Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 9 - Desa Oreon

Chapter 9 - Desa Oreon

Ekal mengeluarkan stik bulat dengan diameter 3 cm dan panjang 30 cm dari dalam ranselnya. Stik itu memiliki lima jari di ujungnya, dan di bagian tubuh stik terdapat tombol bertuliskan 'on', 'off', dan 'stop'.

Ekal menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang menyusul. Setelah itu, ia mengarahkan ujung stik ke pilar batu yang jauh di hadapannya.

"Griffin, teruslah terbang ke depan. Aku akan bereskan yang satu ini," ucap Ekal dengan yakin, Griffin mengangguk tanda mengerti.

Ia menekan tombol 'on' dan seketika jari-jari stik melesat dengan cepat, menancap kuat di bebatuan. Seutas tali tersambung di antara keduanya. Ekal menggenggam erat dan menekan tombol 'off'. Tali itu mulai memendek, menarik Ekal menuju ujung tali.

Sebelum sampai di ujung, Ekal menekan tombol 'off'. Tarikan itu berhenti seketika. Ia lalu menekan lama tombol 'on' untuk memanjangkan tali, sehingga Ekal dapat melompat ke atas batu yang lebih rendah, menunggu lawannya datang. Tidak lupa, ia menekan tombol 'stop' dan ujung stik terlepas dari bebatuan, kembali ke tempat semula.

Makhluk itu sudah terlihat melompat di antara batu-batu, mendekat dengan cepat. Ekal bersiap, mengarahkan kedua tangannya ke target. Ketika sudah cukup dekat, Ekal melancarkan serangan bertubi-tubi.

'Boom! Boom! Boom!' Tembakan demi tembakan meledak.

Namun, makhluk itu berhasil menghindar, melompat-lompat di antara bebatuan sambil mengitari Ekal. Merasa serangannya gagal, Ekal mengejar makhluk itu sambil terus melancarkan tembakan.

Ia melompat mengejar lawannya dengan stik, tembakan terus dilontarkan. Makhluk itu membalas dengan serangan cahaya biru yang keluar dari telapak tangannya, melesat ke arah Ekal. Serangan demi serangan pun terjadi di antara keduanya.

Mereka semakin menjauh dari titik awal, tak jelas menuju kemana.

Ekal berhenti. Ia punya rencana lain. Kembali melompat, mencari pilar batu yang bisa dijadikan tempat berlindung.

Makhluk itu ikut berhenti, memutar tubuhnya sambil kebingungan mencari Ekal.

Sementara itu, Ekal sudah berada di balik pilar batu, bergelantungan. Perlahan-lahan, ia turun, sejajar dengan tangan makhluk itu, dan setelah posisi sempurna—

'Boom!' Tembakan meledak, menghancurkan tubuh makhluk itu. Dagingnya berhamburan di udara.

Akhirnya selesai. Ekal turun untuk memastikan semuanya.

"Sekarang bagaimana cara kembali?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

Ekal mencari batu tertinggi dan memanjatnya. Dari atas, ia melihat Griffin yang tadi ia tunggangi. Ekal melambaikan tangan, tersenyum bahagia. Meski begitu, ia tetap waspada sesekali memperhatikan sekeliling.

Berantakan. Satu kata itu menggambarkan kondisi saat ini. Pilar-pilar batu pantai yang tinggi menjulang kini hancur, menyisakan kobaran api, hembusan angin dingin menusuk kulit, deburan ombak, dan pantulan bulan menciptakan perasaan aneh sekaligus menakutkan.

Ekal menghela napas. Kejadian apa lagi yang akan terjadi selanjutnya?

Tepi pantai lebih ramai dari biasanya. Empat sekawan sedang beristirahat di dekat api unggun untuk menghangatkan tubuh, meski dua di antara mereka tak memerlukan kehangatan itu.

Mizel kembali ke bentuk manusia. Ponakannya lebih membutuhkan sosok itu sebagai tempat untuk berpangku dan meminta belaian. Tanio dan Ekal juga duduk bersama.

Mereka bertukar cerita tentang bagaimana cara mengalahkan musuh-musuh yang mereka hadapi. Mizel hanya mengalahkan tiga, sementara satu berhasil kabur.

Neyla berhasil menggunakan kekuatannya, yang berhubungan dengan Elemen air.

Tanio membunuh lawannya dengan menggunakan mantra jebakan. Saat Tanio menjelaskan hal ini, Ekal terlihat emosi karena Tanio baru menggunakannya setelah mereka dikejar-kejar. Tanio hanya tertawa, seperti biasa.

Ekal pun ikut bercerita. Mizel dan Tanio kaget, mereka penasaran dengan alat-alat yang digunakan Ekal. Memang, tipe Ekal suka pamer, dan dia dengan senang hati memperlihatkan alat temuannya itu.

Sambil bercerita, Neyla tertidur di pangkuan pamannya, dan para Griffin tidur lelap di belakang mereka.

"Bagaimana selanjutnya? Kita tidak tahu apakah benar burung-burung ini akan mengantarkan kita ke desa Oreon," tanya Ekal.

