Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 4 - Kaldestin Bumantara

Chapter 4 - Kaldestin Bumantara

Akhirnya, Ekal bangun pada pagi hari tepat saat matahari berada di ufuk timur. Neyla sudah memulai aktivitasnya, kecuali Mizel yang semalam terus berada di kamar Ekal, menunggu makhluk itu bangun.

"Bagaimana, apa ada yang sakit? Aku sudah memanggil tabib kemarin. Luka-lukamu sudah sembuh, tapi mungkin saja masih ada yang terasa sakit," ujar Mizel tiba-tiba, sambil duduk di meja kerjanya. Ekal, yang tidak tahu bahwa ada seseorang di dalam ruangan, terkejut.

"T-Tidak ada. Sepertinya sudah sembuh," jawab Ekal, semakin terkejut saat menyadari bahwa mereka sedang berkomunikasi menggunakan bahasa asing.

"Boleh saya tahu di mana ini?" tanya Ekal dengan hati-hati.

"Hutan," jawab Mizel singkat.

"Eh, maksud saya, nama wilayah ini," Ekal meluruskan.

"Wilayah Tacion. Ada yang ingin ditanyakan lagi?" jawab Mizel datar, sambil terus sibuk dengan buku yang ada di tangannya, tanpa memandang Ekal sama sekali.

"Tacion? Itu negara mana?" tanya Ekal lagi.

"Wilayah Tacion, ya, negara Tacion. Kau tidak tahu? Memangnya kau berasal dari negara mana?" Mizel menutup bukunya dan memandang Ekal. Alisnya menyatu, menunjukkan rasa penasaran tentang asal usul Ekal.

"Saya baru dengar tentang negara Tacion. Kamu bohong, ya?" Ekal berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Mizel yang semakin tajam.

"Aku tanya! Siapa namamu? Dari mana asalmu? Bagaimana kau bisa sampai di sini? Kau bangsa apa?" Mizel sudah tidak sabar dan langsung melontarkan pertanyaan yang membuatnya semakin penasaran.

"Okay-okay, satu per satu. Nama saya Kaldestin Bumantara, saya berasal dari Indonesia. Kejadian yang membuat saya bisa sampai di sini cukup aneh. Saya terjatuh ke dalam lubang dalam, di sana ada portal, dan setelah keluar saya sudah berada di ketinggian, lalu jatuh dan pingsan. Bagaimana dengan kamu?" jelas Ekal. Ia merasa sedikit takut. Banyak kemungkinan yang terlintas di pikirannya: Mungkin saja dia sedang koma setelah jatuh dari lubang, kejadian ini hanyalah mimpinya, atau bisa jadi dia benar-benar pindah dunia—kemungkinan yang terdengar mustahil.

"Indonesia? Portal? Kau... jangan-jangan kau makhluk dari dunia lain. Kejadian seperti ini memang pernah terjadi, tapi setahuku, portal dunia lain itu sudah ditutup, jadi tidak ada jalan masuk atau keluar." Mizel terkejut, lalu segera berjalan keluar menuju perpustakaannya.

"Berarti benar aku pindah dunia? Benarkah? Terasa di luar nalar," Ekal berkata dengan nada yang penuh kebingungan, pikirannya berputar memahami apa saja yang ia alami.

Setelah Mizel pergi, Ekal beranjak dari kasur. Ia berjalan menuju jendela dan mengamati sekeliling.

"Tidak ada yang istimewa. Semua terlihat familiar... Oh iya, di mana ranselku?" Ekal berbicara sendiri, sebuah kebiasaan yang sudah lama ia miliki.

Ia mengelilingi ruangan, mencari ransel yang ia bawa, namun ruangan itu kosong, hanya ada barang-barang milik Mizel. Ekal tidak mungkin menggeledah barang milik orang lain hanya untuk mencari miliknya.

"Mungkin nanti saja. Pria tadi pasti menyimpannya di suatu tempat," Ekal bergumam saat berjalan keluar dari kamar dengan masih mengenakan pakaian compang-camping. Mizel benar-benar tidak berniat menolong.

Ruang tamu luas, meski tampak sederhana. Desain arsitektur kuno yang simpel pada setiap bingkai jendela dan pintu memberikan nuansa damai dan menawan. Tata letak furniturnya pun sederhana: sofa dan meja di tengah ruangan, vas bunga di pojok, tanpa hiasan atau foto di dinding. Semua desain dan furnitur terasa familiar bagi Ekal, seperti ia telah berpindah ke masa-masa zaman kuno.

Ekal berjalan keluar untuk menikmati udara pagi. Tak disangka, alam menyambutnya dengan indah. Suara kicauan burung semakin merdu, seolah memanggil-manggil tamu tak diundang. Udara sejuk yang sedikit berembun menyegarkan, sementara sinar mentari menembus dedaunan, memberikan cahaya kehidupan pada makhluk-makhluk yang tersembunyi di balik pepohonan. Suasana begitu damai. Ekal merasa ia tidak akan menyesal jika dibiarkan lebih lama di sini, asalkan bisa menikmati alam dan bersantai.

