Chereads / Shadow of the Dragons / Chapter 7 - Simulasi Pertempuran

Chapter 7 - Simulasi Pertempuran

Lisa menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak beraturan. Ia berdiri di tengah hutan lebat, dikelilingi oleh pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, mencakar langit. Sinar matahari pagi yang menembus celah-celah dedaunan menciptakan berkas-berkas cahaya keemasan yang menari-nari di antara pepohonan, memberikan kesan magis sekaligus mencekam. Aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk memenuhi udara, bercampur dengan aroma bunga liar yang samar-samar tercium.

Di sekitarnya, beberapa siswa Asrama Dragon lainnya juga tampak tegang. Mereka adalah kelompok yang ditugaskan untuk menjaga titik ketiga, titik terjauh dan dianggap paling aman. Namun, Lisa tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang menggerogoti hatinya. Ia merasa tidak percaya diri, khawatir bahwa ia hanya akan menjadi beban bagi timnya.

"Bagaimana kalau kita tidak bisa menahan mereka?" bisik seorang gadis berambut pirang dengan wajah pucat.

"Tenang saja, Elma," seorang pemuda bertubuh tegap dengan rambut hitam mencoba menenangkannya. "Kita pasti bisa."

Namun, suaranya terdengar tidak meyakinkan. Lisa bisa merasakan bahwa pemuda itu juga merasa gugup.

Orion Nightingale, yang berdiri tidak jauh dari Lisa, tampaknya menyadari ketegangan yang menyelimuti kelompok mereka. Ia melangkah maju, wajahnya yang biasanya tajam kini menunjukkan senyum tenang.

"Hei, jangan terlalu tegang," katanya dengan suara lembut. "Aku tahu kalian semua gugup. Ini wajar, karena ini adalah pengalaman pertama kalian di medan pertempuran."

Ia menatap teman-temannya satu per satu, mencoba menenangkan mereka. "Kita memang ditugaskan untuk menjaga titik ketiga, yang artinya kita harus siap untuk kalah. Tapi ingat, tujuan kita bukan hanya untuk menang atau kalah. Yang lebih penting adalah kita belajar dari pengalaman ini."

"Kita harus bisa menahan serangan musuh selama mungkin," lanjutnya. "Semakin lama kita bertahan, semakin banyak waktu yang kita berikan untuk Arthur dan yang lainnya untuk merebut ikat kepala pemimpin tim Phoenix. Jadi, jangan fokus pada kemenangan atau kekalahan. Fokuslah pada bagaimana caranya kita bisa bekerja sama dan memaksimalkan kemampuan kita."

Kata-kata Orion membuat Lisa merasa sedikit lebih tenang. Ia mengangguk, menyadari bahwa Orion benar. Yang terpenting adalah mereka berusaha sebaik mungkin dan belajar dari pengalaman ini.

"Orion benar," kata seorang gadis berambut merah dengan semangat. "Kita harus semangat dan tidak menyerah begitu saja!"

"Ayo, kita pasti bisa!" seru Elma, wajahnya yang pucat kini tampak lebih bersemangat.

Lisa tersenyum. Ia merasakan semangat juangnya kembali menyala. Ia akan berjuang bersama teman-temannya, apapun yang terjadi.

"Bagaimana kalau kita pasang perangkap di sekitar bendera?" usul seorang pemuda dengan kacamata. "Kita bisa gunakan sihir ilusi atau sihir tanah untuk menjebak musuh."

"Ide bagus!" kata Lisa. "Aku bisa bantu dengan sihir penguatan untuk memperkuat perangkap itu."

"Aku bisa gunakan sihir angin untuk mendeteksi keberadaan musuh dari jauh," Orion menambahkan.

Mereka mulai berdiskusi dan menyusun strategi, semangat mereka semakin meningkat. Lisa merasakan suasana ketegangan berubah menjadi semangat kebersamaan dan tekad untuk berjuang. Ia merasa bersyukur menjadi bagian dari tim ini, tim yang saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Keheningan hutan tiba-tiba terpecah oleh derap langkah kaki yang mantap. Dari balik rimbunnya pepohonan, sesosok gadis muncul dengan aura penuh percaya diri dan tatapan tajam. Ia berjalan seorang diri, pedang kayu di tangan kanannya terhunus, siap untuk menyerang. Rambut cokelatnya yang pendek tersibak oleh angin, menampakkan wajahnya yang tegas dengan mata merah menyala seperti bara api.

