Chereads / Shadow of the Dragons / Chapter 9 - Keraguan Hati & Rahasia (Lisa)

Chapter 9 - Keraguan Hati & Rahasia (Lisa)

Kamar asrama terasa sunyi. Hanya ada suara deru angin malam yang menyelinap masuk melalui celah jendela, membawa udara dingin yang membuatku semakin menggigil. Cassandra, teman sekamarku, sudah tertidur lelap di ranjangnya. Napasnya teratur, sesekali diselingi dengkuran halus yang justru terdengar lucu.

Biasanya, aku akan segera ikut tertidur setelah hari yang panjang dan melelahkan. Tapi malam ini, rasanya berbeda. Ada sesuatu yang menghalangi mataku untuk terpejam, sesuatu yang membuat hatiku gelisah.

Aku masih memikirkan kata-kata Lily setelah simulasi perang tadi. "Seharusnya kau memikirkan kembali keputusanmu untuk masuk ke Akademi Athena, Lisa. Kau terlalu lemah untuk menjadi seorang Astral Knight."

Kata-kata itu terus terngiang di telingaku, membuatku semakin meragukan diri sendiri. Mungkin Lily benar. Mungkin aku memang terlalu lemah. Ranking E yang kudapatkan tadi adalah bukti nyata akan hal itu.

"Bagaimana aku bisa menjadi Astral Knight jika aku bahkan tidak bisa melindungi diriku sendiri?" gumamku lirih, menatap gelang Athena di pergelangan tanganku. Huruf E yang tertera di sana seolah-olah mengejekku, mengingatkanku pada kelemahanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir pikiran negatif itu. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus berusaha lebih keras, berlatih lebih giat, dan membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa menjadi Astral Knight yang hebat, seperti ayahku.

Tapi ada satu hal lagi yang membuatku gelisah. George.

Entah mengapa, aku sangat khawatir ketika melihatnya bertarung melawan Lily. Wajar jika aku merasa khawatir pada teman, tapi perasaanku kali ini berbeda. Ada rasa gelisah yang mendalam, rasa takut yang tidak bisa kujelaskan.

Dan ada satu hal lagi. Aura George... terasa sangat familiar. Seolah-olah aku pernah merasakannya sebelumnya. Tapi di mana? Aku tidak bisa mengingatnya. Pertemuan kami di stasiun tadi pagi terasa seperti bukan pertemuan pertama kami.

Aku mencoba mengusir perasaan aneh itu. Mungkin aku hanya terlalu lelah dan banyak berpikir. Aku memutuskan untuk mencoba tidur lagi, berharap bisa melupakan semua kekhawatiranku.

Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir semua pikiran yang mengganggu. Aku harus tidur. Besok pagi ada kelas sihir yang tidak boleh kulewatkan.

"Hitung domba... satu... dua... tiga..." gumamku sambil memejamkan mata.

Tapi domba-domba itu seolah berubah menjadi wajah Lily yang mengejekku, membuatku semakin kesal. Aku membuka mata dan mengubah strategi.

"Aku akan memikirkan resep masakan saja," pikirku. "Besok siang aku akan memasak Beef Stroganoff. Hmm... mungkin aku harus memasak sedikit lebih banyak untuk George. Dia pasti lapar setelah pertarungan tadi."

Tunggu. Kenapa aku jadi memikirkan George?

"Ah, sudahlah," aku mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. "Fokus pada resep saja."

Namun, sebelum aku sempat membayangkan aroma lezat Beef Stroganoff, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.

"Tok... tok... tok..."

"Lisa? Kau sudah tidur?" Sebuah suara yang kukenal terdengar dari balik pintu. Lily.

Aku terkejut. Apa yang dilakukan Lily di kamarku malam-malam begini?

Aku segera melompat dari tempat tidur dan membuka pintu.

Benar saja, Lily berdiri di sana dengan piyama berwarna pink. Rambut cokelatnya yang pendek terurai acak, memberikan kesan yang berbeda dari biasanya. Ia tampak lebih... manis.

Melihatnya seperti ini, entah mengapa membuat kesan dingin dan cuek Lily menghilang dari pikiranku. Ia tetaplah adikku yang kusayangi, meskipun sikapnya kadang menyebalkan.

