Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Jantungku berdebar kencang, seolah baru saja berlari marathon. Mimpi buruk itu... atau mungkin bukan mimpi buruk. Rasanya terlalu nyata, terlalu jelas, terlalu ... indah.
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah orang tuaku dengan jelas. Ayah, dengan raut wajahnya yang tegas dan penuh kekuatan. Ibu, dengan senyumnya yang lembut dan tatapan penuh kasih sayang. Mereka memelukku, melindungiku, dan mengucapkan kata-kata cinta yang tak pernah kudengar sebelumnya.
Namun, keindahan itu segera berubah menjadi mimpi buruk. Api, naga, dan pertempuran yang mengerikan. Raungan Apollyon masih terngiang di telingaku, membuatku gemetar ketakutan. Aku mengingat kata-kata terakhir Ibu, "Kau adalah anak yang istimewa. Kau memiliki kekuatan yang besar..."
Kekuatan apa? Apa maksud Ibu? Dan siapa Apollyon, naga yang menyerang kami? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, membuatku semakin bingung dan frustasi.
Aku mencoba duduk, tapi kepalaku berdenyut nyeri. Kupejamkan mata, mencoba menenangkan diri dan mengatur napas. Perlahan, ingatan tentang pertemuan dengan Nancy kembali menyeruak. Nexus, Akademi Athena, Astral Knight... Mungkinkah semua itu benar? Mungkinkah aku benar-benar seorang Drakonian, seperti yang dikatakan Apollyon?
Aku membuka mata, menatap sekeliling. Kereta hitam itu masih melaju di tengah kegelapan. Tak ada jendela, tak ada tanda-tanda kehidupan di luar. Aku merasa terisolasi, sendiri dengan pikiran dan perasaanku yang kacau.
Namun, di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang kuyakini. Aku harus mencari tahu kebenaran tentang masa laluku, tentang orang tuaku, dan tentang Apollyon. Aku harus menemukan jawaban atas semua pertanyaanku.
Dan aku tahu di mana aku harus mencarinya, Nexus.
Nexus. Aku menggumamkan kata itu dalam hati, mencoba membayangkan seperti apa rupa dunia sihir itu. Apakah benar-benar ada makhluk ajaib, sihir, dan sekolah untuk para penyihir seperti yang diceritakan Nancy? Atau mungkin ini semua hanyalah jebakan?
Keraguan dan kecemasan mulai menggerogoti pikiran. Aku tak mengenal Nancy. Bagaimana jika ia membohongiku? Bagaimana jika Nexus adalah tempat yang berbahaya? Bagaimana jika...
"Hei, kau baik-baik saja?"
Suara yang tiba-tiba itu membuatku terkejut. Aku menoleh, dan melihat seorang pemuda dengan rambut pirang dan mata hijau berdiri di depanku. Ia mengenakan seragam akademi yang rapi, dengan lencana berbentuk burung hantu di dadanya. Wajahnya dihiasi senyum ramah, namun ada sorot khawatir di matanya.
"Aku... iya, aku baik-baik saja," jawabku gugup.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, "Kau tampak pucat. Apakah kau sakit?"
"Tidak, tidak. Aku hanya... sedikit gugup," aku berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Ini perjalanan pertamaku dengan kereta api, dan aku tidak tahu ke mana tujuanku."
Pemuda itu tertawa kecil, "Tenang saja, perjalanan dengan kereta api cukup aman kok. Dan mengenai tujuan... kau pasti akan sampai di tempat yang tepat."
Ia mengulurkan tangannya, "Namaku Arthur Lysander. Kau?"
"George... George Blake," jawabku, menerima uluran tangannya.
"Senang bertemu denganmu, George," kata Arthur dengan antusias. "Kau mau ke mana?"
Aku terdiam sejenak, ragu untuk menyebutkan Nexus. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman membicarakannya dengan orang asing.
"Aku... aku tidak tahu pasti," jawabku akhirnya. "Aku disuruh menaiki kereta ini dan menunggu sampai aku tahu kapan harus turun."
Arthur mengangguk perlahan, seolah mengerti. "Hmm... kedengarannya misterius. Tapi aku yakin ada alasan di balik semua ini."
Ia tersenyum lagi, "Ngomong-ngomong, aku baru saja kembali dari Terra. Mengunjungi kakakku di sana."