"Kita ikuti saja dulu. Kalau benar burung ini membawa kita ke tempat yang salah, aku akan langsung menggunakan teleportasi," jawab Tanio dengan tenang.

Mizel dan Ekal pun mengangguk setuju.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan mereka lebih cepat, sekitar satu jam setelah berangkat dari titik awal, mereka sudah menemukan Pulau Kura-Kura.

Aspidochelone adalah seekor kura-kura raksasa. Di punggungnya tumbuh berbagai kehidupan, mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, hingga beberapa bangsa daratan. Ciri khas pulau ini adalah pasirnya yang berwarna hijau.

Kedua Griffin mendaratkan cakar mereka di pasir yang lembek. Setelah para penumpang turun, tanpa menunggu lama, kedua Griffin langsung terbang meninggalkan tempat itu.

"Mereka tidak membutuhkan bayaran?" celetuk Mizel, namun tidak ada yang membalas. Semua tertawa.

Warna pasir pantainya berwarna hijau, tidak beraroma, dan sedikit lembek. Mereka memasuki hutan bakau, tak tahu ke arah mana, yang penting terus maju hingga menemukan desa Oreon. Pulau ini dikelilingi pohon bakau, dan mereka tidak menemukan tumbuhan lain selain bakau.

Beberapa meter setelah memasuki hutan, sebuah sosok penyihir pria mendekati mereka. Dia tidak berjalan, melainkan melayang di udara. Ekal langsung menoleh ke arah Tanio.

"Tan, jangan bilang kau tahu mantra melayang tapi tidak mau menggunakannya!" Ekal berkata dengan nada emosi.

Tanio hanya tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. Neyla tertawa terbahak-bahak.

"Siapa kalian, dan mengapa ada di sini?" tanya penyihir itu.

"Kami ingin pergi ke desa Oreon. Sebenarnya, kami datang dengan pemandu, tapi karena ada kecelakaan, dia tidak selamat. Jadi kami pergi sendiri ke sini tanpa pemandu. Ah, dan kami diantar oleh Griffin sebagai pemandu," jelas Mizel panjang lebar, memastikan tidak ada detail yang terlewat.

"Siapa nama pemandu kalian?" tanya penyihir itu lagi.

"Bastian," jawab Mizel segera.

"Bastian meninggal? Itu tidak mungkin, dia sering pulang pergi ke sini. Kalian jangan berbohong," kata penyihir itu, tampak kaget dan mulai menatap keempat orang di depannya dengan tatapan selidik.

"'Aku berenang menuju selatan, bunga mawar hitam ku genggam,' lalu sandi berikutnya adalah mengangkat empat jari," Tanio maju selangkah.

Penyihir itu menatap mereka satu per satu, kemudian tatapannya berhenti pada Ekal.

"Aku tidak melihat kekuatan dari bangsa apapun padanya, bahkan tidak ada kekuatan jiwa. Siapa dia?" Penyihir itu menatap Ekal dengan penuh curiga.

"Dia cacat," jawab Mizel dengan cepat.

"Seharusnya dia bangsa naga, tapi karena cacat, dia tidak memiliki roh apapun," lanjut Mizel.

Penyihir itu terdiam, masih menatap Ekal dengan penuh pertanyaan.

"Baiklah, ayo ikut aku," kata penyihir itu akhirnya, lalu berbalik dan melangkah pergi, diikuti oleh yang lain.

-

Tangisan yang menyayat hati datang dari seorang gadis remaja, matanya penuh amarah dan dendam, menatap para penyihir di sekitarnya. Tak ada satu pun dari mereka yang berusaha menghentikan tangis itu, apalagi memberikan kata-kata penghiburan, janji manis, atau sekadar pelukan.

Darah terus mengalir dari luka-luka di tubuh wanita paruh baya, ibu sang gadis, yang menjadi tumbal sebagai penghormatan bagi pedang Sphinix. Ia digantung, dibiarkan begitu saja hingga kehabisan darah.

Selama ini, para penyihir menggunakan orang luar sebagai bahan pengorbanan. Namun, karena tak ada lagi orang luar yang ditemukan, mereka terpaksa menjadikan salah satu dari mereka sebagai tumbal.

Gadis itu bernama Martha. Ibunya terpilih sebagai tumbal dengan alasan bahwa semua hutangnya pada warga akan dilunasi. Tentu saja ibunya menyetujui hutang yang begitu banyak langsung lunas, dan tanpa cara lain untuk membayar. Ditambah lagi, ia berharap bisa meringankan beban hidup anaknya.

Walaupun Martha selama ini bekerja keras, penghasilannya tidak akan cukup untuk melunasi hutang-hutang itu dalam waktu dekat. Memang, mungkin bisa, tetapi itu akan memakan waktu lama.

Namun, para penyihir itu memaksa dan memberi alasan yang tak masuk akal. Pada akhirnya, Martha menyadari, mereka hanya takut menjadi tumbal, jadi mereka mengalihkan nasib itu pada ibunya.

Sungguh munafik. Mereka sendiri yang berkata, "Ini sebagai bentuk penghormatan," tapi mereka juga yang enggan menjadi salah satunya.