"Lily? Ada apa?" tanyaku dengan heran. "Kau baik-baik saja? Bukankah seharusnya kau berada di Asrama Phoenix? Kenapa kau jauh-jauh ke sini malam-malam begini?"

Lily sepertinya hendak menjawab, tapi suaranya sangat kecil, hampir tidak terdengar.

"Aku..." Ia menghentikan ucapannya, lalu menghela napas panjang. "Aku minta maaf."

Aku semakin bingung. Kenapa Lily minta maaf lagi? Apa yang sebenarnya terjadi?

"Minta maaf untuk apa?" tanyaku dengan lembut. "Apa ini masih soal yang tadi? Jika iya, tidak apa-apa, kok. Apa yang kau katakan memang ada benarnya. Aku memang lemah. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi kuat. Aku akan mempelajari dan mendalami keahlian sihirku, dan semoga saja aku bisa menaikkan rankingku dengan cepat."

Lily diam saja mendengar penjelasan ku. Ia hanya memalingkan wajahnya dan berbalik badan, seolah-olah siap untuk pergi. Namun, sebelum ia menghilang di balik pintu, ia berkata, "Ayah menunggu kita di ruang latihan. Letaknya tidak jauh dari aula utama."

Aku terkejut. Ayah? Menunggu kami? Malam-malam begini? Ada apa sebenarnya?

Lily memberikan sebuah kartu kepadaku. "Ini kartu izin keluar malam hari," jelasnya singkat. "Ayah yang menyuruhku memberikan ini padamu."

Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, Lily sudah berlalu pergi. Aku menatap kartu di tanganku dengan penuh tanda tanya. Ada apa sebenarnya ini? Kenapa ayah tiba-tiba memanggil kami malam-malam begini?

Rasa penasaran dan sedikit kecemasan mulai menggerogoti hatiku. Aku memasukkan kartu itu ke dalam saku piyamaku, lalu berjalan keluar kamar, mengikuti Lily menuju ruang latihan.

Aku mengikuti Lily menyusuri koridor akademi yang sepi. Suasana malam di Athena sangat berbeda dengan siang hari. Jika siang hari akademi penuh dengan siswa yang berlalu-lalang, maka malam hari suasana menjadi tenang dan hening. Hanya sesekali kami berpapasan dengan beberapa guru dan staff yang masih beraktivitas, atau beberapa kakak kelas yang juga sedang keluar dengan kartu izin seperti kami.

"Untuk bisa keluar asrama di malam hari, kita memang membutuhkan izin khusus," jelas Lily sambil terus berjalan. "Kalau ketahuan keluar tanpa izin, kita bisa dihukum."

Aku mengangguk, menyimpan informasi itu dalam ingatan.

Tak lama kemudian, kami sampai di depan ruang latihan. Pintu kayu besar dengan ukiran lambang Akademi Athena tampak kokoh dan mengesankan. Lily mendorong pintu itu dengan mudah, dan kami pun masuk ke dalam.

Ruangan itu cukup luas, dengan lantai kayu yang terlihat sudah tua namun terawat dengan baik. Di sekeliling ruangan, terdapat berbagai macam peralatan latihan, mulai dari boneka latihan, sasaran tembak, hingga berbagai jenis senjata. Di tengah ruangan, ayah sudah menunggu kami dengan wajah datar dan tatapan tajam yang selalu membuatku gugup.

"Lily, Lisa," sapanya dengan suara datar.

Lily langsung berjalan ke samping ayah dan berdiri di sana dengan sikap siap. Aku melirik ke arah tangan ayah dan melihat ia sedang memegang dua buah pedang kayu.

"Lisa," ayah memanggilku dengan suara tegas. "Apakah kau benar-benar serius ingin menjadi seorang Astral Knight?"

Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Tentu saja aku serius! Tapi entah mengapa, saat berhadapan dengan ayah, aku selalu merasa gugup dan ragu.

"A-aku..." Aku menghentikan ucapan ku, mencoba menenangkan diri. "Ya, Ayah. Aku serius."

Ayah menatapku tajam, seolah-olah mencoba menembus pikiranku. Ia kemudian melemparkan salah satu pedang kayu itu ke arahku. Aku menangkapnya dengan refleks, meskipun rasanya sedikit berat.

"Jika kau serius," kata ayah dengan nada dingin, "tunjukkan padaku. Berikan satu pukulan dengan pedang itu. Aku akan menangkisnya."

