Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 8 - Mencari Desa Oreon

Chapter 8 - Mencari Desa Oreon

Sudah saatnya mereka pergi. Ekal membawa ransel di punggung, Mizel berdiri di dekatnya, sementara Tanio sibuk menggambar simbol. Di barisan terakhir, Neyla sudah bersiap dengan busurnya. Ya, perjalanan kali ini Neyla ikut bersama mereka. Memang sangat berbahaya, tetapi lebih berbahaya lagi jika Neyla tinggal.

"Semua siap? Kita berangkat sekarang," Tanio merapal mantra. Seketika, mereka hilang ditelan cahaya dan kemudian muncul di sudut kota Langkuas.

"Menurut buku, kita bisa memesan pemandu melalui papan pengumuman. Kita tinggal memasangkan kertas berisi kode," jelas Tanio sambil berjalan keluar gang.

"Kau tahu kodenya?" tanya Mizel, penasaran.

"Ya, 'Aku berenang menuju selatan, bunga mawar hitam ku genggam,' " jawab Tanio.

"Memangnya tidak ada yang curiga dengan tulisan seperti itu?" tanya Mizel.

"Entahlah, kita hanya mengikuti kata buku. Itu satu-satunya petunjuk," jawab Tanio.

Selama perjalanan, tidak ada lagi percakapan. Ekal sibuk melihat arsitektur mewah kota Langkuas. Semua bangunan berbentuk pura dengan atap kerucut, jalanan-jalanan dilapisi marmer, dan orang-orang berlalu lalang dengan berbagai bentuk, sepertinya berasal dari berbagai bangsa.

Ekal ternganga selama perjalanan, semua makhluk yang ia lihat di balik layar komputernya sekarang berada di hadapannya. Di jalanan, terlihat juga makhluk-makhluk Yunani kuno, seperti centaur yang berjalan dengan elegan, medusa yang melintas dengan rambut ular yang bergerak, serta minotaur yang besar dan gagah, berbaur dengan penduduk kota yang lainnya.

Mereka tiba di papan pengumuman. Tanio, tanpa basa-basi, langsung menempelkan kertas pesan di sana.

Pemandu akan membalas pesan keesokan hari, begitu kata buku. Selanjutnya, mereka jalan-jalan mencari penginapan. Ekal tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bagus ini; dia yang paling bahagia di antara yang lain. Bersyukur Tanio ikut bersama mereka, dia memiliki lebih banyak uang. Kalian mengerti kan maksudnya apa?

Keesokan harinya, mereka mendapat balasan. Sang pemandu memerintahkan mereka untuk bertemu di luar kota ketika malam tiba.

Bahagia rasanya mengetahui bahwa pesan mereka dibalas. Karena masih pagi, mereka masih punya waktu untuk jalan-jalan di sekitar kota. Tenang, mereka tidak butuh waktu lama untuk bersiap. Yang membawa barang hanya Ekal dan Neyla.

"Nama kotanya Langkuas, pasti banyak rempah-rempah," kata Ekal sambil berjalan di depan, seperti biasa bicara sendiri.

Jalanan besar dilapisi keramik cokelat, dan pohon kelapa berjejer di pinggirnya. Saking lebar jalanan, orang-orang yang berlalu-lalang terlihat sedikit. Toko-toko menawan mengisi pinggir jalan, terkadang ada tempat hiburan atau tempat bermain. Ingin rasanya Ekal mencoba semua itu.

Asyik berjalan-jalan, akhirnya malam pun tiba, waktunya mereka menemui pemandu.

Seorang pemuda berdiri menunggu di luar gerbang. Berkali-kali ia melihat orang lewat, tapi tidak ada yang memberikan kode. Pada akhirnya, dari kejauhan, dia melihat empat orang baru saja keluar dari gerbang. Salah seorang di antaranya mengangkat empat jari, ini adalah kode jika mereka adalah pelanggan yang sudah memiliki janji temu dengannya. Sang pemandu pun membalas, dan akhirnya mereka bertemu.

"Mudah sekali menemukan pemandu," celetuk Mizel.

"Karena Tanio yang mengurus semuanya," balas Ekal.

Neyla cekikikan, dan Tanio yang mendengar juga ikut tertawa.

"Hai, benar kalian yang ingin ku antar?" tanya pemandu memastikan.

