Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 11 - Pedang Sphinix

Chapter 11 - Pedang Sphinix

Langit cerah menyambut hari yang indah. Di sebuah toko parfum, seorang wanita cantik tengah sibuk dengan pekerjaannya. Ia melayani pelanggan dengan senyum ramah dan sesekali membantu meracik parfum. Waktu berlalu hingga malam tiba, dan pekerjaannya pun selesai. Ia pun pulang dan beristirahat, kali ini tidak pergi ke tower desa.

Rumah kayu sederhana yang terletak di ujung desa, jauh dari keramaian, adalah tempatnya beristirahat. Tidak ada tetangga di sekitar, hanya pepohonan yang mengelilinginya. Bagian luar rumah tidak memiliki halaman, melainkan kolam ikan berukuran sedang. Teras rumah membentang dari sisi kiri hingga ke kanan, dengan atap bata dan cerobong asap di ujungnya.

Di dalam, ruang tamu menyambut dengan luas setengah dari lebar rumah, sementara setengah sisanya adalah kamar tidur. Di pojok kiri ada jalan masuk ke ruang berikutnya, ruang santai yang lebarnya sama dengan ruang tamu, namun lebih panjang dua kali lipat. Di sebelah kanan ada dua kamar tidur, dan di ujung pojok kanan, sebuah pintu mengarah ke dapur yang rapi dan bersih. Sumber cahaya di rumah ini datang dari tanaman selada air, seperti kebanyakan rumah di daerah ini.

Inilah rumah Martha, tempat singgahnya, bukan tempat tinggalnya. Dia hanya menumpang beristirahat beberapa jam sebelum pergi lagi.

Seperti biasa, setelah pulang, Martha beristirahat hingga larut malam. Namun kali ini, ia tidak pergi ke tower seperti biasanya.

Ia menuju rumah kepala desa, satu-satunya tempat yang masih bisa ia tuju. Rencananya harus berhasil malam ini.

Martha berniat melepaskan calon tumbal yang ada di sana dan kabur bersama mereka. Tak perlu usaha keras untuk menyelinap, sebagian besar penjaga sudah ditugaskan di tower-tower.

Tujuan utamanya adalah ruang bawah tanah, tempat di mana ia yakin keempat makhluk itu disembunyikan, sama seperti yang terjadi pada ibunya dulu. Ruangan itu terletak di bagian belakang rumah, dan tidak berpintu.

Perlahan, Martha menuruni tangga, berhati-hati agar langkahnya tidak menimbulkan suara. Begitu mendekati lantai bawah, ia mendengar percakapan beberapa orang.

"Kenapa Chiron bilang aku cuma sedikit berguna? Maksudku, apa aku bukan pemeran utama seperti di cerita-cerita novel isekai? Kalau aku cuma sedikit membantu, kenapa aku harus dibawa ke dunia ini? Aku yakin ada yang mendorongku. Aku pasti bisa lebih berguna, mungkin nanti aku akan mendapatkan kekuatan besar," gerutunya seorang pria.

"Kau hanya pemeran pembantu, sekedar penambah plot," jawab yang lain.

Kemudian, terdengar suara tawa seorang gadis kecil dan seorang pria. Benar, ada empat orang di sana—mereka yang dicari Martha.

Saat sampai di bawah, Martha melihat banyak ruangan dengan sekat-sekat dan pintu jeruji besi.

"Ada lagi, apa yang satu ini pelayanan khusus?" celetuk salah satu pria yang ditempatkan di ruangan ketiga sebelah kiri. Martha mendekat.

"Tidak, aku berbeda dari mereka. Kalian berasal dari luar pulau, kan?" tanya Martha.

"Ya, benar," jawab pria berambut putih itu setelah diperhatikan lebih teliti. Ternyata, dia adalah seorang penyihir, sama seperti Martha.

"Kukira ini pelayanan khusus sebelum dijadikan tumbal," tambah pria itu.

"Haha, benar, pelayanan khusus, tapi bukan untuk dijadikan tumbal. Dengar, aku akan melepaskan kalian, tapi kalian harus berjanji untuk mengeluarkanku dari pulau ini." Martha membuka keempat jeruji besi dengan mantra dan melepaskan mantra anti-sihir yang mengikat mereka.

