"Sejak peristiwa itu, portal dunia rusak, dan Pedang Naga menjadi legenda."
Ekal, yang masih terpaku, bertanya. "Bagaimana dengan Abigail dan anak-anaknya?"
"Abigail meninggal, tetapi sebelum itu, ia berhasil menyembunyikan kedua anaknya." jawab Chiron.
"Mengapa harus disembunyikan?"
"Karena darah campuran mereka. Abigail takut bangsa naga tidak akan menerima mereka," jelas Chiron.
Ekal menoleh ke Mizel. matanya penuh rasa penasaran. "Mizel... apa mungkin kau anak Abigail?"
Mizel terdiam, raut wajahnya menunjukkan keraguan. "Aku? Tidak. itu hanya kebetulan nama saja yang mirip." Namun, kegelisahan mulai terlihat di wajahnya.
Chiron menatap Mizel dengan tajam. "Tidak ada yang tahu di mana kedua anak itu disembunyikan."
Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga Chiron melanjutkan. "Jika kau ingin keluar dari dunia ini, kau harus memperbaiki portal. Pergilah ke Selatan, ke desa Oreon. Di sana, kau akan menemukan Pedang Naga."
"Pedang Naga masih ada?" tanya Tanio, akhirnya membuka suara.
"Ya. Tapi Pedang Naga tidak bisa diambil oleh sembarang orang. la sendiri yang memilih pemiliknya." jelas Chiron.
Ekal, yang merasa ragu kembali bertanya, "Bagaimana kami tahu jika ia akan memilih kami?"
"Aku dilahirkan oleh bintang-bintang." Chiron tersenyum penuh percaya diri. "Percayalah padaku."
Ekal berbisik pada Tanio. "Apa maksudnya?"
"Salah satu dari kita adalah orang terpilih." jawab Tanio.
"Siapa?" Tanya Ekal lagi dengan wajah bingung.
Tanio menunjuknya dengan dagu. "Kurasa kau, Mizel. Pedang Naga tertarik pada kekuatan naga, di sini hanya kau yang memiliki darah naga."
Ekal menatap Mizel dalam-dalam seolah mencari jawaban, setelah beberapa saat Mizel mengalihkan pandangannya ke Chiron. "Baiklah. kami akan melakukannya."
Chiron berdiri dan berjalan menuruni altar gerakannya begitu anggun dan berwibawa, setiap langkah seperti di iringi ketentraman.
Kerumunan Centaurus membuka jalan untuk ketua mereka. Setelah Chiron lewat, mereka mengikuti di belakangnya. Mereka tidak memperdulikan ketiga orang yang masih berdiri di atas altar.
"Kenapa harus di altar?" tanya Ekal.
"Chiron hanya menjamu teman, bukan tamu," jawab Tanio sambil tersenyum.
"Oh begitu."
Karena sudah tidak ada lagi urusan di sini, mereka pun pulang. Tanio membuat pola di atas altar, mereka berpegangan tangan dan menghilang, langsung mengantar mereka ke kediaman Mizel.
"Rumahmu masih sama, yah Zel. Ku kira kau akan merubah rumah ini," Tanio memperhatikan sekitar.
"Lebih nyaman begini," jawab Mizel sambil berjalan ke sofa dan duduk di sana.
"Kapan kita pergi ke Oreon?" tanya Ekal keluar dari topik pembicaraan.
"Kau membuatku repot, pergi saja sendiri sana," jawab Mizel dengan nada kesal.
"Haha, tunggu dulu Ekal, kita cari tahu dulu di mana letak desa Oreon," Tanio terkekeh, kini sudah duduk di sebelah Mizel.
"Selatan itu luas," keluh Mizel, menutup mata dan bersandar pada sofa.
Tanio tersenyum sambil menggelengkan kepala, kemudian beranjak dari sofa dan berjalan keluar. Cahaya matahari mulai meredup, pepohonan semakin menambah gelap di sekitar rumah.
Dari kejauhan, Neyla berlari, di belakangnya nenek Leyya membuntuti.
Ia tertawa girang setelah melihat Tanio berdiri di teras rumah.
"Astaga, Ney pelan-pelan, jangan lari nanti jatuh. Sudah makan?" Tanio langsung memeluk Neyla ketika bocah itu mendekat.
"Sudah, nenek Leyya masak burung elang. enak... sekali, ada kue juga, sama buah-buahan," ia bercerita dengan girang sambil memasang senyum cerah di wajahnya.
"Oh yah? enak sekali? Kakek jadi pengen, Ney tidak buatkan untuk kakek juga?" Tanio pura-pura cemberut.
"Ney tidak tahu kalau kakek akan datang. Lain kali saja, yah," jawab Ney sambil mengusap-usap wajah Tanio.
Nenek Leyya tiba, kedua tangan di belakang dan tersenyum ke arah Tanio.
"Waktu Ney bangun dia menangis seharian, jadi aku mengajaknya masak kue, baru dia diam," kata nenek Leyya terkekeh. Tanio ikut terkekeh.
"Ney memang tidak terbiasa terpisah dengan Mizel. Terima kasih, nenek, sudah mau mengurus Neyla. Mizel ada di dalam, nek. Masuk saja," Tanio tersenyum mempersilakan nenek masuk.
"Tidak perlu, nenek mau langsung pulang. Kesini hanya untuk mengantar Ney, dia menangis lagi tadi minta diantarkan pulang. Tak sangka kalian juga sudah pulang," nenek Leyya berbalik pulang.
"Terima kasih, nek," ucap Tanio lagi.
"Ya, sama-sama," nenek membalas tanpa menoleh ke belakang.
