Tidak ada jadwal latihan hari ini. Biasanya, Mizel dan Neyla akan menghabiskan waktu berlatih memanah dan bela diri, namun hari ini berbeda. Rasa penasaran Mizel terhadap keberadaan Ekal membuatnya menunda semua kegiatan rutin tersebut. Ia sibuk mencari informasi, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang apa yang bisa ia temukan, meskipun semua petunjuk mengarah pada sesuatu yang misterius.
Menurut yang ia dengar, portal yang menghubungkan dunia mereka dengan dunia lain sudah tertutup ribuan tahun yang lalu. Waktu yang begitu lama membuat kisahnya hampir dilupakan, bahkan dianggap sebagai legenda belaka.
Perpustakaan tempatnya mencari informasi pun semakin berantakan, tumpukan buku dan lembaran kertas berserakan di mana-mana, menambah suasana kacau yang semakin menambah rasa frustrasinya. Untunglah, setelah beberapa saat mencari, akhirnya Mizel menemukan buku yang ia cari. Dengan perasaan lega, ia membuka halaman pertama, berharap buku tersebut bisa memberi petunjuk lebih jauh mengenai Ekal dan portal yang sudah lama hilang.
"Buku apa itu?" tanya Ekal, memperhatikan Mizel yang tengah membuka buku dengan hati-hati. Ia merasa ingin ikut membantu, meskipun tak tahu apa yang sedang dicari Mizel.
"Buku teleportasi," jawab Mizel, sambil berjalan menuju mejanya. "Buku ini berisi tentang portal."
Ekal mengikuti langkah Mizel, penasaran. "Lalu buku yang kamu baca pagi tadi?" tanyanya, tak ingin melewatkan detail apapun.
Mizel berhenti sejenak, menoleh ke arah Ekal dengan ekspresi serius. "Buku itu hanya berisi tentang teori portal perpindahan tempat, bukan tentang perpindahan dunia. Aku mencoba mencari di sana, berharap mungkin ada petunjuk mengenai portal perpindahan dunia. Sayangnya, tidak ada."
Ia membuka buku teleportasi yang baru saja ditemukan, membaca setiap halaman dengan teliti. Matanya bergerak cepat, menyisir setiap kata berharap semoga menemukan apa yang ia cari.Sementara itu, Ekal duduk di sebelahnya, mencoba untuk tidak mengganggu, meskipun rasa penasaran juga menggelayuti pikirannya.
Bosan, Ekal mulai mencari-cari sesuatu untuk dibaca. Matanya tertuju pada sebuah buku kuning mengkilat yang tergeletak di tumpukan buku di atas meja Mizel. Tanpa pikir panjang, ia mengambil buku itu dan membukanya. Namun, begitu halaman pertama terbuka, ia terkejut—buku itu ternyata kosong, tidak ada tulisan sama sekali.
Ekal menutup buku itu dengan cepat, lalu mengembalikannya ke meja dengan rasa ingin tahu yang mengganjal. Mungkin itu hanya buku tulis milik Mizel, pikirnya. Ia melanjutkan pencariannya, melirik-lihat sekeliling ruangan yang dipenuhi buku-buku. Pasti ada sesuatu yang menarik untuk dibaca.
Tak lama kemudian, matanya kembali tertuju pada sebuah buku yang berbeda. Sampulnya berwarna biru muda, dengan gambar seorang centaur yang tampak hidup, seperti baru saja diukir. Ekal terkejut. Centaur? pikirnya, bingung bagaimana makhluk mitologi Yunani kuno bisa ada di antara buku-buku ini. Penuh rasa penasaran, ia segera mengambil buku itu dan mulai membukanya, merasa bisa menemukan sesuatu yang menarik.
Tiba-tiba, Ekal merasa seperti tertipu. Mungkin saja ia masih berada di dunia yang sama, dunia yang tak seperti yang ia kira.
Karena asyik membaca, sore pun tiba. Neyla pulang setelah bermain, bajunya kotor dan basah, aroma keringat melekat di tubuhnya. Sebelum menemui Mizel, ia memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
Ekal menutup buku yang baru saja ia baca. "Isi buku ini sangat berbeda dari kisah centaur yang ku ketahui. Di sini, centaur bukan mitologi, melainkan sebuah suku. Artinya, di dunia ini, centaur itu nyata. Menarik... semoga aku bisa bertemu mereka nanti."
Sebuah senyum mengembang di wajah Ekal. Ia merasa mungkin saja masih ada makhluk mitologi lain yang nyata di luar sana.
Mizel menutup bukunya dengan perasaan kecewa. Tidak ada petunjuk yang ditemukan.
"Kau sedang membaca apa?" tanyanya sambil bersandar dan menutup mata, mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
Ekal tersenyum, wajahnya penuh kegembiraan. "Aku membaca tentang centaur. Kukira mereka hanya ada di duniaku, tapi ternyata mereka juga ada di dunia ini, bahkan hidup." Senyuman itu masih terukir di wajahnya.
"Hah? Centaur atau centaurus maksudmu? Ada di duniamu?" Mizel membuka mata dan memperhatikan ekspresi Ekal dengan penuh rasa ingin tahu.