"Keluar? Bisa, tapi kami harus mengambil pedang naga terlebih dahulu. Oh ya, nama saya Kaldestin Bumantara, panggil saja Ekal," pria itu menjulurkan tangannya.

"Ah ya, nama saya Martha. Pedang naga? Maksudmu pedang Sphinix? Aku tahu tempatnya, mau kuantar?" balas Martha sambil menjabat tangan Ekal.

"Syukurlah kita bertemu orang yang tepat. Nama saya Mizel, dan ini ponakan saya, Neyla." Mizel dan Neyla ikut berjabat tangan.

"Nama saya Tanio. Apakah kita tidak bisa lebih cepat? Sebentar lagi pasti ada patroli penjaga." Tanio juga memperkenalkan diri.

"Ya, mari ikut saya. Pedang Sphinix disimpan di bukit belakang. Aku tidak bisa menggunakan portal ke sana, tapi aku bisa menggunakan mantra transparansi." Martha dan yang lain kemudian pergi menuju bukit tempat pedang Sphinix disembunyikan.

Mizel dan kawan-kawan akhirnya tiba di Desa Oreon, disambut dengan antusias oleh para warga. Berbagai pertanyaan langsung dilontarkan kepada mereka. Ekal pun tak kalah antusias, wajahnya terus tersenyum cerah sejak mereka tiba, sementara yang lain hanya bisa tersenyum canggung.

Pria yang mengantarkan mereka, Buma, adalah seorang penjaga pulau. Kebetulan dia sedang patroli, dan sangat beruntung mereka bertemu dengannya, kalau tidak mereka pasti akan tersesat. Saat ini, Buma sedang pergi untuk melapor ke kantor desa, sementara Mizel dan yang lain diminta untuk menunggu di pos desa. Warga yang penasaran mengikuti mereka, berdiri di luar pos, menunggu informasi lebih lanjut.

"Kalian ke sini pakai apa?" tanya seorang ibu-ibu dari kerumunan.

"Burung Griffin," jawab Ekal.

"Griffin? Bukannya itu milik Bastian?" tanya ibu-ibu yang lain.

"Ya, benar. Bastian mengalami kecelakaan saat kami lengah karena serangan bangsa iblis. Saat itu juga dia meninggal," jawab Ekal dengan polos. Mendengar itu, orang-orang langsung heboh, dan Mizel cepat-cepat menyikut pinggang Ekal.

"Kau tidak seharusnya menyebut bangsa iblis begitu saja. Itu sangat tabu. Banyak yang percaya jika bangsa itu disebut, mereka akan datang," bisik Mizel di telinga Ekal.

"Tapi bukankah kalian juga menyebut mereka kemarin?" Ekal membalas bisikan itu.

"Itu beda! Kami tidak takut," jawab Mizel dengan nada sombong.

"Berarti desa kita dalam bahaya! Bangsa itu pasti akan menyusul mereka ke sini!" ucap salah satu warga dengan panik. Warga yang lain pun ikut panik, beberapa langsung pergi meninggalkan tempat itu.

"Kalian tenang saja. Kami sudah membunuh mereka. Kematian Bastian telah terbalaskan," kata Ekal berusaha menenangkan warga. Namun, yang terjadi malah sebaliknya—warga semakin panik dan tergesa-gesa pergi.

"Kalian tidak seharusnya membunuh mereka! Pasukan bangsa itu pasti datang ke sini!" teriak seorang bapak-bapak sebelum ikut lari bersama yang lain. Sebelum mereka menghilang, Mizel berteriak.

"Ya, kami tahu! Karena itu, salah satu dari bangsa iblis yang menyerang kami kubiarkan kabur!" Mizel tertawa terbahak-bahak.

"Kita akan dibunuh setelah ini," Tanio bergumam sambil geleng-geleng kepala, sementara Neyla tertawa kecil.

Pos desa tidak jauh dari pasar, terletak di persimpangan tiga jalan. Dari sini, mereka bisa melihat tiga sisi berbeda—kanan ada pasar, di depan gedung-gedung, dan kiri adalah rumah-rumah warga. Pos ini cukup sederhana, hanya berukuran 3x3 meter, dengan sebuah bangku panjang dan meja penjaga.

Neyla yang sudah bosan, bangkit dari tempat duduk dan bersandar di jendela dengan siku.

"Bangunan besar di ujung sana itu apa ya?" tanya Neyla.

