Hening sesaat menyelimuti arena pertempuran. George, Arthur, dan Lisa berdiri di tengah hutan lebat, mata mereka mengamati sekeliling dengan waspada. Pepohonan menjulang tinggi, menaungi tanah yang lembap dan ditumbuhi semak belukar. Sinar matahari pagi yang menembus dedaunan menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari-nari di sekitar mereka. Suara gemericik air dari sungai kecil di kejauhan dan kicauan burung memecah kesunyian, namun tak mampu menghilangkan ketegangan yang menyelimuti mereka.
George merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah pertama kalinya ia berada di medan pertempuran yang sesungguhnya, meskipun hanya simulasi. Ia mengepalkan kedua tangannya, siap untuk mengeluarkan kekuatan Ki yang terpendam di dalam dirinya. Di pinggangnya, tergantung kantong kecil berisi ramuan penyembuh dan beberapa gulungan mantra dasar. Ia melirik Arthur dan Lisa yang berdiri di sampingnya, keduanya tampak fokus dan siap tempur.
Arthur, dengan senyum tipis di wajahnya, memegang erat pedang latihannya yang terbuat dari kayu ek. Ia sesekali melirik ke arah langit, seolah mencari inspirasi atau petunjuk dari angin. Lisa, dengan ekspresi serius, mengamati sekeliling dengan tajam, mencari tanda-tanda keberadaan musuh.
Tiba-tiba, sebuah cahaya biru menyala di tengah-tengah mereka. Cahaya itu membentuk sebuah layar proyeksi yang menampilkan wajah Roland, Kepala Instruktur Akademi Athena.
"Selamat datang di arena pertempuran, para calon Astral Knight!" suara Roland menggema di hutan, tegas dan berwibawa. "Simulasi perang ini akan menguji kemampuan, strategi, dan kerja sama kalian. Berjuanglah dengan sepenuh hati dan tunjukkan kemampuan terbaik kalian!"
Roland menjelaskan aturan simulasi perang dengan singkat dan jelas.
"Simulasi ini akan selesai jika salah satu dari dua kondisi berikut terpenuhi: pertama, tim bertahan kehilangan semua bendera mereka; kedua, tim penyerang kehilangan semua ikat kepala pemimpin mereka. Selain itu, ada batas waktu yang telah ditentukan. Jika pertempuran berlanjut sampai batas waktu, maka pemenang akan ditentukan berdasarkan situasi di lapangan. Misalnya, jika tim bertahan hanya kehilangan satu bendera tetapi berhasil merebut dua ikat kepala pemimpin, maka tim bertahan akan dinyatakan sebagai pemenang."
Setelah menjelaskan aturan, Roland menghilang dari layar proyeksi. George, Arthur, dan Lisa berpandangan, mata mereka berkilau dengan semangat dan tekad.
"Baiklah, tim Dragon!" Arthur berkata dengan suara lantang, mencoba memompa semangat timnya. "Kita adalah pihak bertahan. Tugas kita adalah melindungi bendera asrama kita dan merebut ikat kepala pemimpin tim Phoenix. Ingat, kerja sama adalah kunci kemenangan kita!"
Lisa mengangguk, "Kita harus menyusun strategi dengan cepat. Arena ini cukup luas, dan kita tidak tahu di mana posisi musuh atau bendera asrama kita."
"Benar," George menambahkan. "Kita juga harus berhati-hati dengan kekuatan lawan. Mereka pasti memiliki kemampuan yang beragam."
Arthur tersenyum, "Tenang saja, aku sudah menyiapkan beberapa taktik jitu. Kita akan membagi tim menjadi tiga kelompok kecil. Satu kelompok bertugas mencari dan melindungi bendera asrama, satu kelompok lagi bertugas menyerang dan merebut ikat kepala pemimpin tim Phoenix, dan satu kelompok lagi bertugas sebagai cadangan dan pengintai."
"Aku akan memimpin kelompok penyerang," lanjutnya. "Lisa, kau pimpin kelompok pelindung bendera. George, kau ikut denganku di kelompok penyerang."
George mengangguk, merasa sedikit gugup tapi juga bersemangat. Ia siap untuk menunjukkan kemampuannya dan membantu timnya memenangkan simulasi perang ini.
"Tunggu dulu!"