"Yah, persamaannya hanya fisiknya. Selain itu, semuanya berbeda. Di duniaku, centaurus berhubungan dengan dewa-dewi atau Tuhan, sementara di sini... mereka terlahir dari bintang jatuh. Atau mungkin—" Ekal melompat dari bangku, mengacungkan telunjuk ke wajah Mizel, "kejadian itu bukan bintang jatuh, melainkan jatuh dari portal. Kau tahu, mirip seperti kejadianku."
Mizel terdiam cukup lama, berpikir keras. Adakah kemungkinan perkataan Ekal itu benar?
"Memang tidak ada buku yang bisa memastikan asal-usul centaurus," kata Mizel akhirnya, membuka suara setelah berpikir. "Selain karena mereka menjaga adat istiadat, mereka juga cukup tertutup. Cerita yang beredar hanya berdasarkan cerita dari bangsa-bangsa di sekitar Centaurus."
Ekal kembali duduk, hampir saja dia merasa cemas, namun kemudian mengeluarkan spekulasi. "Bisa jadi keduanya berhubungan centaurus di duniamu dan centaur di duniaku."
Mereka saling menatap, memastikan apakah pemikiran mereka sama.
"Bagaimana kalau kita datangi centaurus, kita tanyakan langsung ke mereka,"Mizel memberikan saran.
"Bukankah kamu tadi mengatakan kalau centaurus cukup tertutup,"Ekal merasa heran.
"Aku punya teman yang bisa mengantarkan ke sana kebetulan dia salah satu orang yang dekat dengan centaurus."Mizel berdiri dia mulai merapikan buku-bukunya yang berserakan.
"Oh baiklah, mau ku bantu? "
"Tidak biar aku sendiri saja, apa kau bisa masak?" Mizel terus merapihkan buku-buku tanpa menoleh.
"Yah, tapi tidak begitu enak."
"Tidak masalah, Neyla akan membantu mu. Dia pasti lapar sehabis bermain,"
setelah mendengar itu Ekal segera keluar dari ruangan menuju ke dapur untuk memasak.
Suasana di ruang itu hening, hanya terdengar bunyi dentingan sendok yang mengisi kekosongan. Tak ada pembicaraan, semua terfokus pada santapan yang mereka nikmati.
"Setelah ini kita pergi ke rumah temanku, bawa barang penting. Pastikan tidak ada yang tertinggal, kita akan langsung berangkat ke desa Centaurus," kata Mizel, menyusun piring setelah makan.
Ekal menyusul, "Mendadak sekali."
"Centaurus? Kita jalan-jalan?" tanya Neyla, penasaran.
"Hanya paman dan paman Ekal yang pergi. Ney tinggal di rumah nenek Leyya," jawab Mizel, mendekati Neyla dan mengelus kepala bocah kecil itu.
Neyla cemberut, lalu tiba-tiba hidungnya memerah. Mizel segera menyadari dan memeluk tubuh mungil itu. "Jangan nangis, paman pergi tidak lama. Ney tinggal saja, nanti paman bawakan oleh-oleh."
"Enggak mau, Ney mau ikut... huhuhu," Neyla menangis, air matanya mengalir deras. Mizel kewalahan menenangkan.
Mizel menggendong tubuh kecil Neyla ke ruang tamu, duduk di kursi empuk yang sudah dikenal Neyla. Ia mengelus rambutnya perlahan, berusaha menenangkan. "Tidurlah dulu, sayang. Paman pasti kembali cepat," bisiknya lembut, memeluknya erat.
Neyla mengusap matanya dengan lengan kecilnya, tampak kelelahan. Perlahan-lahan, matanya mulai terpejam, tangisannya mereda. Mizel memastikan Neyla tertidur nyenyak sebelum menitipkan pada Nenek Leyya.
Setelah memastikan Neyla tidur dengan tenang, Mizel berdiri, melemparkan pandangan ke arah Ekal. "Sekarang kita bisa berangkat," katanya, dan mereka pergi menitipkan Ney pada nenek tetangga yang tinggal tak jauh dari rumahnya.
Mizel mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Tubuhnya bergetar, dan dalam sekejap, tubuhnya membesar, bersinar, dan membentuk sosok naga yang megah. Ekal ternganga melihat pemandangan itu, matanya terbelalak. Ini pertama kalinya ia melihat secara nyata dan jelas seekor naga asli.
Mizel, kini dengan bentuk tubuh naga yang besar dan kuat, menatap Ekal dengan tatapan tajam. "Kenapa diam saja? Cepat naik!" ujarnya dengan suara yang terdengar dalam dan berat, seperti gemuruh dari langit.
Ekal yang semula terpaku, segera tersadar dari keterkejutannya. "Oh iya, aku naik!" Tanpa banyak bicara, ia cepat-cepat memanjat punggung Mizel yang kini tampak jauh lebih besar dan kuat.
Begitu Ekal berada di punggungnya, Mizel mengangkat sayap besar dan dengan sekali ayunan terbang meninggalkan tanah, melesat ke langit.
