Di jalanan yang tak berakhir di Dyron, Vin Crimson melangkah dalam kesunyian yang berat, menelusuri jalan menuju makam ayahnya, Kyle Crimson. Langkahnya lambat namun pasti, meski setiap langkah terasa bagaikan menelusuri luka lama yang belum sembuh. Rasa rindu dan penyesalan menyatu, membayangi hatinya seperti kabut tebal yang tak kunjung hilang.
Vin menunduk sejenak, merapatkan jubah hitam panjangnya yang bertepi garis merah gelap, mencoba berlindung dari angin dingin yang menyusup di antara pepohonan di sekitarnya. Di sepanjang perjalanan, atmosfer begitu sunyi, hanya suara langkah kakinya yang bergema di jalan yang berdebu.
Namun, perjalanannya tidaklah mudah. Di tengah jalan, sosok serigala yang kerap menghantui masa lalunya muncul lagi, seperti bayangan gelap yang enggan pergi.
"Muncul lagi, ya!" seru Vin sambil menghunus pedangnya ke arah sosok serigala itu, tatapannya gelap dan napasnya berat. Pedangnya bersinar suram di bawah cahaya yang mulai memudar.
Secara tiba tiba sosok serigala itu menyerang Vin dengan cepat. Lalu tanpa ragu, Vin mengayunkan pedang itu ke arah sosok serigala, namun sekali lagi, makhluk itu lenyap begitu saja seperti bayangan yang tak bisa disentuh. Hanya angin dingin yang menyisakan keheningan, seperti mempermainkan keberaniannya.
"Oh, bayangan masa laluku lagi," gumam Vin, mencoba mengendalikan napasnya yang mulai tersengal. Ia merasa jantungnya berdetak cepat, seolah bayangan serigala itu membawa kembali semua kenangan yang ingin ia lupakan, semua rasa bersalah yang masih mengakar dalam hatinya.
Tak lama, sebuah suara memanggilnya.
"Hai, Vin! Kita bertemu lagi, ya!"
Vin menoleh dan melihat pria yang memanggilnya adalah Ryan Xinolen, sahabat lama ayahnya. Suara Ryan yang santai berhasil memecah kesunyian yang membungkus perjalanan Vin.
"Hai, Paman, senang bertemu," ucap Vin dengan nada berat, meskipun hatinya masih terasa gelisah. Tatapannya sedikit mendung, berusaha menutupi kegelisahan yang sulit ia jelaskan.
Ryan memerhatikan Vin dengan raut wajah khawatir. "Kamu baik-baik saja, Vin?"
"Aku... tidak apa-apa. Aku hanya... melihat sosok serigala itu lagi dalam perjalanan ke makam Ayah," jawab Vin dengan suara pelan, sedikit gemetar dan rasa takut menyelimuti setaiap kata yang ia ucapkan.
"Oh, sosok itu lagi? Coba perlahan tenangkan dirimu, Vin. Fokus saja kedepan dan biarkan semua berlalu dengan pelan pelan," Ryan menepuk bahunya dengan lembut. "Kebetulan aku juga mau ke makam ayahmu, mari kita jalan bersama."
Perjalanan mereka berlanjut, melalui jalan suram yang semakin gelap saat matahari mulai bergerak ke utara menandakan hari akan gelap. Di waktu singkat yang hampir sore, bukit Skull akhirnya terlihat di depan mereka, menandakan perjalanan hampir usai.
"Apa kau tahu kenapa bukit ini disebut bukit Skull?" tanya Ryan sambil melihat jauh ke arah bukit yang dipenuhi kabut tipis. "Dulu tempat ini dipenuhi tengkorak prajurit dan petarung yang gugur di medan perang. Tempat ini punya banyak cerita kelam dan tragis, bahkan ada beberapa orang yang tidak bersalah dan tidak terlibat perang pun ikut menjadi korban."
Vin merasakan hawa dingin merambat di kulitnya saat mereka melangkah lebih dekat. Hamparan batu nisan tua tampak berserakan di antara rerumputan kering, menciptakan suasana sunyi yang mencekam disore hari yang hampir usai.
Setelah membersihkan area sekitar makam, Vin dan Ryan akhirnya duduk untuk berdoa di makam Kyle. Di tengah keheningan doa, Vin merasakan kepedihan yang tak sepenuhnya sirna, seperti ada bagian dari dirinya yang masih merindukan sosok ayahnya.
Usai berdoa, Ryan mengajak Vin duduk di bawah pohon hangus yang berdiri kaku di dekat makam.
"Hei, Vin." Ryan menepuk pundak Vin dengan senyum kecil. "Masih ingat caramu berlatih bertarung dulu? Ayahmu mengajarkan banyak teknik keren, bukan?"
Vin sedikit mengingat sang ayah, walaupun dengan senyum sedikit kecut. "Tidak sepenuhnya, Paman. Terkadang aku memikirkannya, namun hal itu mulai pudar di ingatan ku."
Ryan tersenyum hangat. "Kau tahu, aku sahabat dekat ayahmu. Aku juga banyak belajar darinya. Kalau kamu mau, besok kita bisa latihan bareng. Lagipula, kamu ingin menjadi sehebat dia, kan?"
Vin memandang Ryan dengan tatapan dalam. "Ayah... apa dia memang sehebat itu, bahkan sejak kecil? Aku cuma punya pedang yang ia tinggalkan untukku."
Dengan perasaan campur aduk, Vin mengangkat pedangnya, Astral Demon Darius, sebuah pedang hitam dengan gagang berwarna sedikit kemerah yang terlihat tegas dan kokoh.
Ryan memerhatikan pedang itu dengan teliti. "Pedang ini cukup luar biasa. Rasanya kokoh dan seimbang, tapi… tampaknya tidak ada kekuatan sihir di dalamnya. Pedang ini seperti menyatu dengan kekuatanmu sendiri. Bagaikan pedang yang mampu beradaptasi dengan penggunanya saat ini yaitu kamu, Vin."
Vin menatap pedangnya dengan perasaan kagum dan ragu. Ia merasa pedang itu adalah warisan paling berharga dari ayahnya, meski ia tak yakin apakah mampu memikul harapan besar itu.
"Aku kagum, Paman. Bagaimana kau bisa tahu banyak soal pedang dan cara bertarung?"
Ryan tertawa kecil. "Tentu saja dengan pengalaman, Vin. Dan aku juga guru pedang, jadi aku tahu soal teknik."
Matahari sudah hampir terbenam saat Ryan menepuk bahu Vin lagi.
"Ngomong-ngomong, matahari sudah hampir terbenam. Sebaiknya kamu segera pulang. Istriku dan anakku pasti sudah menungguku di rumah juga."
Vin tersenyum tipis. "Baiklah, Paman. Sampai besok. Aku akan berlatih keras!" ucapnya sebelum beranjak, membawa pulang tekad dan harapan baru.
Namun dalam perjalanan itu, Vin teringat akan satu hal yang mungkin bisa mengubah nasib hidupnya.
Chapter 2