"Tapi, Ayah..." Aku merasa bingung dan takut. "Aku tidak bisa menggunakan pedang seperti Lily."

"Jika kau tidak serius," ayah memotong ucapanku dengan nada dingin yang menusuk tulang, "maka jangan ambil pedang itu dan berhentilah berusaha menjadi Astral Knight. Kelas belum dimulai, ini belum terlambat. Aku bisa bilang pada Kepala Sekolah Nancy bahwa kau membuat kesalahan, terlebih dengan ranking-mu yang hanya E akan mempermudah prosesnya."

Kata-kata ayah bagai cambuk yang menyakitkan. Bukan hanya karena nada bicaranya yang keras, tetapi juga karena menyinggung kegagalanku. Rasa kesal dan marah bercampur aduk di dadaku, namun bukan terhadap ayah, melainkan pada diriku sendiri yang lemah.

Aku mencengkeram pedang kayu itu erat-erat, buku-buku jariku memutih. "Kenapa, Ayah?" suaraku bergetar, namun kupaksa untuk tetap lantang. "Kenapa Ayah dan Lily selalu menolakku menjadi Astral Knight? Apakah karena aku lemah? Atau karena aku akan mempermalukan nama keluarga Hawthorne?"

Air mata menggenang di pelupuk mataku, namun segera kuusap dengan kasar. "Jika aku bisa memukul Ayah sekali saja," kataku dengan tekad yang membara, "maka sebaiknya Ayah tidak mengganggu urusanku lagi. Begitu juga dengan Lily!"

Ayah hanya menatapku dengan dingin. "Jika kau bisa," jawabnya penuh tantangan.

Dalam sekejap, ayah menyerangku. Gerakannya begitu cepat, hampir tidak terlihat oleh mata. Aku hanya sempat mengangkat pedang untuk menangkis, namun tenaga ayah terlalu besar. Pedangku terpental, dan tubuhku terdorong mundur beberapa langkah. Rasa sakit menyebar di lenganku, namun aku berhasil menjaga keseimbanganku.

Aku tidak akan menyerah.

Aku menerjang ayah dengan sekuat tenaga, mengayunkan pedangku berkali-kali. Namun, ayah dengan mudah menangkis semua seranganku. Ia bergerak dengan lincah, menghindar dan membalas dengan presisi yang menakjubkan. Aku terpental, terjatuh, dan terhuyung berkali-kali. Tubuhku penuh dengan memar, namun aku tetap bangkit dan menyerang lagi.

Entah sudah berapa lama kami bertarung. Rasa lelah dan sakit mulai menggerogoti tubuhku. Namun, aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa memukul ayah sekali saja.

Aku melirik ke arah Lily. Ia mengamati pertarungan kami dengan ekspresi datar, tanpa menunjukkan emosi apapun. Tunggu... ada yang aneh.

Lily... ia juga terluka.

Aku melihat beberapa memar di lengan dan kakinya. Posisi memar itu... persis sama dengan tempat di mana ayah memukulku.

"Ayah..." suaraku lirih, penuh kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Lily... kau baik-baik saja?"

Lily hanya mengangguk kecil. "Aku baik-baik saja."

Ayah menghela napas panjang. "Lisa," katanya dengan suara berat, "kau selama ini cukup bangga dengan ketahanan tubuhmu. Tapi itu semua terjadi karena semua rasa sakit yang kau terima... akan berbalik kepada Lily."

Aku terkejut. Apa maksud ayah?

"Kalian bukan hanya kembar biasa," lanjut ayah. "Ada ikatan khusus di antara kalian. Itulah mengapa sebaiknya kau di rumah saja, mencari pekerjaan lain. Bahkan menjadi koki pun tidak apa-apa."

"Apa... apa itu benar, Lily?" tanyaku dengan suara bergetar.

Lily diam saja, menghindari tatapanku. Tiba-tiba, aku teringat beberapa kejadian di masa lalu. Ada beberapa kali di mana aku terluka, dan Lily juga memiliki luka yang sama. Ia selalu bilang kalau itu akibat latihannya. Tapi sekarang... aku mengerti.

Perasaan bersalah menyelimutiku. Selama ini, adikkulah yang menanggung semua rasa sakitku. Itulah mengapa aku memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Itu semua karena Lily.

"Lisa," ayah berkata dengan tegas, "sebaiknya cepatlah menyerah. Atau aku akan melakukan ini."