Sebuah suara lantang memotong penjelasan Arthur. Seorang pemuda berambut cokelat dengan rahang tegas melangkah maju, wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan.
"Kau terlalu tergesa-gesa, Arthur," ujarnya dengan nada menantang. "Kita bahkan belum mengenal satu sama lain, dan kau sudah seenaknya membagi tim?"
Beberapa siswa lain mengangguk setuju. Seorang gadis berambut merah dengan mata biru menyipitkan mata ke arah Arthur. "Kau pikir kau siapa, berlagak seperti pemimpin hebat?" sindirnya.
Arthur menghela napas, mencoba menahan emosinya. "Aku hanya mencoba menyusun strategi secepat mungkin," jelasnya dengan sabar. "Waktu kita terbatas, dan kita harus segera bertindak sebelum tim Phoenix menyerang."
"Tapi kau tidak bisa begitu saja mengabaikan pendapat kami!" protes pemuda berambut cokelat itu. "Kita semua punya hak untuk bersuara."
"Benar!" timpal seorang pemuda lain dengan rambut hitam dan mata cokelat. "Kita harus berdiskusi dan menyusun strategi bersama-sama."
Suasana mulai memanas. Beberapa siswa mulai berdebat dan saling melemparkan argumen. George mengamati situasi itu dengan cemas. Ia tidak menyangka bahwa keputusannya untuk bergabung dengan Asrama Dragon akan langsung dihadapkan dengan konflik internal seperti ini.
Astrid Vance, gadis berambut perak yang tadi dilihat George di gerbang akademi, melangkah maju dengan ekspresi dingin. "Cukup!" serunya dengan suara tegas. "Kalian semua berisik! Kita tidak punya waktu untuk berdebat seperti ini."
Ia menatap Arthur dengan tajam. "Arthur, aku mengerti kau ingin segera bertindak. Tapi kau juga harus mendengarkan pendapat teman-teman yang lain. Kita harus bekerja sama jika ingin menang."
Lisa Hawthorne juga melangkah maju, mencoba menenangkan suasana. "Astrid benar," katanya dengan lembut. "Kita harus bersatu dan fokus pada tujuan kita."
Arthur menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Baiklah, kalian benar," akunya. "Sepertinya aku terlalu terburu-buru. Bagaimana kalau kita mulai dengan perkenalan dulu? Aku ingin mengenal kalian semua dan kekuatan yang kalian miliki."
"Ide bagus!" seru seorang gadis dengan rambut hitam dan mata cokelat. "Namaku Maya. Aku ahli sihir ilusi."
"Aku Ronan," kata pemuda berambut cokelat yang tadi menentang Arthur. "Aku menguasai sihir tanah."
Satu per satu, para siswa memperkenalkan diri dan kekuatan mereka. George menyimak dengan seksama, mencoba mengingat nama dan kemampuan masing-masing orang.
"Tunggu," George tiba-tiba berkata, "Bukankah akan lebih baik jika kita tahu siapa saja yang benar-benar kuat di antara kita?"
Ucapan George membuat semua orang terdiam. Beberapa orang menatapnya dengan kaget, sementara yang lain mengangguk setuju. Arthur tersenyum, seolah mendapatkan ide.
"Kau benar, George," katanya. "Aku punya ide."
Arthur mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari sakunya. Saat ia membuka gulungan itu, sebuah peta hologram muncul di udara, menampilkan seluruh area arena pertempuran.
"Ini peta arena ini," jelas Arthur. "Aku mendapatkannya dari salah satu instruktur sebelum kita diteleportasi ke sini."
Ia menunjuk ke beberapa titik di peta. "Ada tiga titik di mana bendera asrama kita berada. Titik pertama berada di dekat perbatasan wilayah kita, titik kedua berada di tengah-tengah arena, dan titik ketiga berada di ujung wilayah kita."
"Jika kita lihat dari posisi awal kedua kubu," lanjutnya, "titik pertemuan antara Asrama Dragon dan Asrama Phoenix berada di tengah-tengah hutan. Ini berarti, titik pertama akan menjadi titik yang paling rentan terhadap serangan pertama dari tim Phoenix."
"Dengan kata lain," Arthur menyimpulkan, "titik ketiga adalah titik yang paling aman dan terjauh dari jangkauan tim Phoenix."