Terra? Mendengar kata itu, aku langsung merasa ada koneksi dengan Arthur. "Benarkah? Aku... aku juga dari Terra," ucapku tanpa sadar.
Arthur menatapku dengan penuh minat, "Oh ya? Wah, kebetulan sekali! Jarang ada Terran yang naik kereta ini. Kebanyakan penumpang adalah penduduk Nexus."
Ia menjeda sejenak, lalu berkata dengan nada bercanda, "Kau tahu, kakakku punya kemampuan meramal sedikit. Dia bilang akan ada seseorang yang 'istimewa' yang akan naik kereta ini hari ini. Mungkin itu kamu?"
Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupku. "Ah, mana mungkin. Aku hanya orang biasa."
Arthur tersenyum misterius, "Siapa tahu?" Ia menepuk pundakku, "Kalau begitu, mari kita duduk bersama. Kebetulan aku juga mau ke Athena."
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang setelah bertemu dengan Arthur. Mungkin perjalanan ke Nexus ini tidak akan semenakutkan yang kukira.
"Nexus itu..." Arthur memulai penjelasannya dengan semangat, "...seperti dunia yang diambil langsung dari buku dongeng! Bayangkan, George, ada kota-kota yang dibangun di atas awan, sungai-sungai yang mengalir dengan air ajaib yang bisa menyembuhkan, dan hutan-hutan yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang hanya pernah kau lihat di buku-buku fantasi."
Mataku berbinar-binar mendengar cerita Arthur. Aku tak bisa membayangkan betapa menakjubkannya dunia itu. "Wow, kedengarannya luar biasa!" seruku takjub.
"Itu baru sebagian kecilnya," Arthur terkekeh. "Di Nexus, sihir bukanlah hal yang aneh. Orang-orang menggunakan sihir dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari menyalakan lampu hingga bepergian jarak jauh. Bahkan, kereta yang kita tumpangi ini pun digerakkan oleh sihir!"
Aku tercengang. "Benarkah? Aku tidak merasakan getaran mesin sama sekali."
"Tentu saja," Arthur mengangguk. "Kereta ini menggunakan sihir levitasi dan propulsi. Oh ya, dan coba lihat ini!"
Arthur menunjuk ke jendela kereta yang sebelumnya gelap gulita. Seketika, kaca jendela itu berubah menjadi transparan, memperlihatkan pemandangan di luar yang membuatku ternganga.
Kami meluncur di atas rel yang melayang di antara pepohonan raksasa. Hutan di bawah kami tampak seperti lautan hijau zamrud yang tak berujung. Berbagai macam makhluk terbang melintas di antara pepohonan, beberapa di antaranya memiliki sayap berwarna-warni yang berkilauan di bawah sinar matahari. Ada yang mirip burung dengan bulu yang bercahaya, ada pula yang menyerupai naga kecil dengan sisik berwarna perak.
Di kejauhan, tampak sebuah pohon raksasa yang menjulang tinggi, menembus awan. Cahaya keemasan memancar dari pohon itu, menyinari seluruh Nexus.
"Itu World Tree," jelas Arthur, mengikuti arah pandanganku. "Sumber sihir dan kehidupan di Nexus. Katanya, pohon itu sudah ada sejak dunia ini diciptakan."
Aku terpaku menatap World Tree yang megah itu. Keindahannya sungguh luar biasa, membuatku merasa kecil dan tidak berarti.
Arthur melanjutkan ceritanya, "Athena adalah salah satu dari enam akademi di Nexus. Di sana, kita akan belajar mengendalikan sihir, bertarung melawan monster, dan menjadi Astral Knight yang hebat."
Ia menunjuk ke arah sebuah kota yang tampak di kejauhan. "Lihat, itu Athena! Indah, kan?"
Kota itu terletak di atas sebuah bukit, dikelilingi oleh tembok kokoh yang terbuat dari batu putih. Bangunan-bangunan dengan arsitektur yang megah dan beragam menghiasi kota itu. Ada menara-menara tinggi yang menjulang ke langit, kubah-kubah berwarna-warni, dan taman-taman yang rindang. Di pusat kota, terlihat sebuah bangunan raksasa yang bercahaya, mungkin itulah Akademi Athena.