"Ya, benar. Nama saya Tanio, yang ini Mizel, lalu Kaldestin, dan terakhir si kecil Neyla," balas Tanio. Ia terlebih dahulu mengulurkan tangan, lalu disusul yang lain.

"Bastian," jawabnya, lalu mereka semua bersalaman.

"Ayo kita berangkat sekarang," kata Bastian, kemudian bersiul memanggil tiga ekor Griffin yang sedang terbang di langit. Ketiga Griffin itu perlahan turun ke hadapan mereka dan mendarat.

Bastian melangkah ke depan, memilih Griffin terbesar di antara kawanan itu sebagai tunggangannya. Dengan lincah, ia memanjat punggung makhluk bersayap tersebut. Yang lainnya segera mengikuti, masing-masing menuju Griffin mereka. Mizel memilih untuk berbagi tunggangan dengan Neyla, sementara Tanio dan Ekal menaiki Griffin yang sama.

Ekal, yang masih terpesona oleh penampakan Griffin, terdiam sejenak, terpaku memandangi makhluk besar di hadapannya. Meskipun telah menghabiskan seharian penuh di antara makhluk-makhluk fantasi, rasa kagumnya tak kunjung surut. Mizel, di sisi lain, hanya bisa mendesah kesal. Ia melirik Ekal dengan pandangan muak, lalu memutar mata—ekspresi khas yang sudah terlalu sering ia tunjukkan hari itu.

Setelah memastikan semua orang telah aman di atas Griffin masing-masing, Bastian menoleh untuk memeriksa sekali lagi. Dengan anggukan mantap, ia memberikan sinyal, dan seketika itu pula kawanan Griffin mengibaskan sayap mereka, membawa mereka terbang ke udara. Dunia di bawah mereka perlahan mengecil, sementara angin kencang mulai berhembus di sekitar mereka, menyelimuti perjalanan mereka dengan aura kebebasan dan sedikit ketegangan.

Griffin adalah raja udara. Kenapa? Karena Griffin merupakan gabungan antara burung rajawali dan singa. Mereka adalah raja hewan buas. Sangat mengejutkan sekali bahwa Bastian bisa menjadikan hewan ini sebagai kendaraan.

"Apa kalian tahu jasa pemandu Aspidochelone, dari buku 'Under'? Buku itu sebenarnya sudah tidak disebarluaskan sejak tiga ratus tahun yang lalu," tanya Bastian membuka topik pembicaraan.

"Hah? Tiga ra-"

"BOOM!"

Kalimat Ekal terputus.

Kepala Bastian meledak tepat di hadapan Ekal. Darah muncrat mengenai wajahnya, lehernya mengucurkan darah membasahi bulu Griffin.

"GHAAKK!" Ketiga Griffin memekik panik.

"Aaa....!" Neyla langsung memeluk Mizel.

Ketiga Griffin Bastian hilang kendali, terbang ke sana-kemari, membuat tubuh Bastian terjatuh. Griffin yang ia tunggangi, sadar tuannya jatuh, langsung meluncur ke bawah berusaha menangkapnya.

"BOOM!" sekali lagi suara ledakan terdengar.

Ekal mengintip ke bawah, betapa terkejutnya dia melihat tubuh Griffin berceceran di udara.

"Pegangan yang kuat!" teriak Mizel. Dia lompat dari tubuh Griffin bersama Neyla, lalu bertransformasi menjadi naga.

"BOOM!" Ledakan hampir mengenai Mizel. Ia berbalik, dan di belakang sana terdapat elf bersayap siap menyerang kembali. Mizel tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

"GRRROAAAHHH!" Dia menyemburkan lelehan api pada elf itu.

"BLARRR!" Semburan penuh emosi itu meluncur deras.

Awalnya, elf itu bisa menahan serangan, tetapi lama-kelamaan dia tidak kuat. Pertahanannya melemah, dan saat itulah tubuhnya habis terbakar. Akibat semburan api itu, Griffin kembali stabil.

Ekal syok. Adegan kepala meledak berputar slow motion di otaknya. Sementara Neyla menangis sesenggukan sambil memeluk erat punggung Mizel. Tanio? Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetap tenang.