Arthur kembali menatap teman-temannya dengan senyum percaya diri. "Aku tidak tahu seberapa kuat kalian semua. Yang mengetahui kekuatan kalian adalah diri kalian sendiri. Maka dari itu, aku menyarahkan bahwa titik 1 harus diisi oleh orang-orang yang merasa dirinya kuat dan berpengalaman."
Ia menunjuk titik ketiga di peta. "Jika kalian merasa kurang mampu atau kurang berpengalaman, kalian bisa menjaga titik ketiga. Tidak apa-apa jika kita kehilangan satu bendera di titik ketiga, selama kita bisa menjaga titik pertama dan kedua dengan baik. Aku yakin kita bisa menang!"
Arthur mengakhiri penjelasannya dengan senyum bersemangat. Para siswa Dragon berpandangan, beberapa tampak ragu, yang lain menunjukkan ekspresi penuh tekad. George merasakan semangat bertarung mulai membara di dalam dirinya. Ia siap untuk menghadapi tantangan ini dan membuktikan kekuatannya sebagai seorang calon Astral Knight.
Astrid melangkah maju, ekspresi wajahnya serius. "Tunggu dulu," katanya dengan nada tegas. "Apakah kita hanya akan berfokus bertahan saja? Bagaimana jika ketiga orang di tim Phoenix bersembunyi di markas mereka? Bukankah itu berarti kita akan dirugikan dan kalah karena mereka berhasil mempertahankan ikat kepala mereka?"
Beberapa siswa mengangguk setuju. Keributan kembali muncul di antara mereka. Arthur menghela napas, tapi ia tetap tenang dan tersenyum.
"Jangan khawatir," katanya dengan suara meyakinkan. "Aku juga sudah memikirkan itu. Tentu saja tugas kita bukan cuma bertahan, tapi juga menyerang. Kemungkinan terburuknya seperti yang dikatakan Astrid, bahwa ketiga murid yang mengenakan ikat kepala akan bersembunyi di markas. Tapi itu hanya akan terjadi jika ketiganya lemah."
"Bagaimana jika yang mengenakan ikat kepala adalah murid yang kuat seperti Zephyr atau mungkin Lily?" lanjutnya. "Atau mungkin juga murid lain yang memang kuat? Maka mau tidak mau mereka juga pasti harus ikut dalam penyerangan untuk merebut bendera. Bahkan ada peluang juga mereka membagi tim menjadi tiga kelompok seperti kita. Dengan begitu, ada peluang juga kita bisa mengambil ikat kepala mereka saat mereka lengah."
Orion Nightingale, seorang pemuda dengan rambut hitam dan mata biru yang tajam, mengangkat tangan. "Yang dibilang Arthur cukup masuk akal," katanya. "Tapi akan lebih baik jika kita tahu ada berapa murid yang bersembunyi di markas dan ada berapa yang ikut maju menyerang."
Orion menatap teman-temannya dengan senyum percaya diri. "Namaku Orion Nightingale. Aku ahli sihir angin dan teknik pedang. Senang bertemu dengan kalian semua."
Arthur tersenyum. "Tenang saja, Orion. Itu akan menjadi tugas George." Ia menepuk pundak George. "George, apakah kau sanggup?"
George menelan ludah, merasa gugup tapi juga tertantang. "Serahkan saja padaku," jawabnya dengan suara sedikit bergetar.
Beberapa siswa protes. "Itu tindakan yang ceroboh!" seru salah satu dari mereka. "Bukankah dia seorang Terran? Seharusnya dia menjaga titik ketiga saja."
Arthur mengabaikan protes mereka dan memberikan tiga benda yang mirip pistol sinyal pada George. "Ini flare gun," jelasnya. "Tadinya aku membeli ini untuk bersenang-senang, tapi ternyata akan berguna di sini."
"Masing-masing flare gun ini akan mewakili jumlah murid yang mengenakan ikat kepala di markas tim Phoenix," lanjutnya. "Jika ada satu orang, tembakkan satu flare. Jika ada dua orang, tembakkan dua flare, dan seterusnya."
"Di mana kau menyimpan benda ini?" tanya George dengan penasaran.
Arthur mengeluarkan sebuah kantong kecil dari sakunya. "Ini bukan kantong biasa," jelasnya dengan bangga. "Ini sudah diberi sihir dimensi dan perluasan, jadi aku bisa membawa benda apa saja tanpa mempengaruhi berat kantong ini. Praktis, kan?"