Aku tak bisa berkata-kata. Keindahan Nexus dan Athena melebihi apapun yang pernah kubayangkan. Rasanya seperti memasuki dunia mimpi, dunia yang penuh keajaiban dan kemungkinan tak terbatas.
"Selamat datang di Nexus, George!" seru Arthur dengan senyum lebar. "Petualangan kita dimulai sekarang!"
Kereta akhirnya berhenti, membuatku terhuyung sedikit. Pintu bergeser terbuka, memperlihatkan pemandangan yang sungguh berbeda dari stasiun kumuh di Terra. Peron stasiun ini terbuat dari marmer putih yang berkilau, dihiasi dengan pilar-pilar tinggi dan ukiran-ukiran rumit. Lampu-lampu kristal bercahaya lembut, menciptakan atmosfer yang mewah dan magis.
Aku melangkah keluar kereta, mengikuti Arthur yang tampak sudah terbiasa dengan keramaian stasiun. Orang-orang berlalu-lalang dengan tergesa-gesa, sebagian besar berras manusia, tapi ada juga yang berbeda. Aku melihat seorang pria bertubuh kecil dengan telinga runcing seperti peri, seorang wanita bertubuh tinggi dengan kulit hijau dan rambut yang terbuat dari dedaunan, bahkan seekor makhluk berbulu dengan tanduk yang berjalan dengan dua kaki.
"Selamat datang di Athena, George!" seru Arthur, suaranya nyaris tenggelam di tengah kebisingan stasiun.
Aku menatap sekeliling dengan takjub. Nexus benar-benar dunia yang luar biasa. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu. Pakaianku... itu berbeda. Bukan lagi pakaian lusuh yang kuk kenakan sebelumnya, melainkan seragam akademi yang rapi dan elegan. Setelan jas berwarna biru tua dengan lencana Akademi Athena di dada kiri, dipadukan dengan celana panjang hitam dan sepatu kulit cokelat.
"Arthur, pakaianku..." ucapku bingung.
Arthur tersenyum, "Oh, itu sihir kamuflase. Setiap Astral Knight yang pergi ke Terra wajib menguasainya untuk menyamar di antara manusia." Ia menepuk bajunya sendiri yang juga berubah menjadi seragam yang sama. "Aku sudah menggunakannya sejak di kereta tadi. Sepertinya kau belum tahu caranya, ya?"
Aku menggeleng, "Aku tidak ingat mengganti pakaian."
"Mungkin orang yang menjemputmu yang melakukannya," Arthur berpikir sejenak. "Tapi aneh juga, seharusnya kau ditemani oleh seorang Astral Knight senior yang akan menjelaska n beberapa hal padamu sebelum masuk ke Nexus. Kenapa kau sendiri?"
Aku menjelaskan bahwa aku hanya disuruh naik kereta oleh Nancy dan tidak bertemu dengan siapapun selama perjalanan. Arthur tampak semakin heran.
"Hmm... ini sungguh tidak biasa," gumamnya.
Tiba-tiba, seorang gadis dengan rambut pirang dan mata biru cerah menghampiri kami. Ia mengenakan seragam akademi yang sama dengan kami, namun dengan rok pendek sebatas lutut. Wajahnya dihiasi senyum manis yang menawan.
"Arthur!" sapanya dengan ceria. "Akhirnya kau tiba juga! Aku sudah menunggu lama."
"Lisa!" Arthur menyambut gadis itu dengan hangat. "Maaf membuatmu menunggu. Oh ya, kenalkan, ini George. Dia seorang Terran."
Lisa menoleh padaku dan tersenyum ramah. "Halo, George. Senang bertemu denganmu. Namaku Lisa Hawthorne."
"Halo, Lisa," jawabku gugup. Aku terpesona oleh kecantikannya.
Lisa mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya dan memberikannya pada Arthur. "Ini dari Kepala Sekolah Nancy. Katanya, berikan ini pada Arthur dan temannya yang akan tiba di stasiun hari ini."
Arthur menerima kotak itu dengan bingung. "Temannya? Siapa?"
Lisa menunjuk ke arahku, "Ya, dia ini. Kepala Sekolah bilang kalian berdua akan tiba di stasiun tepat pada waktu ini."
Arthur dan aku berpandangan, sama-sama terkejut. Bagaimana mungkin Nancy tahu bahwa aku akan bertemu dengan Arthur? Dan apa isi kotak misterius itu?