Dari kejauhan, terlihat seorang gadis kecil berlari mendekat sambil berjingkrak-jingkrak dengan penuh kegembiraan, membawa sebuah kantong lusuh. Sangat menggemaskan, pipi tembemnya memerah, titik-titik keringat tampak di dahinya, dan senyum lima senti terpatri di wajahnya.

"Loh, ini orang yang dibawa paman, kan? Kenapa di luar? Sudah makan? Neyla tadi habis jual Dakkah, dapat banyak uang nih," kata Neyla dengan semangat. Selain karena mendapatkan uang, dia juga senang karena roh naga miliknya.

"Dakkah? Apa itu?" tanya Ekal, sebuah kebiasaan yang dia lakukan: bukannya menjawab, malah bertanya balik.

"Paman nggak tahu Dakkah? Dakkah itu binatang besar yang biasa makan Scrofa atau Cuniculus . Ya sudah, kalau paman nggak mau makan, Ney masuk dulu deh, mau kasih uang sama paman Mizel," jawab Neyla, lalu berlalu melewati Ekal tanpa menunggu jawabannya.

"Hei, tunggu dulu. Saya mau makan, memang lauknya apa?" Ekal segera menyusul Neyla.

"Jamur sama daging Cuniculus," jawab Neyla singkat.

Mereka memasuki ruangan perpustakaan Mizel, di mana Mizel sedang fokus membaca sebuah buku besar berwarna coklat.

"Paman, ini uangnya. Ney lapar, mau makan," kata Neyla sambil naik ke pangkuan Mizel.

"Sebentar, apa kata paman Zean?" tanya Mizel tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.

"Katanya, 'Aduh, Ney, ini berat sekali. Harusnya kamu bilang kalau mau jual Dakkah.' Terus Ney bilang, 'Paman Mizel bisa tuh angkat sendiri, tapi sayang paman Mizel nggak bisa antar karena paman sibuk. Makanya, Ney suruh paman Zean ambil sendiri. Kalau nggak kuat, ya salah paman.' Terus ya sudah, paman Zean iya-iya saja," cerita Ney panjang lebar, sambil meniru percakapan yang baru saja terjadi.

"Haha, pintar sekali ponakan paman, tunggu sebentar ya, kamu turun dulu, kita ke dapur dan masak. Ney mau makan apa?" Mizel sambil tertawa dan mengacak-acak kepala Neyla, lalu menyuruh ponakannya turun dari pangkuan. Setelah itu, ia menutup buku di tangan dan bangkit, merasa gemas dan tidak tega membuat ponakannya menunggu lebih lama.

"Mau jamur tumis sama kelinci panggang," jawab Neyla semangat.

Saat Mizel berdiri, ia menatap Ekal dari bawah hingga atas. Pakaiannya yang masih sama seperti kemarin sudah lusuh dan compang-camping, belum diganti.

"Astaga, aku lupa bilang, mandi dulu sana, terus ganti pakaian. Gunakan baju di lemari bagian bawah, jangan yang di gantung, itu kesukaanku," kata Mizel sambil mendorong Ekal keluar. Sementara itu, ia menuju dapur untuk memasak.

Setelah mengganti pakaian, Ekal melangkah menuju dapur. Tidak terlalu sulit, karena ia bisa mendengar suara ceria Neyla dari ruang tamu. Untuk sampai ke dapur, Ekal hanya perlu melewati lorong yang cukup pendek, dan dari sana, ia sudah bisa melihat dapur dengan jelas.

Saat ia masuk ke dapur, pandangannya langsung tertuju pada meja makan panjang yang bisa menampung empat orang, dengan kursi-kursi kayu terletak rapi di sekelilingnya. Di seberang meja, berbagai alat masak tersusun teratur di meja dapur yang khusus disediakan untuk peralatan memasak.

Di sebelah kiri Ekal, terdapat lemari dan loker-loker penyimpanan yang rapi. Di depannya, ada tempat pencucian piring yang cukup unik. Mereka tidak menggunakan wastafel biasa, melainkan sebuah tempat dengan aliran air yang mengalir seperti sungai kecil di atas meja. Ekal merasa bingung melihatnya—ia tidak tahu persis apa itu, namun keunikan desainnya membuatnya semakin penasaran.

Di hadapannya, dekat dengan tempat pencucian piring, terdapat jendela besar yang memanjang dari sisi kiri hingga ke ujung dinding sebelah kanan dapur. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela itu, menerangi ruangan dan menciptakan suasana hangat dan terang di dapur tersebut.

Di luar jendela, terlihat banyak tanaman hijau yang tumbuh subur, menciptakan pemandangan yang asri dan memanjakan mata. Udara segar berpadu dengan aroma alami tanaman yang menyegarkan suasana di dapur. Sementara itu, Mizel tampak sibuk di kompor, memasak dengan penuh perhatian. Aroma masakan yang menggugah selera membuat perut Ekal berbunyi gelisah, menandakan betapa lapar dirinya.

Di meja makan, Neyla asyik bergerak tak menentu, berlarian dengan ceria di atas bangku, berbicara sendiri atau sesekali tertawa. Ekspresinya penuh keceriaan, meskipun terkadang ucapannya sulit dipahami, ia tetap terlihat riang.

🌿🌿🌿

Mohon buka Dan baca catatan penulis di bawah (⁠っ⁠.⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)⁠っ