangun! kita harus jemput paman Mizel loh," lanjutnya sambil menempelkan telinga ke pintu menanti dengan tak sabar.

"kakek!"Neyla menurunkan satu oktaf nadanya.

"ya..." terdengar suara serak Tanio dari dalam kamar.

"hihihi..!" Neyla terkekeh menampilkan deretan giginya.

"Ney tunggu di dapur ya?!" teriak Neyla sambil melompat bahagia.

"yah, "balas Tanio seadanya.

Nayla langsung berlari riang meninggalkan kamar Tanio.

pagi terasa begitu nikmat, Sinar hangat matahari masuk melalui jendela dan pintu dapur, menerangi meja makan yang penuh dengan dentingan sendok bercampur coletehan Neyla dan tawa pecah Ekal. Dari luar burung-burung bersiul merdu tak ingin kalah memeriahkan suasana. Mereka tidak hanya duduk berdua ada Tanio yang terkadang ikut terkekeh dan Martha sesekali melemparkan candaan.

"Teruskan! tangan Neyla keluar air, seperti ini!" seru Neyla penuh semangat, ia berdiri di atas bangkunya lalu merentangkan kedua tangan ke atas dengan wajah serius.

"Curr... Penjahat langsung kalah! Terlempar jauhh.. Sekali!" Lanjutnya.

Ekal terbahak-bahak hingga ujung matanya ber air "hahaha! lucu sekali!" Lucu yang di maksud adalah cara Neyla memperagakan aksinya.

"kenapa lucu, itu kan hebat. "Neyla menatap Ekal dengan wajah cemberut, sementara Ekal tetap tertawa tidak merasa terintimidasi sama sekali. Martha ikut terkekeh melihat tingkah laku Neyla, lalu mencubit pipi gadis kecil itu gemas.

Tanio membelai kepala Neyla lembut "iya Neyla hebat! memang pahlawan kita," katanya menenangkan Neyla.

Neyla mengangguk mantap merasa pujian sudah pantas ia dapatkan, "kalau kalian butuh bantuan, panggil saja Neyla. Biar Neyla berantas semua kejahatan!" katanya secara lantang, membuat seluruh dapur kembali dipenuhi tawa riang.

Tawa mereka mendadak terhenti saat Mizel muncul dengan wajah kusut seperti baru bangun tidur, ruangan yang riuh seketika hening. Neyla melongo sementara Ekal dan Martha menatap Mizel tak percaya.

"PAMAN!" Seru Neyla penuh semangat, Ia berlari ke arah Mizel dan langsung memeluknya erat.

Mizel tersenyum lembut dan mengangkat Neyla ke dalam gendongannya. "halo sayang, kangen ya?" tanya-nya hangat ia menampilkan senyuman khasnya membuat suasana sedikit mencair.

namun, tiba-tiba Neyla menangis keras "Huaaa..."

"oh, kenapa menangis? nggak senangnya Paman pulang?" tanya Mizel bingung sambil mengayunkan tubuh Neyla pelan untuk menenangkannya.

"senang..."sahut Neyla terbata-bata masih terisak, Mizel terkekeh pelan.

"sejak kapan kau pulang? "tanya Ekal penasaran.

"semalam, "jawab Mizel singkat.

"kakek kenapa nggak bilang kalau Paman sudah pulang," giliran Tanio yang mendapat pertanyaan dari Nayla dengan alis mengkerut ingin tahu.

pertanyaan itu langsung membuat semua orang mengangguk setuju, menunjukkan bahwa mereka juga penasaran.

"kan nggak seru kalau dikasih tahu, harus ada kejutan. "Tanio tersenyum lembut pada Neyla, sementara Neyla sekali lagi cemberut tanda tak suka. Ekal tidak bertanya lagi bagaimana cara Mizel ke sini dalam waktu semalam. Mereka punya penyihir hebat, matanya melirik tanio 'teleportasi bisa digunakan kapan saja,' pikirnya.

"ngomong-ngomong, kalian sudah mendapatkan pedang naga?" Mizel bertanya sambil melirik mereka satu persatu, ekspresinya berubah serius. "Jangan sampai tidak, aku bahkan membunuh semua bangsa iblis yang datang ke desa Oreon beserta warganya demi pedang itu."

"Ya-"Tania hendak menjawab namun kalimatnya terputus saat Martha tiba-tiba berseru.

"APA?" Ia terkejut terkejut.

Mizel melanjutkan dengan santai."yah, aku memang tidak membunuh mereka secara langsung tapi, kuanggap begitu karena kura-kura raksasa mengamuk akibat apiku, "ia lalu meraih roti milik Ekal tanpa izin dan mulai memakannya. Ekal hendak protes namun Mizel langsung melototinya.

