Ketika matahari mulai tenggelam dan digantikan oleh bulan yang pucat, hewan-hewan malam keluar dari persembunyiannya, melengkapi simfoni alam. Namun, di tepi pantai, Ekal tetap duduk, membiarkan angin sepoi-sepoi dan irama ombak menghanyutkannya dalam lamunan.
Apa yang aku cari di sini? pikirnya sambil menatap cakrawala. Tidak ada jawaban, hanya desiran ombak yang terus memecah kesunyian.
Tatapannya kosong, penuh tanda tanya, seperti ingin meminta bintang turun menemaninya. Tapi, dia tahu itu tidak akan pernah terjadi. Hanya gelap, hanya dia, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang ia rasakan.
Setitik demi setitik hujan mulai turun ke bumi membasahi tubuhnya. Aroma pasir basah bercampur dengan udara laut. Ketika butir-butir hujan semakin deras, barulah Ekal sadar.
"Apa sebegitu nyamannya pantai ini sampai aku tak sadar hujan turun?" gumamnya, setengah tertawa pada dirinya sendiri.
Ia segera bangkit dan mencari tempat berteduh. Memanfaatkan cahaya kecil dari ponsel di tangannya, dia melangkah menuju sebuah gubuk kecil yang biasa ia singgahi. Di sana dia duduk, menyaksikan hujan menari dalam gelap.
Angin berhembus lembut membawa aroma basah yang khas, sementara dunia di sekitarnya tenggelam dalam kesunyian. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada nyanyian jangkrik hanya dirinya dan alam yang berbicara dalam bahasa mereka.
Ini waktu yang sempurna, pikirnya. Waktu untuk merangkai kata, untuk menggambarkan keindahan yang sering terlewatkan. Bukan kah seniman sangat menyukai suasana saat ini?
Hujan yang terus mengguyur tiba-tiba terasa lebih dingin ketika Ekal menangkap seberkas cahaya di kejauhan, sekitar seratus meter dari tempatnya berdiri. Cahaya itu hanya sekelebat muncul dan menghilang dalam sekejap.
Jantungnya berdegup kencang. "Apa aku baru saja berhalusinasi? Atau ada seseorang di sana?" gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Kata-katanya bergema dalam kesunyian, seakan ada yang menemani.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Perlahan, kakinya mulai melangkah menuju tempat di mana cahaya tadi muncul. Rintik hujan mengguyur wajahnya, mengaburkan pandangan, tapi Ekal terus maju, terpikat oleh keanehan itu.
Ketika jarak semakin dekat, pandangannya menangkap sesuatu yang aneh yaitu sebuah lubang besar, sebesar drum menganga di tanah. Gelap dan dalam, seperti mulut hitam yang menelan apa saja.
"Apa ini?" gumamnya, matanya terpaku pada lubang itu. "Tidak ada petir, tidak ada guntur, tapi tiba-tiba ada lubang sebesar ini... Apa ini hasil uji coba proyek penggalian teknologi baru?"
Pikirannya berputar-putar. Ia mencoba merasionalisasi apa yang dilihatnya, tetapi tidak ada jawaban yang memuaskan.
Ekal berdiri di sana bingung, dengan dua pilihan di tangannya. Haruskah ia memeriksa lubang itu sekarang, mengambil risiko apa pun yang menantinya di dalam? Ataukah lebih baik ia membiarkannya dan kembali ke rumah untuk memikirkan langkah selanjutnya?
Namun, ide ketiga melintas di benaknya: "Mungkin aku bisa kembali nanti... ketika semuanya terasa lebih aman."
Dengan pikiran itu ia berbalik, meninggalkan misteri menganga di balik punggungnya. Angin dan hujan menemani langkahnya yang berat menuju tempat berlindung. Di rumah kecilnya ia duduk memeluk diri sendiri, mencari kehangatan dalam kedinginan hati yang tak kunjung reda.
Entah kenapa, pikiran untuk memeriksa lubang itu terus menghantui benak Ekal. Mungkin karena dia tipe pria yang selalu ingin tahu hal-hal baru, terlebih jika itu tidak masuk akal atau melanggar rutinitas biasa.
Setelah membersihkan diri dari basahnya hujan dan menikmati kehangatan, Ekal duduk di meja kerjanya. Segelas kopi hangat mengepul di samping laptop yang menyala, sementara jari-jarinya dengan cepat mencari informasi terkait pantai tempat dia menemukan lubang itu.
"Tidak ada proyek penggalian yang sedang berlangsung di area pantai itu," gumamnya, membaca hasil pencariannya.
Ia melirik jam di dinding, jarum pendek dan panjang hampir menyatu di angka 23:24. Di luar, suara hujan yang tadi membasahi dunia kini telah menghilang. Malam menjadi sunyi, hanya ditemani angin yang berembus lembut.
"Syukurlah hujannya sudah reda," katanya sambil menyandarkan tubuh ke kursi. Namun, rasa lelah yang membebani bahunya terasa kalah oleh desakan rasa ingin tahunya. Tatapannya beralih ke ransel di sudut ruangan.