Setelah nenek Leyya berada di kejauhan, mereka pun masuk. Neyla langsung turun dari gendongan Tanio dan berlari menerjang tubuh Mizel. Pria itu terkejut dan mulutnya komat-komit mengomeli Neyla. Namun bocah yang dimarahi hanya ketawa terbahak-bahak. Tanio melihat itu pun ikut tertawa.
Pagi begitu damai dengan embun yang masih bertebaran di udara, disertai angin sepoi yang menyentuh kulit. Ekal berkacak pinggang di teras rumah, menguap tanda ngantuk, matanya memperhatikan sekitar. Cahaya matahari terhalang embun, sehingga jarak pandang hanya sampai seratus meter, selebihnya tertutup.
Semalam, dia dan Tanio mencari lokasi desa Oreon. Sangat sulit menemukan karena desa Oreon tidak terdata di peta wilayah mana pun, sehingga mereka menghabiskan banyak waktu. Tapi untunglah mereka menemukan satu petunjuk.
Akibatnya, mereka bergadang hingga pagi tiba. Tanio sudah tidak tahan lagi, matanya perih jadi dia pulang ke rumah untuk istirahat tidak peduli jika pagi telah tiba. Berbeda dengan Ekal, ia juga sama mengantuk namun tetap tidak dapat tidur. Pikirnya, lebih baik duduk di luar dan menghirup udara segar.
Setelah sekian lama, Ekal menuruni tangga berjalan ke tengah halaman lalu berbaring di sana. Tetesan embun pada rumput menyatu dengan tubuhnya dan hembusan alam menyentuh kulitnya, meski begitu ia tetap menikmati semua.
Ekal merentangkan kedua tangannya dan menatap ke atas. Ranting-ranting pohon bergoyang menari-nari diterpa angin. Lama memperhatikan, tubuhnya menjadi tenang, seperti tersihir oleh buaian alam. Perlahan, kelopak matanya memberat, agar lebih nyaman, wajahnya ia miringkan ke samping.
Dalam keadaan setengah sadar, Ekal merasakan seperti ada seseorang yang mengintip di balik pohon, sebuah siluet yang bergerak tidak sesuai dengan arah terpaan angin. Namun, karena tidak kuat menahan kantuk, matanya perlahan-lahan menutup. Walaupun udara dingin menusuk kulit, tidak membuatnya risih. Ia seperti kebal terhadap suhu dingin.
Sementara di ruang dapur, suasana terasa lebih hangat. Mizel dan Neyla sedang menikmati sarapan, sesekali mereka bercanda dan tertawa.
Sekumpulan awan membuka jalan, seketika terik matahari bersinar dengan terang. Ketika Ekal terbangun karena merasakan sengatan sang Surya, cahaya matahari langsung menusuk ke matanya.
"Kupikir kau sudah mati," celetuk Mizel tiba-tiba. Ia sedang duduk santai di bangku teras rumah sambil menyeruput segelas ambrosia.
Kesadaran Ekal belum sepenuhnya kembali, ia duduk diam cukup lama. Setelah semua nyawanya terkumpul, barulah ia beranjak dari sana.
"Aku dan Tanio menemukan petunjuk desa Oreon. Kita singgah terlebih dahulu di kota Langkuas, di sana ada seorang pemandu." Ekal duduk di hadapan Mizel.
"Oh begitu. Emangnya desa Oreon dekat dengan Langkuas? Setahuku tidak ada desa dengan nama Oreon di sana," tanya Mizel.
"Desa Oreon berada pada punggung kura-kura, ekhem maksudnya Aspidochelone," Ekal berdehem dengan maksud memamerkan hasil temuannya sambil melirik ekspresi Mizel.
"Maksudnya?" tanya Mizel lagi datar, tidak peka.
"Aspidochelone adalah kura-kura kuno raksasa, punggung cangkangnya membentuk sebuah pulau. Di sanalah desa Oreon berada. Karena desa Oreon berada di punggung kura-kura, sudah pasti desanya berpindah-pindah. Oleh sebab itu, kita membutuhkan pemandu." Jelas Ekal sambil tersenyum.
"Oh, makhluk kuno. Mungkin seumuran Chiron kali ya," alih Mizel.
"Bisa jadi. Zel, aku sarankan sebaiknya nanti Neyla dititipkan sama tetangga yang lain. Pagi tadi aku melihat bayangan nenek Leyya sedang mengintip di balik pohon sana. Sebenarnya aku tidak melihat wajah bayangan itu karena gelap, tapi aku yakin itu nenek Leyya dan tidak hanya pagi tadi saja. Kira-kira sejak hari pertama aku di sini, setiap pagi aku pasti melihat bayangan itu di sekitar rumah. Cuman karena aku tidak merasa curiga, jadi ku biarkan," ungkap Ekal.
"Kau yakin itu nenek Leyya? Mungkin saja dahan atau rumput-rumput," sanggah Mizel.
"Tidak, gerakan bayangan itu seperti seseorang, dan matanya yang menyala jika berada di tempat yang gelap. Aku teringat pada saat kita mengantar Neyla ke rumah nenek Leyya, lalu ketika kita pergi, aku sempat berbalik dan melihat mata yang sama." Jelas Ekal mengotot.
Mizel terdiam, tampak sedang berpikir keras. "Di mana kau melihat bayangan itu?" tanya Mizel.
"Di sana," Ekal menunjuk sebuah pohon besar yang paling depan dekat dengan jalan setapak.
"Biar aku cek." Sebelum pergi, ia habiskan ambrosianya terlebih dahulu.
Setelah kepergian Mizel, Ekal pun masuk ke dalam rumah sekalian membersihkan diri.
πΏπΏπΏ
Mohon buka dan baca catatan penulis di bawah (β γ£β .β ββ Β β α΄β Β β ββ .β )β γ£