Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 12 - Pendatang

Chapter 12 - Pendatang

Tak ada yang tahu warna langit saat itu, karena tak ada pemandangan lain selain sel-sel penjara yang gelap, diterangi cahaya obor yang temaram.

"Kenapa Chiron mengatakan kalau aku hanya sedikit berguna? Maksudku apa aku bukan pemeran utama seperti cerita novel-novel isekai? Kalau aku hanya sedikit membantu, kenapa aku dimasukkan ke dunia ini? Padahal ada seseorang yang mendorong, aku sangat yakin. Aku pasti lebih berguna. Mungkin ke depannya aku akan mendapatkan kekuatan yang sangat dahsyat," gerutu Ekal.

Semakin lama bersama Ekal, semakin jelas sifat aslinya: cerewet, suka mengeluh, dan penuh angan-angan. Mizel memutar bola matanya, menyandarkan kepala ke dinding dingin di belakangnya. Kalau dia seorang wanita, aku pasti sudah melemparkannya ke laut sejak hari pertama.

"Kau hanya pemeran pembantu, sekadar penambah plot cerita," jawab Mizel singkat, dengan nada yang terdengar malas.

Langkah kaki mendadak terdengar menapak di lantai koridor yang kosong. Suara itu begitu halus namun cukup jelas untuk membuat Mizel dan Tanio saling bertukar pandang, masing-masing berusaha menilai situasi.

Seorang wanita muncul dari kegelapan tangga. Wajahnya dingin, namun sorot matanya tajam mengamati mereka. Mizel langsung memasang sikap defensif, kedua tangannya bersilang di depan dada.

"Ada lagi. Apa yang satu ini pelayanan khusus?" gumam Mizel, ekspresinya mencerminkan kelelahan yang semakin menjadi.

"Tidak, aku berbeda dengan mereka. Apa kalian berasal dari luar pulau?" Wanita itu bertanya dengan nada datar, pandangannya bergeser dari Mizel ke Tanio.

"Yah, benar," jawab Tanio, tetap tersenyum ramah meskipun situasi terasa aneh.

"Kukira pelayanan khusus sebelum dijadikan tumbal," ujar Mizel sambil mendengus kecil.

"Haha, benar, pelayanan khusus, tapi bukan untuk dijadikan tumbal. Dengar, aku akan segera melepaskan kalian dari sini, tapi kalian harus berjanji untuk mengeluarkan aku dari pulau ini," ujar wanita itu, seraya mendekati jeruji besi.

Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tangannya, melantunkan mantra yang langsung menghapus segel anti-sihir. Jeruji besi di hadapan mereka perlahan melengkung, membuka jalan keluar.

"Keluar? Bisa, tapi kami harus mengambil Pedang Naga terlebih dahulu. Oh ya, namaku Caldestin Bumantara, panggil saja Ekal," kata Ekal, sambil menjulurkan tangannya.

"Namaku Martha. Pedang Naga? Apa maksudmu Pedang Sphinix? Aku tahu di mana mereka menyimpan benda itu. Mau kuantarkan?" balas Martha, menerima jabatan tangan Ekal.

"Untunglah kita bertemu orang yang tepat. Namaku Mizel, dan ini keponakanku, Neyla," tambah Mizel, menyusul untuk berjabat tangan.

"Namaku Tanio. Apa kita tidak bisa lebih cepat? Sebentar lagi pasti ada penjaga patroli," ucap Tanio sambil memperkenalkan diri.

"Yah, mari ikut saya. Pedang Sphinix disimpan di bukit belakang. Aku tidak bisa menggunakan portal ke sana, tapi aku bisa menggunakan mantra transparan," kata Martha, lalu mulai merapal mantra. Tubuh mereka berubah transparan, menyatu dengan bayangan di sekitarnya, meski suara langkah mereka masih terdengar samar.

"Sebelum itu, bisa tolong bantu untuk mendapatkan barang kami kembali?" tanya Ekal.