Suasana menjadi sangat sepi. Mereka diam selama perjalanan, tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Termasuk para Griffin. Binatang itu tenang sekali. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikiran kedua Griffin itu. Mereka sangat profesional pada pekerjaan. Walaupun tuan mereka telah mati, mereka tetap mengantarkan pelanggan ke tempat tujuan. Sesekali mereka melihat ke belakang, takut kalau-kalau ada yang menyusul.

Angin melolong berteriak di kedua telinga, menyisir setiap helai rambut, kepakan sayap Griffin terdengar seperti hentakan badai, titik-titik bintang menghias langit malam dan cahaya bulan menerangi bumi, walaupun tidak seterang matahari tapi cukup untuk menemani perjalanan.

Sudah empat jam setelah keberangkatan belum juga terlihat adanya pulau kura-kura. Apa mungkin burung Griffin ini mengantarkan mereka ke tempat yang salah? Pemandu mereka sudah meninggal.

Saat ini mereka berada di atas awan di bawah sana terdapat lautan luas, sangat luas saking luasnya sampai tidak terlihat daratan dimana pun. Cahaya bulan memantul indah di atasnya, memberikan kesan menawan dan elegan.

'Ghakk!' Griffin menggeram.

Tiba-tiba Griffin menukik dengan kecepatan dua ratus kilometer per jam di atas laut membuat penunggangnya kaget. Sesekali mereka berputar guna mempercepat laju, ketika laut semakin dekat burung Griffin sedikit membuka sayap satu meter sebelum menabrak air kedua burung itu langsung mengembangkan sayapnya. Griffin tidak berhenti, perjalanan masih berlanjut. Mereka terbang begitu dekat dengan air.

"Aku tidak menyangka Bastian bisa mati semudah itu. Dia pemandu Griffin, kalian mengerti kan maksud ku, GRIFFIN! Siraja udara! Seharusnya tidak semudah itu!" ungkap Ekal, setelah sekian lama berdiam akhirnya ada yang bersuara, Ia kecewa sekaligus sedih, seseorang yang bisa di andalkan mati begitu saja.

"Yah benar, Griffinnya pun mati" Neyla menyetujui, ia menunjukkan wajah sedih, menyayangkan Griffin binatang langka mati dengan tragis.

"Mungkin dia bukan pemandu yang sebenarnya, lihat Griffin ini terus terbang tanpa pemandu."Mizel menunjuk burung-burung Griffin.

"Lalu siapa pemandu yang asli." Tanya Neyla.

"orang tuanya?" Ekal menjawab asal.

"bisa jadi. Tapi apa pun itu, intinya kita harus tetap berhati-hati. Seperti kau katakan tadi tidak mungkin Pemandu Griffin bisa mati semudah itu pasti Elf yang menyerang kita mempunyai kemampuan khusus." Ucap Tanio.

mereka kembali waspada, walaupun tidak ada apa-apa di sekitar pasti ada kemungkinan di serang secara tiba-tiba misalnya dari dalam air.

"omong-omong, mata Elf tadi seperti mata nenek Leyya, menyala di kegelapan. Kupikir hanya nenek Leyya saja yang seperti itu, apa mungkin mereka satu bangsa?" Ekal Kembali bertanya.

"menyala?Apa maksud mu nenek Leyya di rasuki Bangsa Iblis? hanya orang-orang yang di rasuki iblis memiliki mata seperti itu." Tanio memasang wajah heran sambil melihat ke arah Ekal memastikan apakah pria itu berbohong.

"berarti nenek Leyya bangsa iblis dan Elf yang menyerang kita tadi juga bangsa iblis!" Ekal terkejut.

"sst diam berisik, mereka bukan bangsa Iblis. Ciri fisik bangsa iblis sangat menyeramkan mereka berbadan normal tapi kepala binatang sedangkan mata bercahaya itu hanya di miliki oleh roh-roh bangsa iblis yang sudah meninggal, roh-roh ini sering di gunakan oleh raja iblis untuk merasuki tubuh korban yang sudah tidak bernyawa guna menjadi bonekanya. Nenek Leyya pasti sudah meninggal sehingga mereka bisa merasukinya." Ucap Mizel datar.

"Dan tidak ada diantara kita yang mengetahui kematiannya." Lanjut Neyla.