Lily.

Kembaran Lisa yang terkenal dengan kekuatannya.

Suasana yang tadinya mulai mencair kembali menegang. Para siswa Asrama Dragon yang berkumpul di titik ketiga terpaku menyaksikan kedatangan Lily dengan wajah pucat. Orion, yang tadinya berusaha menenangkan teman-temannya, kini memperlihatkan ekspresi serius dan siaga. Ia menghunus rapier kayunya, siap untuk menghadapi ancaman yang ada di hadapan mereka.

"Lily..." gumam Orion, suaranya berat. "Aku tidak menyangka ia akan menyerang titik ketiga sendirian."

"Kenapa dia ke sini?" bisik Elma dengan suara gemetar. "Bukankah seharusnya dia menyerang titik yang dijaga oleh Arthur dan yang lainnya?"

"Ia pasti mengincar yang lemah agar bisa cepat menyelesaikan pertempuran di sini dan lanjut ke titik lainnya," jawab Orion, matanya tak lepas dari Lily yang semakin mendekat.

Lily berhenti beberapa langkah di depan mereka, senyum sinis tersunggung di bibirnya. "Kalian semua tampak tegang," katanya dengan nada mengejek. "Apa kalian takut menghadapi aku?"

"Jangan sombong, Lily!" Orion membalas dengan tegas. "Kami tidak akan menyerah tanpa bertarung!"

"Oh, benarkah?" Lily tertawa kecil. "Kalian pikir kalian bisa mengalahkan aku? Cukup dengan aku sendiri untuk menghancurkan kalian semua."

Lily mengangkat pedangnya, menggeserkan jarinya dari ujung pedang sampai ke genggamannya. Seketika, api menyala-nyala menyelimuti pedang kayu itu, mengubahnya menjadi pedang api yang mengerikan.

"Flame Sword!" serunya dengan suara dingin.

Tanpa peringatan, Lily menerjang maju, menyerang para siswa Asrama Dragon yang masih terkejut. Pedangnya yang berapi-api menebas dengan cepat dan mematikan, menumbangkan beberapa siswa hanya dalam hitungan detik. Jeritan kesakitan dan kepanikan memenuhi udara.

"Aaaaargh!"

"Tolong!"

"Lari!"

Lisa, yang dari tadi mengamati dengan gugup, tergerak untuk bertindak. Ia tidak bisa hanya diam saja melihat teman-temannya terluka. Ia mengangkat kedua tangannya, merapalkan mantra dengan cepat.

"Water Whip!"

Sebuah cambuk air muncul dari tangannya, menyerang Lily dengan kecepatan tinggi. Namun, Lily dengan mudah menangkis serangan itu dengan pedangnya. Api dan air bertabrakan, menciptakan uap air yang mengepul di udara.

"Hentikan perlawanan yang sia-sia itu, Lisa," kata Lily dengan nada mengejek. "Kau tahu kau tidak akan bisa mengalahkan aku."

Lisa mengertakkan giginya, kecemasan dan kemarahan bercampur di dalam hatinya. Ia ingin membuktikan bahwa ia tidak selemah yang dikatakan Lily.

Melihat Lisa dalam bahaya, Orion segera bertindak. Ia melompat lincah ke arah Lily, rapier-nya berkilau di bawah sinar matahari.

"Jangan sombong, Lily!" serunya. "Kau bukanlah satu-satunya yang kuat di sini!"

"Wind Blade!"

Orion menyerang dengan kecepatan yang luar biasa. Rapier-nya yang diperkuat dengan sihir angin menebas udara, menghujani Lily dengan serangan bertubi-tubi. Lily terpaksa mundur dan berfokus untuk menghindar, ia tidak menyangka bahwa Orion memiliki kecepatan sehebat itu.