Alih-alih sedih atau marah, Martha justru tersenyum lebar. "Terima kasih banyak! Aku tidak menyangka akhirnya mereka semua mati. meski aku menyayangkan kematian pemilik toko tempatku bekerja tapi tidak masalah, Dia juga salah satu orang yang membunuh ibuku. ku anggap ini sebagai hutang budi jangan sungkan jika kau membutuhkan bantuanku." Martha mengedipkan sebelah matanya.

Mizel menyeringai kecil. "Akan kuingat."

setelah itu, ia memberikan kode kepada Tanio agar melanjutkan perkataan yang sempat tertunda. "Nanti kita bahas lebih detail di ruanganku, sekarang duduklah ayo sarapan bersama. "

Mizel mengangguk setuju lalu mengambil kursi santai dari luar dan bergabung di meja makan, sarapan pun kembali berlanjut ditemani suasana yang lebih hangat.

Usai sarapan mereka memutuskan untuk berpisah, Martha membawa Neyla ke halaman untuk melatih kekuatan barunya, sementara Tanio, Mizel, dan Ekal berkumpul di ruang kerja. Tanio duduk di meja, Ekal di sofa, dan Mizel bersandar di ambang jendela, pandangannya menerawan jauh.

"Jadi, Chiron benar-benar memberikan kotak khusus untuk Pedang Naga itu?" Tanya Mizel, nada suaranya penuh kebingungan. Sejak tadi, Tanio menceritakan semua tentang bagaimana mereka mendapatkan Pedang Naga, tetapi penjelasan itu meninggalkan banyak pertanyaan di benak Mizel.

"Ya," jawab Tanio, suaranya tenang sekaligus serius. "Malam itu, ketika aku mencari lokasi Desa Oreon bersama Ekal, sebenarnya aku tidak pulang ke sini. Aku pergi menemui Chiron. Aku meminta sesuatu darinya, benda yang bisa menjadi rencana cadangan kalau Pedang Naga tidak memilih di antara kita."

Ekal yang duduk di sofa hanya menyimak, pandangannya bergantian antara Tanio dan Mizel.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" Mizel bertanya lagi, tapi kini nadanya berubah lebih sinis. "Chiron bilang Pedang itu akan memilih salah satu di antara kita, kan? Haruskah aku menunjukkan kekuatanku sekarang supaya dia menentukan pilihannya?"

Tanio menghela napas, mencoba tetap sabar. "Mizel tenanglah, kau masih terlihat emosi. Apa pertarunganmu kemarin belum cukup memuaskan?"

Mizel mendengus, wajahnya penuh kekecewaan. "Kalau saja kau tidak mengambil Pedang itu mungkin kita sudah tahu siapa yang di pilih sejak awal," katanya tajam.

"Sudahlah," Tanio mencoba meredakan ketegangan. "Hari ini kita akan menemui Chiron, kita minta petunjuk darinya. Tapi sekarang lakukan kegiatan kalian dulu. Aku ingin menghubunginya. Nanti, kalau waktunya tiba aku akan memanggil kalian."

Mizel tidak berkata apa-apa lagi, dia beranjak keluar dari ruangan diikuti oleh Ekal. Namun, sebelum pintu tertutup rapat Ekal sempat melirik ke belakang, melihat Tanio yang menghela napas panjang.

Di lorong, Ekal mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Mizel. "Mizel, seharusnya kau tidak menyalahkan Tanio," katanya pelan. "Malam itu, kobaran api ada di mana-mana. Kami semua panik. Kebetulan Tanio punya cara cepat, jadi kami langsung menggunakannya."

Mizel tetap diam ia terus berjalan tidak ingin mendengarkan, keheningan di antara mereka membuat Ekal merasa canggung.

Tiba-tiba Mizel berhenti, dia berbalik menatap Ekal. "Pada saat itu, apa Pedang Naga menunjukkan tanda-tanda? Apakah dia bergerak sendiri, memancarkan energi, atau semacamnya?"

Ekal berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak ada. Selain bersinar terang dengan cahaya merah," jawabnya, jujur.

Mizel menatapnya tajam, sedang mencari kebohongan di mata Ekal. Tapi yang dia temukan hanyalah kejujuran.

"Aneh," gumam Mizel. "Kalau memang pedang itu tertarik padaku, dia seharusnya menunjukkan reaksi. Aku sudah mengeluarkan kekuatanku saat itu."

Ekal terdiam, perkataan Mizel membuatnya berpikir. Tapi sebelum dia sempat menjawab Mizel sudah melangkah pergi, meninggalkan Ekal sendirian di lorong.

"Kalau begitu, Tanio atau aku?" gumam Ekal pelan pada dirinya sendiri. "Dugaan terakhir tidak mungkin... Aku adalah manusia. Mana mungkin aku bisa mengendalikan Pedang Naga." Ekal rasa, apa yang di katakan Mizel ada benarnya.