Mereka terbang menuju Utara, udara dingin pada malam hari tidak menyulutkan niat mereka. Setelah sekian lama terbang dari kejauhan terlihat sebuah pohon besar bercahaya, semakin dekat tampak lah dengan jelas di dalamnya terdapat kehidupan.
Mizel mendarat di halaman rumah pohon, tepat setelah Ekal turun dari punggung Mizel seorang Pria tampan membukakan pintu. Penampilannya seperti dokter memiliki rambut putih panjang dan mengenakan jubah putih, ia menyambut mereka dengan ekspresi bahagia. Mizel sudah kembali ke bentuk semula ia berjalan kearah pria itu sambil tersenyum.
"Halo Tanio, maaf aku datang mendadak. Aku benar-benar membutuhkan bantuan mu sekarang." Mizel terlebih dahulu menyapa.
"Yah, tidak masalah, memang kebiasaanmu menjadi tamu tak diundang. Hahaha," Tanio balas menyapa dengan senyuman lebar, mengulurkan tangan untuk bersalaman, yang langsung dibalas oleh Mizel.
"Hahaha, permasalahannya ada pada pria ini. Bagaimana kalau ku ceritakan di dalam saja?" Mizel memberikan usulan dengan nada yang sedikit menggoda, matanya melirik Ekal yang masih tampak kebingungan.
"Aku pemilik rumah ini, Zel. Seharusnya aku yang menawari. Silahkan masuk," Tanio berkata sambil membuka pintu lebih lebar, mempersilakan mereka masuk. Ia melangkah mundur sedikit agar Mizel dan Ekal bisa melintasi ambang pintu.
Mizel mengangguk, kemudian melangkah masuk diikuti oleh Ekal. Tanio menutup pintu dengan lembut, lalu memimpin mereka menuju ruang tamu yang nyaman dengan suasana hangat.
Rumah pohon? Atau pohon rumah? Bentuknya benar-benar unik. Tidak ada kehidupan di dahan-dahan, melainkan semuanya berada di dalam batang pohon besar yang menjulang tinggi. Jendela-jendela kecil dan pintu-pintu tersusun ke atas, membentuk struktur bertingkat yang tampak kokoh namun penuh keanggunan.
Mereka bertiga memasuki ruang tamu. Mizel dan Ekal dipersilakan duduk di sofa besar yang empuk. Ruangan ini luar biasa luas, dengan dinding-dinding melengkung yang memancarkan cahaya keemasan. Semua perabotan tampak mewah dan mengkilap, hampir seperti ruangan istana kecil.
Tanio tersenyum sebentar sebelum pamit ke dapur. "Aku akan siapkan sesuatu untuk kalian. Tunggu sebentar."
Setelah Tanio pergi, Ekal memperhatikan ruangan tersebut dengan takjub. "Rumahnya besar, tapi tidak ada asisten rumah tangga," celetuknya spontan.
Mizel menoleh, sedikit mengernyit. "Asisten rumah tangga?"
Ekal mengangguk. "Maid, pelayan. Biasanya rumah besar seperti ini punya banyak pelayan."
"Oh, dia memang tidak mempekerjakan pelayan," jawab Mizel santai.
"Kenapa?"
"Karena dia penyihir. Membersihkan rumah sebesar ini bukan masalah baginya. Dia bisa melakukannya dengan mudah menggunakan sihir," jelas Mizel.
Ekal menatap Mizel dengan mulut sedikit terbuka. "Dia penyihir? Tebakan ku benar! Aku melihat telinganya yang mirip seperti peri, tapi dia tidak memiliki sayap, jadi kupikir pasti ada yang istimewa. Dan ternyata benar!"
Mizel memutar bola matanya, bingung. "Peri jenis apa lagi itu? Di mana-mana, peri pasti perempuan."
Ekal tersenyum kecil, merasa sedikit bingung menjelaskan. "Peri di duniaku mirip seperti yang aku gambarkan tadi. Mereka berbadan kecil, punya sayap berkilau, dan telinga runcing."
"Elf maksudmu?" Mizel menimpali. "Di sini juga ada makhluk bersayap, tapi mereka tidak kecil. Tubuh mereka bahkan dua kali lipat lebih besar dari tubuhmu."
"Elf? Jadi... mereka bukan malaikat?" Ekal mulai merasa bingung. "Di mana biasanya mereka hidup?"
Mizel menghela napas, mencoba menjelaskan. "Mungkin yang kamu maksud berbeda. Tapi elf di sini tinggal di hutan, biasanya di tempat yang terlindungi. Kalau soal peri kecil bersayap, aku belum pernah melihat makhluk seperti itu."
Mizel tidak sempat menjawab, karena Tanio sudah tiba dengan nampan di tangannya. "Maaf kalau lama. Aku bingung mau menjamu kalian dengan apa,Silahkan," ujarnya sambil tersenyum, lalu meletakkan nampan di meja.
Berbagai cemilan dan secangkir minuman hangat beraroma rempah menghiasi meja. Tanio duduk, menyilangkan kakinya santai.
🌿🌿🌿
Mohon buka dan baca catatan penulis di bawah. (っ.❛ ᴗ ❛.)っ