Meskipun tidak sekuat Lily, kecepatan dan kelincahan Orion mampu mengimbangi kekuatan Lily. Keduanya bertarung dengan intens, pedang dan rapier beradu menciptakan kilatan cahaya dan suara dentingan logam.

Para siswa lainnya yang masih tersisa juga mulai bertindak. Mereka menyerang Lily dengan sihir dan senjata mereka, mencoba membantu Orion dan Lisa. Elma mengeluarkan sihir tanah untuk mengikat kaki Lily, sementara yang lain menyerang dengan sihir api, air, dan cahaya.

Lisa fokus untuk mendukung teman-temannya. Ia merapalkan mantra penyembuhan, mengobati luka-luka mereka yang terkena serangan Lily.

"Healing Rain!"

Hujan gerimis turun di sekitar mereka, membawa energi penyembuhan yang menyegarkan dan memulihkan tenaga mereka. Dengan kerja sama yang baik, mereka berhasil menekan Lily dan membuatnya terpojok.

Namun, Lily tidak mudah dikalahkan. Melihat dirinya terdesak, ia memutuskan untuk mengeluarkan kekuatan sebenarnya.

"Whispering Flames!"

Sebuah gelombang api yang dahsyat menyembur dari tubuhnya, mementalkan semua siswa yang mengelilinginya. Para siswa terpental dan terjatuh, mengerang kesakitan. Lily kemudian menyerang mereka satu per satu dengan kecepatan dan kekuatan yang tak tertahankan. Dalam sekejap, semua siswa Asrama Dragon tumbang, tak berdaya.

Hanya Lisa yang masih berdiri, namun ia terlalu takut untuk bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan dengan pasrah saat Lily mengambil bendera Asrama Dragon dan berjalan menjauh dari mereka.

"Seharusnya kau memikirkan kembali keputusanmu untuk masuk ke Akademi Athena, Lisa," kata Lily dengan nada dingin sebelum menghilang di balik pepohonan. "Kau terlalu lemah untuk menjadi seorang Astral Knight"

Lisaa terduduk lemas di tanah, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa gagal. Ia tidak bisa melindungi bendera asrama, dan ia bahkan tidak bisa melawan Lily dengan baik. Kata-kata Lily tentang kelemahannya terus terngiang di benaknya, membuatnya semakin terpuruk.

"Aku memang lemah..." gumamnya lirih.

Orion, yang juga terluka cukup parah, merangkak mendekat ke arah Lisa. Ia mencoba tersenyum, meskipun wajahnya pucat dan dipenuhi keringat.

"Jangan menyerah, Lisa," katanya dengan suara lemah. "Kita masih bisa membantu Arthur dan yang lainnya."

Lisa menatap Orion dengan bingung. "Bagaimana caranya? Kita sudah kalah di sini."

"Aku bisa memberi tahu Arthur dan yang lainnya tentang kekuatan Lily," jelas Orion. "Dengan begitu, mereka bisa lebih berhati-hati dan menyusun strategi yang lebih baik."

****

Di sisi lain hutan, di bawah naungan pohon ek raksasa yang daunnya lebat menyerupai kanopi hijau, Arthur dan kelompoknya bersiap siaga. Udara di sekitar mereka bergetar dengan energi sihir yang tertahan, menandakan ketegangan dan antisipasi menjelang pertempuran.

"Cassandra, bagaimana persiapan perangkap sihirmu?" tanya Arthur, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.

"Sudah siap, Arthur," jawab Cassandra Flamel, gadis berambut merah menyala dengan mata cokelat berkilau. "Begitu mereka memasuki area ini, mereka akan terjebak dalam labirin api yang kusiapkan."

Cassandra mengangkat tangannya, menunjukkan nyala api kecil yang menari-nari di telapak tangannya. "Aku sudah memodifikasi mantra 'Inferno Cage' agar lebih efektif dalam menjebak lawan. Mereka tidak akan bisa keluar dengan mudah."

"Bagus," Arthur mengangguk puas. "Ethan, bagaimana dengan kamu?"

Ethan Rivera, pemuda bertubuh tinggi dengan rambut hitam legam, melangkah maju. "Aku sudah menyiapkan 'Earth Wall' di sekeliling area ini. Mereka tidak akan bisa masuk tanpa menerobos pertahanan kita."