Mereka semua kembali terdiam, ada banyak kemungkinan-kemungkinan di otak mereka.

Gelap, sangat gelap, langit malam terbalut kabut hitam pekat. Hanya cahaya bulan yang memantul tipis di permukaan laut, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak seiring hembusan angin. Suara ombak terdengar dari kejauhan, tapi selain mereka, tidak ada kehidupan yang tampak di sekitar. Yang terdengar hanya percikan air akibat cakar-cakar Griffin dan Mizel yang mencecap permukaan laut.

Ada satu hal yang perlu mereka pelajari dalam perjalanan ini: tetap waspada. Mizel menajamkan pendengarannya, Neyla siap dengan busur di tangan, Tanio tetap tenang dan hati-hati, sementara Ekal mempersiapkan dua benda segi empat yang merekat pada kedua punggung tangannya. Benda-benda itu bisa meledakkan target dalam jangkauan sepuluh meter.

"Kita mendekati daratan," ucap Mizel pelan, suaranya hampir tertelan angin. Suara ombak semakin jelas terdengar, memecah keheningan malam.

Dari kejauhan, formasi pilar batu pantai menjulang tinggi, seakan menghalangi jalan mereka. Pilar-pilar itu menonjol di antara gelapnya malam, memberikan kesan seperti benteng yang memperingatkan mereka untuk waspada.

Griffin mengurangi kecepatan. Ada keraguan dalam gerakan burung itu, tampaknya ragu untuk melewati formasi batu yang menjulang di depan.

Ekal dan kawan-kawan merasakan ketegangan, seperti mengerti apa yang di rasakan Griffin.

Sebelum mereka membuat keputusan, Mizel tiba-tiba berteriak keras, "ADA YANG MENYERANG!"

Enam makhluk berjubah hitam muncul dari balik batu dan langsung menyerang dengan cepat.

'Bum! Bum! Bum!' Ledakan serangan bertubi-tubi menghantam udara. Griffin berhasil menghindar, terbang cepat melewati musuh, menukik dan berputar agar tidak tertangkap. Tanio balas menyerang dengan mantra, membuka jalan agar mereka bisa masuk ke dalam formasi batu.

Di belakang, Mizel dan Neyla tertinggal, berusaha bertahan dengan semburan api yang berkobar-kobar menyerang musuh-musuh mereka.

Dua makhluk lainnya mengejar Tanio dan Ekal dengan cepat.

'Bum! Bum!' Serangan lagi, lebih dahsyat, menghantam udara di dekat mereka.

"Tanio, bisa kau menahan tubuhku? Aku mau berbalik!" tanya Ekal, suaranya serak penuh tekanan.

"Yah, cepatlah!" Tanio menjawab, tak kehilangan kewaspadaan.

Ekal memutar tubuh, mengarahkan kedua benda persegi itu ke depan, sementara Tanio mulai merapal mantra dengan cepat.

Tiba-tiba, satu musuh muncul dari balik reruntuhan batu. Ekal segera menembak, tapi...

'Bum!' Tembakan meleset. Musuh itu bergerak cepat saat Griffin berbelok tajam, membuat tembakan Ekal meleset.

'Boom! Boom!' Ekal menembak lagi dengan terburu-buru, meski kali ini dengan asal.

Ledakan bergema, tapi musuh itu masih berdiri, membalas serangan dengan kekuatan yang luar biasa.

"Ekal, hentikan! Kita berpencar!" perintah Tanio, suaranya tegas namun tetap tenang.

"Apa?! Bagaimana caranya?!" Ekal masih terus menembak, kebingungan di tengah kekacauan.

Tanio tidak menjawab, sebaliknya ia langsung memindahkan Ekal dengan teleportasi. "Cepat berpencar!" teriaknya.

"Kenapa tidak dari tadi?!" Ekal terkejut, suaranya melengking tinggi, namun tak ada waktu untuk bertanya lebih jauh.

Dengan gerakan cepat, mereka akhirnya terpisah, berusaha untuk menghindari serangan musuh yang datang bertubi-tubi dari segala arah.Mereka akhirnya berpencar. Ekal mengarahkan Griffin ke kiri, sementara Tanio memutar Griffin ke kanan. Dua makhluk itu yang semula berfokus pada mereka, ikut berpencar dan mengejar dengan cepat.