"Ya, bisa. Barang sitaan pasti ditaruh di ruangan pengawas," jawab Martha, setuju tanpa ragu.

Mereka naik tangga dengan hati-hati. Martha memimpin jalan, melangkah dengan cekatan, sementara yang lain mengikuti di belakang.

"Tak menempatkan penjaga untuk tahanan? Ceroboh sekali," bisik Ekal sambil mengamati sekeliling.

"Semua penjaga berada di pos desa. Mereka berjaga di sana," jawab Martha cepat, nadanya sedikit cemas.

"Benarkah? Mereka benar-benar takut bangsa iblis datang menyerang," ujar Ekal santai, seolah tak peduli dengan situasi.

Martha tertegun. Tatapannya beralih ke Ekal, mencari tanda-tanda ketakutan di wajahnya, tapi tidak menemukannya. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya bergetar pelan.

Ekal tidak menjawab, hanya terus berjalan. Martha beralih memandang Mizel, yang membalas dengan anggukan malas, dan Tanio yang tersenyum santai.

"Terserah apa yang telah kalian lakukan dan siapa kalian. Yang penting kalian harus membebaskan aku dari pulau ini," gumam Martha, nada suaranya bercampur pasrah dan tekad.

Mereka tiba di ruangan pengawas tanpa hambatan. Martha membuka pintu dengan mantra sederhana. Ekal langsung mengambil ranselnya dan peralatan pertahanan diri, termasuk laser kecil.

"Sudah tidak ada lagi?" tanya Martha, memastikan.

"Sudah, semua sudah siap," jawab Ekal yakin.

Namun, sebelum mereka sempat melangkah keluar, suara langkah berat terdengar mendekat. Sekumpulan prajurit berlari ke arah ruang bawah tanah, suara mereka memecah keheningan.

Martha membeku. "Jangan menimbulkan suara!" bisiknya dengan nada mendesak.

Mereka berlima perlahan bergerak keluar dari rumah, menyelinap di antara bayangan, berharap para prajurit itu tidak memperhatikan keberadaan mereka.

Pada periode tertentu, para penyihir pemuja Pedang Sphinix melakukan ritual persembahan berupa darah dari bangsa-bangsa immortal. Kenapa harus darah? Kenapa tidak organ tubuh saja? Menurut kepercayaan mereka, darah adalah simbol kemenangan, kekuatan, dan kehidupan—elemen penting yang dianggap mampu memperkuat Pedang Sphinix.

Para penyihir menggunakan darah itu untuk memandikan atau 'mensucikan' Pedang Sphinix. Ritual ini dipercaya mampu menambah kekuatan magis pada pedang tersebut. Kepercayaan mereka menyatakan bahwa Pedang Sphinix bukan sekadar senjata biasa, melainkan benda magis yang menyimpan roh dewa di dalamnya. Roh ini dianggap sebagai pelindung desa, yang membawa ketenteraman dan kemakmuran bagi mereka.

Setelah lima puluh tahun dalam keadaan dorman, lima hari yang lalu, Pedang Sphinix kembali memancarkan cahaya merah terang pertanda bahwa ia kembali 'lapar' dan membutuhkan darah segar untuk memulihkan kekuatannya. Kebetulan, para penyihir berhasil mendapatkan tangkapan besar: tiga bangsa naga dan satu penyihir immortal. Menurut perhitungan mereka, jika keempat makhluk ini dipersembahkan, desa Oreon akan terlindungi dan makmur setidaknya selama ratusan tahun ke depan.

Namun, masalah mulai muncul. Bastian, seorang 'nelayan' yang bertugas menangkap makhluk-makhluk ini, ditemukan tewas secara misterius. Lebih buruk lagi, salah satu 'tangkapan' mereka membawa kabar buruk: bangsa iblis telah mengetahui keberadaan mereka dan tengah mendekati desa.