Beberapa siswa tercengang, sementara yang lain hanya bisa menggelengkan kepala. Ada juga yang tampaknya tidak tahu apa itu flare gun.
Astrid melangkah maju dan berkata pada George, "Jika kau tidak mampu bertarung, larilah. Tugasmu hanyalah memberikan informasi, tidak lebih dari itu." Ia menatap George dengan tajam. "Aku akan menjaga titik pertama."
Astrid berbalik dan pergi menuju hutan, meninggalkan George yang masih sedikit gugup.
Arthur menggelengkan kepalanya, lalu memerintahkan siswa-siswa lainnya untuk segera bergerak ke posisi mereka. "Ayo, kita tidak punya banyak waktu!"
Sebelum berpisah, Lisa mendekati George dan berkata dengan lembut, "Hati-hati, George."
"Terima kasih, Lisa," jawab George dengan senyum kecil.
Arthur menepuk pundak George dan berkata dengan yakin, "Aku percaya padamu, George. Kau pasti bisa membawa hasil yang tidak disangka-sangka."
George mengangguk, merasa lebih percaya diri. Ia berbalik dan berlari menuju hutan, memulai misi pengintaiannya. Petualangan di Akademi Athena benar-benar telah dimulai.
**
Di sisi lain arena pertempuran, suasana tegang juga menyelimuti tim Phoenix. Zephyr Vaughn, dengan sikap angkuhnya, memberikan instruksi tanpa mempedulikan pendapat orang lain.
"Reiner, Vicky, kalian berdua tetap di markas," perintah Zephyr dengan nada tegas. "Aku akan menyelinap dan mengambil bendera di titik 2. Sisanya, serang titik 1!"
Reiner dan Vicky saling berpandangan, wajah mereka memerah karena marah. "Kau pikir kami lemah?" Reiner mendengus.
"Kami bisa bertarung!" Vicky menambahkan dengan nada kesal.
Zephyr memutar bola matanya. "Aku tidak punya waktu untuk berdebat," katanya dengan nada dingin. "Ini adalah strategi terbaik yang bisa kupikirkan. Kalian berdua tidak cukup kuat untuk menghadapi Astral Knight dari Asrama Dragon."Lily Hawthorne, yang sedari tadi hanya diam mengamati, akhirnya angkat bicara. "Zephyr, sebaiknya kau fokus di titik 2 saja," katanya dengan tenang. "Aku akan menyerang titik 3 seorang diri. Sisanya bisa menyerbu titik 1 di bawah pimpinan..." Lily mengalihkan pandangannya ke arah Kai, "...Kai. Kau bisa memimpin mereka, kan?"
Kai, yang dikenal dengan julukan "The Blade" karena keahliannya dalam berpedang, melangkah maju dengan percaya diri. "Tentu saja, Lily. Serahkan padaku."
Zephyr mengerutkan kening. "Kenapa aku harus menuruti perintahmu?" tanyanya dengan nada menantang.
"Karena aku lebih berpengalaman darimu," jawab Lily dengan dingin. "Dan aku tahu apa yang kulakukan."
Zephyr mendengus, tapi ia tidak bisa membantah logika Lily. "Baiklah," katanya dengan nada pasrah. "Tapi jika kita kalah, kau yang bertanggung jawab."
Lily mengabaikan ancaman Zephyr dan berkata pada Reiner dan Vicky, "Kalian berdua berdiam diri saja di markas. Tidak perlu ada yang mengawal. Jika memang ada yang menyerang, kalian berdua harus bisa mengalahkannya jika memang merasa tidak lemah."
Reiner dan Vicky, meskipun masih kesal, mengangguk setuju. Mereka berdua bersiap untuk mempertahankan diri jika diserang.
Zephyr menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Baiklah," katanya dengan nada pasrah. "Sekali-kali aku rasa kita bisa membuang ego kita sementara untuk meraih kemenangan asrama kita. Mari kita menuju pertempuran dan membawa kemenangan bagi Asrama Phoenix!"
Para siswa Phoenix bersorak sorai, semangat mereka kembali menyala. Mereka berlari menuju hutan, siap untuk bertarung dan merebut kemenangan dari Asrama Dragon. Lily menyelinap sendiri menuju titik 3, sementara Zephyr dan Kai memimpin kelompok mereka masing-masing menuju titik 2 dan titik 1.