"Pastikan tembok itu cukup kuat untuk menahan serangan sihir mereka," Arthur mengingatkan.

"Tentu saja," Ethan tersenyum percaya diri. "Aku sudah memperkuat tembok itu dengan sihir penguatan dan rune pertahanan. Mereka akan kesulitan untuk menghancurkannya."

Arthur menatap anggota timnya yang lain. "Kalian semua sudah siap?"

"Siap!" jawab mereka serempak, suara mereka penuh semangat.

"Ingat," Arthur berkata dengan tegas, "kita harus bekerja sama dan melindungi bendera asrama kita dengan segala cara. Jangan biarkan tim Phoenix merebutnya."

"Kita juga harus mencari kesempatan untuk merebut ikat kepala pemimpin mereka," tambahnya. "Jika kita bisa mendapatkan setidaknya satu ikat kepala, peluang kita untuk menang akan semakin besar."

"Kita pasti bisa, Arthur!" seru seorang gadis berambut pirang dengan mata biru cerah. "Kita akan menunjukkan pada tim Phoenix siapa yang terbaik!"

Arthur tersenyum. Ia merasa beruntung memiliki tim yang solid dan penuh semangat seperti ini. Ia yakin mereka bisa menang.

Tiba-tiba, sebuah teriakan terdengar dari kejauhan. Arthur dan timnya segera siaga, menghunus senjata mereka.

"Apa itu?" tanya Cassandra, wajahnya tegang.

"Sepertinya pertempuran sudah dimulai di titik lain," jawab Arthur. "Kita harus tetap waspada. Tim Phoenix bisa menyerang kita kapan saja."

Mereka menunggu dengan tegang, mengamati sekeliling dengan waspada. Hutan yang tadinya hening kini dipenuhi dengan suara pertempuran yang samar-samar terdengar. Arthur merasakan adrenalinnya terpacu. Ia tidak sabar untuk bertarung dan membuktikan kemampuannya sebagai seorang calon Astral Knight.

Tanah bergetar saat pasukan Asrama Phoenix menyerbu masuk ke wilayah titik kedua. Di barisan terdepan, Zephyr Vaughn melesat bak kilat, tombak kayu di tangannya berkilau mengancam. Keangkuhan terpancar jelas dari sorot matanya yang tajam, namun diimbangi dengan kekuatan dan keahlian yang tak bisa diremehkan.

"Lightning Spear!" serunya, menyalurkan sihir listrik ke dalam tombaknya.

Ledakan energi listrik menggelegar, menghancurkan perangkap-perangkap sihir yang telah disiapkan oleh Cassandra dengan mudah. "Earth Wall" yang dibangun Ethan pun runtuh dalam sekejap dihantam serangan Zephyr yang dahsyat.

"Sial!" Ethan menggeram frustasi.

Melihat Zephyr yang mengenakan ikat kepala pemimpin, Arthur tahu ini adalah kesempatan emas untuk merebutnya. Ia melompat maju, pedang kayu bertangan duanya berputar dengan lincah.

"Zephyr, ikat kepalamu jadi milikku!"

"Twin Fang Strike!"

Arthur menyerang dengan serangan beruntun yang cepat dan mematikan. Zephyr menangkis dengan tombaknya, menciptakan kilatan cahaya dan suara dentingan kayu yang menggema di hutan. Keduanya terlibat dalam pertarungan pedang yang intens, kemampuan mereka setara.

Namun, Zephyr memiliki keunggulan dalam sihir. Ia menyalurkan listrik ke dalam tombaknya, menciptakan serangan yang sulit diprediksi dan dihindari oleh Arthur.

"Thunderbolt!"

Petir menyambar dari ujung tombak Zephyr, mengarah ke arah Arthur. Arthur terpaksa melompat mundur, menghindari serangan yang mematikan itu. Ia mengerutkan keningnya, menyadari bahwa ia harus mencari cara untuk mengatasi keunggulan sihir Zephyr.

Sementara itu, pertempuran juga berkobar di antara para siswa lainnya. Cassandra berjuang keras melindungi bendera asrama, mengeluarkan sihir apinya untuk menghalau musuh yang mencoba mendekat.