Meski kepala desa Oreon berusaha meyakinkan warganya bahwa mereka tidak perlu takut karena Pedang Sphinix akan melindungi mereka, rasa waspada tetap menguasai desa. Penduduk mengingatkan kepala desa bahwa bangsa iblis bukanlah lawan yang bisa diremehkan. Kehadiran mereka membawa ancaman besar, lebih-lebih jika mereka datang dengan tujuan membalas dendam atas persembahan yang direncanakan.

Desa Oreon, Malam yang Mencekam

Malam yang seharusnya damai berubah menjadi penuh kekacauan. Bangsa iblis telah menemukan lokasi desa Oreon. Sebelum pelindung Pedang Sphinix dipatahkan, Dion, kepala desa Oreon, segera mengambil tindakan. Ia memerintahkan prajuritnya untuk membawa keempat tumbal ke tempat persembahan. Tidak ada waktu lagi untuk menunda Pedang Sphinix harus segera mendapatkan kekuatan tambahan.

Dion melangkah cepat menuju ruang persembahan, delapan penyihir tingkat atas mengikutinya dari belakang.

"Varsha, Mudhi, Elda, Riko, siapkan pola persembahan! Yuna, nyalakan obor! Sisanya, bantu aku melakukan proses pensucian," perintah Dion tegas.

Bawahannya segera bergerak, meski mereka tahu persiapan persembahan biasanya membutuhkan waktu lama. Kali ini, mereka terpaksa menggunakan cara yang lebih ekstrem. Dion mulai mempersiapkan alat-alat ritual seperti pisau, parang, gergaji, tali, dan bahan lainnya yang akan digunakan dalam pensucian Pedang Sphinix.

Sementara itu di Lokasi Lain, Mizel, Neyla, Tanio, Ekal, dan Martha berhasil keluar dari ruang tahanan. Menghindari perhatian prajurit, mereka bergerak cepat menuju bukit. Mantra transparan yang diciptakan oleh Tanio membuat keberadaan mereka sulit dideteksi.

Saat mereka mendekati tujuan, Neyla mendongak ke atas. Sebuah perisai besar yang berkilauan tampak melindungi desa di kejauhan.

"Paman, apa itu?" tanya Neyla dengan rasa ingin tahu.

"Itu barier, pelindung magis desa. Pasti sedang ada serangan dari luar," jawab Tanio.

"Tapi tidak ada siapa-siapa di sekitar sini," kata Ekal sambil memperhatikan sekeliling.

Tanpa disadari, wajah Mizel memerah. Ia telah menebak siapa yang mungkin menyerang desa itu. Amarahnya memuncak, darah naga dalam dirinya seperti bergejolak.

Ketika mereka terus bergerak, Neyla tiba-tiba menunjuk ke arah pantai, tempat mereka pertama kali mendarat. "Apa itu yang di sana?"

Mereka semua menoleh. Di pantai, terlihat sosok berjubah berdiri tegak. Matanya bercahaya, mengkilap seperti bara api.

"Itu bangsa iblis, lihat matanya. Tapi kenapa cuma ada satu?" tanya Ekal, heran.

"Untuk mematahkan barier, mereka harus melakukan ritual. Yang lain mungkin sedang menyebar di sekitar pulau," jawab Martha dengan nada waspada.

"Bangsa iblis sialan itu selalu membawa masalah! Kita harus bergegas," geram Mizel, emosinya meluap. Darah naga dalam dirinya membuatnya sulit menahan kemarahan apalagi jika bertemu bangsa iblis.

Martha menunjuk ke arah hutan di kejauhan. "Pedang Sphinix ada di tengah hutan. Kalian lihat rimbunan pohon gaharu itu? Aku yakin pedang itu ada di sana."

Tanio mengangguk, lalu mempercepat langkah mereka. Tidak ada waktu untuk berlama-lama tujuan mereka semakin dekat, dan ancaman bangsa iblis semakin nyata.