"Itu Balai Alkimia. Coba lihat di atapnya, ada bola yang dikelilingi simbol sihir—itu penanda balai alkimia di seluruh negeri," jelas Tanio singkat. Neyla mengangguk, terkesan.

"Berapa lama kita harus menunggu? Badanku sudah lelah," keluh Ekal.

"Kita juga belum sempat bertanya banyak. Ibu-ibu di kerumunan tadi berisik sekali, sampai aku jadi tidak sempat bertanya," lanjut Ekal.

"Tapi kau masih bisa jawab semua pertanyaan mereka," jawab Mizel ketus. Ekal hanya cengar-cengir sambil menggaruk tengkuknya.

"Bagaimana kalau kau mengeluarkan kekuatanmu, Mizel? Siapa tahu pedang naga akan terpanggil," Ekal menyarankan dengan semangat.

"Bodoh," Mizel memutar matanya malas, tidak merasa tertarik.

Sementara itu, Neyla terus mengamati bangunan-bangunan di sekitarnya, terkagum dengan desainnya yang indah.

"Mereka terisolasi dari dunia luar tapi Desa mereka tetap terlihat mewah." Celetuk Neyla. Mizel dan yang lain pun ikut mengamati kondisi desa Oreon, lantaran apa yang di katakan Neyla ada benarnya.

"Mereka terisolasi dari dunia luar, tapi desa mereka tetap terlihat mewah," celetuk Neyla. Mizel dan yang lainnya ikut mengamati kondisi Desa Oreon, dan ternyata apa yang dikatakan Neyla ada benarnya.

"Buku mengatakan bahwa wilayah ini bernama Desa Oreon, terletak di punggung Aspidochelone. Banyak yang mengira desa ini kecil, padahal sebenarnya tidak. Luas wilayahnya mencapai 210.000 hektar. Bangunannya tertata rapi, hutan-hutannya asri, dan kehidupan di sini damai," ungkap Tanio tiba-tiba, seakan ia tahu segalanya tentang dunia ini.

"Kau tahu semua hal sebesar itu? Bagaimana bisa?" Ekal menatap Tanio heran, dengan sedikit kecurigaan di matanya.

"Entahlah, aku cuma berbicara sesuai apa yang ada di pikiranku," jawab Tanio sambil tersenyum dan memutar telunjuk di atas kepalanya.

"Jawaban yang tidak masuk akal," kata Mizel, kali ini dengan nada sedikit sinis.

Semakin lama memperhatikan sekitar, Neyla semakin merasa nyaman, hingga akhirnya ia baru menyadari bahwa Buma telah tiba bersama lima orang yang mengenakan seragam yang sama dengannya.

"Warga jadi takut karena kalian membawa bangsa 'itu' ke sini. Sebagai hukuman, kalian akan dimasukkan ke dalam penjara dan diadili," ucap Buma, lalu ia dan kawan-kawannya mulai merapalkan mantra. Simbol-simbol merah bermunculan di bawah kaki Mizel dan yang lainnya.

Tanio menyadari apa yang akan terjadi, namun dia tidak melawan. Dia hanya memberi kode pada Mizel dan Neyla untuk tetap tenang.

Lingkaran bercahaya merah keluar dari simbol-simbol tersebut, mengikat tubuh mereka. Saat itulah, Neyla baru tersadar akan situasi yang sedang terjadi.

"Paman, kenapa Neyla diikat?" tanya Neyla dengan panik.

"Sama, Ney. Paman juga diikat," jawab Mizel santai.

Sekali lagi, penjaga-penjaga itu merapalkan mantra. Simbol-simbol merah di bawah mereka berubah, dan dalam sekejap, mereka semua terteleportasi ke dalam koridor penjara.

Tanpa berkata-kata, para penjaga itu memasukkan Mizel, Tanio, Ekal, dan Neyla satu per satu ke dalam sel. Setelah itu, salah satu dari mereka kembali merapalkan mantra, dan cahaya merah menyelimuti seluruh sel dalam beberapa detik, lalu menghilang. Mereka juga menyita barang-barang milik Mizel dan Neyla sebelum akhirnya pergi.

"Cepat sekali kerjanya," ujar Mizel sambil bersandar di tembok. Seperti kata Tanio, dia harus tetap santai.