Ayah mengangkat pedangnya. Kumpulan api mulai berkumpul di ujung pedang, membentuk bola api yang semakin membesar. Hawa panas menyebar di ruangan, membuatku sesak napas. Ini seperti apa yang Lily lakukan pada George tadi.

"Ayah, jangan!" teriakku dengan panik. "Lily akan menerimanya juga!"

"Sudah terlambat," jawab ayah dengan dingin.

Bola api itu sudah sangat besar, dan ayah mengarahkannya kepadaku. Aku memejamkan mata, pasrah menerima nasibku.

"Hentikan!!!"

Tiba-tiba, sebuah ledakan energi yang dahsyat terjadi. Aku membuka mata dengan kaget. Bola api yang mengerikan itu lenyap seketika, berubah menjadi uap air yang mengepul. Udara di sekitar ku menjadi dingin seketika. Aku menatap ayah dengan tak percaya. Ia juga tampak terkejut, matanya melebar tidak percaya.

"Bahkan... ia masih memiliki kekuatan sebesar ini?" gumam ayah dengan suara pelan yang hampir tidak terdengar.

Aku tidak memperhatikan kata-kata ayah. Aku berlari ke arah Lily dan memeluknya erat. Air mata mengalir deras di pipiku.

"Lily..." isakku. "Maafkan aku... maafkan aku..."

Aku menangis tersedu-sedu, diliputi rasa bersalah dan penyesalan. Kenapa Lily tidak pernah memberitahuku tentang ini? Kenapa ia harus menanggung semua rasa sakitku sendirian?

Lily hanya diam saja, wajahnya masih tanpa ekspresi. Ia mengusap air mataku dengan lembut, gerakan yang jarang ia tunjukkan.

"Sudahlah, Lisa," katanya dengan suara pelan. "Aku baik-baik saja. Semua rasa sakit yang kurasakan... itu bukanlah apa-apa."

Ayah menatap kami dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ada sedikit kelembutan di matanya, namun segera ia sembunyikan di balik ekspresi dinginnya.

"Lisa," katanya dengan suara tegas, "kau boleh menetap di akademi. Tapi aku akan tetap mengawasi mu."

Ia kemudian berbalik dan meninggalkan ruang latihan.

Aku masih menangis tersedu-sedu, memeluk Lily erat-erat. Aku merasa sangat bersalah dan bodoh. Kenapa aku tidak pernah menyadari pengorbanan Lily selama ini?

"Lily..." gumamku di sela-sela tangisanku. "Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?"

"Karena aku tidak ingin kau khawatir," jawab Lily dengan lembut. "Aku tahu kau sangat ingin menjadi Astral Knight. Aku tidak ingin menghalangi mimpimu."

Aku semakin terisak. Lily... ia selalu memikirkanku lebih dulu. Ia rela berkorban demi kebahagiaanku.

"Kau sungguh bodoh, Lily," kataku dengan kesal. "Kau tidak perlu melakukan semua ini untukku."

Lily tertawa kecil. "Mungkin aku memang bodoh. Tapi aku tidak menyesalinya."

Ia kemudian melepaskan pelukan ku dan menatapku dengan senyum hangat.

"Sekarang, berhentilah menangis," katanya. "Kau harus fokus untuk menjadi Astral Knight yang hebat. Buktikan pada Ayah bahwa kau bisa melakukannya."

Aku mengusap air mataku dan mencoba tersenyum. Lily benar. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus menjadi kuat, demi diriku sendiri dan demi Lily.

"Terima kasih, Lily," kataku dengan tulus.

Lily mengangguk. "Sama-sama."

Ia kemudian membantuku berdiri. "Ayo, kita kembali ke kamar. Sudah malam."

Kami pun berjalan keluar dari ruang latihan. Saat kami melewati koridor yang sepi, aku tiba-tiba teringat sesuatu.

"Lily," tanyaku dengan penasaran, "kenapa kau memilih piyama berwarna pink?"

Lily terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, "Karena... imut."

Aku tersenyum. Lily... ia selalu tahu cara untuk membuatku tersenyum.

Kami kembali ke kamar asrama dengan hati yang lebih ringan. Malam itu, aku tidur dengan nyenyak, ditemani oleh perasaan syukur dan kasih sayang untuk adikku yang luar biasa.