"Aku harus mempersiapkan barang-barangku," pikirnya sambil menghela napas berat, menunjukkan keengganannya untuk kembali ke pantai larut malam begini. Tapi dorongan itu terlalu besar untuk diabaikan.
Dia melamun sejenak. Tunggu... seberapa dalam lubang itu sebenarnya? Pikirannya mendadak terpaku pada satu kesalahan kecil yang ia buat tadi. Kenapa aku tidak mengukur kedalamannya lebih dulu? Sebuah penyesalan kecil yang membuatnya semakin gelisah.
"Ah, sial!" gumamnya dengan nada jengkel.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia bangkit dan mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam ransel. Senter, tali, dan beberapa peralatan keamanan ia masukkan dengan cepat. Setelah memastikan semuanya siap, Ekal melangkah keluar dari rumahnya menuju pantai yang kembali sunyi.
Ketika Ekal tiba di tepi lubang, ia menurunkan ranselnya. Tangannya dengan sigap mengambil dua benda: satu bulat seukuran bola pingpong dan satu lagi berbentuk persegi panjang, sepanjang pulpen dan selebar penggaris. Setelah itu, ranselnya kembali ia kenakan di punggung.
Ia memeriksa benda bulat di tangannya, lalu menekan bagian atas. Cahaya redup berwarna merah langsung terpancar. Selanjutnya, ia menyalakan benda persegi panjang dengan menekan tombol "ON".
"Bersiap... oke, mulai!" gumamnya tegas.
Dengan hati-hati, Ekal melepaskan benda bulat dari genggamannya, membiarkannya jatuh ke dalam lubang, sementara benda persegi panjang tetap ia pegang di tangan kirinya. Angka-angka pada layar benda itu mulai berubah dengan cepat.
"11… 14… 19… 26… 35… 36… 39… 44… 50… 80…" Suara tiiiiiiit yang memekakkan telinga tiba-tiba terdengar, menghentikan angka yang sebelumnya tertera. Layar benda itu mulai berkedip liar, membuat angka bergerak begitu cepat hingga tak terbaca.
Ekal mundur beberapa langkah, ketakutan mulai menyusup ke dalam dirinya. Tangannya gemetar, matanya terbelalak. "Ini… ini bukan lubang biasa. Teknologi buatanku juga nggak mungkin rusak! Ini pengukur andalanku!" katanya panik, memandangi alat di tangannya.
Meski nyalinya mulai runtuh, rasa ingin tahu yang membakar hatinya membuat Ekal perlahan mendekati lubang lagi. Ia mengintip ke dalam, berharap menemukan jawaban.
Namun tiba-tiba, sesuatu menghantam tubuhnya dari belakang makhluk bercahaya yang tak sempat ia lihat jelas. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan ia jatuh ke dalam lubang.
"ARGH!!" jeritnya. Tubuh Ekal terhempas tanpa kendali. Kepalanya berkali-kali terantuk sisi lubang yang keras. Rasa sakit menghujam setiap sarafnya.
"MENYAKITKAN." Hanya satu kata itu yang bisa ia pikirkan saat tubuhnya terus terombang-ambing. Posisi tubuhnya kacau; kepala di bawah, kaki di atas, berputar-putar tanpa henti. Lubang yang awalnya sempit kini perlahan melebar, dan gravitasi seolah semakin kuat menariknya ke bawah.
Di kejauhan, ia melihat sesuatu—lingkaran bercahaya. Sekilas, ia tahu apa itu. "Portal..." pikirnya. Jangan tanya dari mana ia tahu. Game online yang sering ia mainkan sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan hal ini.
Beberapa detik kemudian, tubuhnya melewati lingkaran cahaya itu. Sekelilingnya berubah menjadi gelap, dipenuhi garis-garis putih seperti kilatan listrik. Tubuhnya terasa mengapung, posisinya perlahan kembali normal. Tapi rasa mual mulai menjalar akibat putaran sebelumnya.
Lima menit berlalu, dan Ekal keluar dari portal, disambut cahaya putih yang menyilaukan.
Namun, nasibnya belum berakhir. Ia terjatuh dari ketinggian tujuh meter, tubuhnya menghantam cabang-cabang pohon sebelum akhirnya terjerembab di tanah.
"ARGH!!" teriaknya, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh.
Di tengah rasa sakit itu, ia teringat pepatah lama yang sering didengar dari tetangganya: Hidup itu mudah, hanya kita yang mempersulit.
"Jadi, tenang saja... ya kan?" gumamnya getir, mencoba menyemangati dirinya sendiri meski tubuhnya tak bisa diajak kompromi.
Singkat cerita, Ekal pun terjerembab ganteng di tanah. Salahkah batang pohon yang lebih dulu menyambutnya.
Ekal terbaring dengan wajah penuh debu, tubuh lebam di sana-sini. Matanya menyipit, menahan nyeri.
🌿🌿🌿
Mohon buka dan baca catatan penulis di bawah(◠‿◕)