"Sepertinya pemimpin mereka jahat," Ekal menanggapi, melihat jarak antar jeruji yang tidak begitu lebar. Ia sempat berpikir bisa melewati celah tersebut, namun karena tubuhnya tidak muat, ia hanya memeluk setangkai jeruji besi.

"Kenapa kakek Tanio tidak menggunakan sihir? Kan kita bisa kabur," rengek Neyla, berbaring di lantai tanpa peduli bajunya kotor.

"Sejak awal dia malas menggunakan sihir, jadi jangan ditanya," jawab Ekal dengan malas.

"Apakah kau lupa jasa sihir teleportasi ku? Aku juga mengalahkan bangsa iblis menggunakan sihirku," Tanio tersenyum, membalas dengan nada bergurau.

"Ya... ya... kalau kau menggunakan sihirmu sejak awal, aku tidak akan mengalami luka lebam, atau kita tidak akan bertemu penjaga. Kita bisa langsung masuk ke desa dan mencari Pedang Naga," keluh Ekal.

"Beban, diam. Jangan protes," tiba-tiba Mizel menyambung.

"Hahaha, menggunakan sihir itu ada batasnya. Tidak boleh menggunakan sihir besar terlalu sering. Ada beberapa syarat lain, tapi aku malas menjelaskan padamu," jelas Tanio dengan santai, seperti biasa, sambil tersenyum.

"Mantra anti-sihir ini tidak begitu kuat. Aku bisa mematahkannya. Tapi, kurasa lebih baik kita tunggu dulu sampai kita menemukan petunjuk tentang di mana Pedang Naga disimpan. Tadi, aku sempat mendengar beberapa ibu-ibu membicarakan tentang Pedang Spinix. Kalian tahu kan kalau kedua pedang itu sama? Mereka bilang kita akan dijadikan persembahan, dan saat itulah kita bisa mengambil pedangnya. Tidak perlu ikut acara terlalu dalam, cukup sampai kita tahu di mana letak Pedang Naga," lanjut Tanio.

"Persembahan? Kita? Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah serangan bangsa iblis semalam?" Ekal tampak panik.

Tanio dan Neyla tertawa mendengar perkataan Ekal

"Kakek, Pedang Naga dan Pedang Sphinix itu sama? Lalu bagaimana dengan Pedang Api?" tanya Neyla dengan bingung. Ia sudah sering mendengar ketiga nama pedang itu, namun orang-orang selalu menanggapinya seakan-akan ketiganya adalah benda yang sama.

Tanio menoleh pada Neyla dengan senyum khasnya. "Yah, begini... Dahulu kala, ada sebuah peperangan besar. Dalam peperangan itu, seorang penyihir bernama Sphinix menjadi penengah. Dia menggunakan pedang legendaris yang aslinya bernama Pedang Api," jelas Tanio, suaranya pelan namun tegas.

Neyla menatapnya penuh perhatian, menunggu lanjutan cerita.

"Setelah peristiwa itu, para penyihir mulai menyebut pedang itu sebagai Pedang Sphinix untuk menghormati penyihir tersebut. Namun, nama Pedang Api tidak hilang begitu saja. Lalu, dari mana nama Pedang Naga muncul?" Tanio berhenti sejenak, memastikan Neyla mendengarkan.

"Legenda menceritakan bahwa dalam perang itu, seekor naga berhasil merebut Pedang Api. Para pemuja naga kemudian menyebutnya Pedang Naga, bukan lagi Pedang Api. Jadi sebenarnya, semua nama itu merujuk pada pedang yang sama," Tanio menyelesaikan penjelasannya dengan nada lembut.

Neyla mengangguk pelan, namun matanya menunjukkan bahwa ia masih memproses penjelasan tersebut. "Jadi, pedang yang sama punya tiga nama berbeda, tergantung siapa yang menceritakan legenda itu..." gumamnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Betul," Tanio menimpali sambil tersenyum. "Legenda memang punya cara unik untuk mengaburkan kenyataan. Apa yang kita tahu hari ini hanyalah potongan cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi."

Percakapan terus berlanjut dengan canda tawa, meskipun tak ada tahanan lain selain mereka. Penjara itu sendiri tidak terasa begitu menyeramkan. Sesekali, penjaga datang berpatroli. Mizel mengambil kesempatan untuk bertanya tentang Pedang Naga, namun tak ada respon.