"Flame Blast!"

"Fire Wall!"

Nyala api menyembur dari tangan Cassandra, membakar pepohonan dan menciptakan dinding api yang menghalangi jalan musuh. Namun, para siswa Phoenix juga tidak tinggal diam. Mereka menyerang dengan sihir dan senjata mereka, mencoba menerobos pertahanan Cassandra.

Ethan dan beberapa siswa lainnya berjuang melawan musuh yang berhasil melewati Zephyr. Ethan menggunakan sihir tanahnya untuk menciptakan jurang dan menjebak musuh, sementara yang lain menyerang dengan pedang dan sihir mereka.

Pertempuran berlangsung dengan sengit. Kedua asrama saling serang, mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk mencapai kemenangan. Di tengah kekacauan itu, George berlari menyusup di antara pepohonan, mencoba mencari celah untuk mendekati markas tim Phoenix.

Orion terhuyung-huyung memasuki area pertempuran di titik kedua, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya dipenuhi luka gores dan memar, bukti pertarungan sengitnya melawan Lily. Ia menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sebuah pohon besar, mencoba mengatur napas.

"Arthur!" panggilnya dengan suara serak.

Arthur, yang sedang bertarung sengit melawan Zephyr, menoleh sekilas ke arah Orion. "Orion? Apa yang terjadi? Di mana Lisa dan yang lainnya?"

"Titik ketiga... sudah kalah," jawab Orion dengan susah payah. "Lily... dia mengalahkan kita semua sendirian."

Raut wajah Arthur berubah menjadi muram. Meskipun sudah menduga hal ini mungkin terjadi, ia tetap merasa kesal dan kecewa. Ia tahu Lily kuat, tapi ia tidak menyangka gadis itu bisa mengalahkan seluruh tim di titik ketiga seorang diri.

Zephyr, yang mendengar percakapan mereka, menyeringai sinis. "Sepertinya reputasi Lily bukan hanya rumor belaka," ejeknya. "Kalian Asrama Dragon memang lemah."

Arthur menggertakkan giginya, namun ia tidak bisa membalas ejekan Zephyr. Ia harus fokus pada pertarungannya.

"Orion, bagaimana keadaanmu?" tanya Cassandra, yang berlari menghampiri Orion dengan wajah cemas.

"Aku baik-baik saja," jawab Orion, meskipun suaranya menunjukkan rasa sakit yang ia tahan. "Tapi kita dalam masalah besar. Lily pasti akan segera ke sini setelah mengambil bendera di titik ketiga."

"Kita harus bertahan selama mungkin," kata Arthur dengan tegas. "Orion, bantu Cassandra melindungi bendera. Aku akan menahan Zephyr."

Orion mengangguk, lalu berdiri dengan susah payah. Ia bergabung dengan Cassandra dan mulai membantu mempertahankan bendera asrama.

Di tengah pertempuran yang semakin kacau, Arthur melirik ke arah langit. Matanya melebar saat melihat dua cahaya bulat berwarna-warni melesat ke udara, meledak dan menciptakan pola yang indah.

"Flare gun?" gumamnya. "George?"

Ia segera menghitung jumlah cahaya yang meledak. Dua. Itu artinya George sudah menemukan markas tim Phoenix dan ada dua pemimpin tim yang tersisa di sana.

"Zephyr," kata Arthur dengan senyum tipis, "sepertinya permainan baru saja dimulai."

Zephyr, yang juga melihat sinyal flare gun, wajahnya menegang. Ia menyadari bahwa situasi berbalik tidak menguntungkan bagi timnya.

"Sial!" umpatnya. "Kita harus segera kembali ke markas dan melindungi Reiner dan Vicky."

"Tidak semudah itu," Arthur menyerang Zephyr dengan lebih agresif. "Kalian tidak akan kemana-mana."

Pertempuran semakin memanas. Arthur, yang mendapatkan semangat baru dari sinyal George, bertarung dengan lebih berani dan percaya diri. Ia mengeluarkan jurus-jurus pedangnya dengan kecepatan dan kekuatan penuh, menekan Zephyr yang mulai kehilangan fokus.

Di sisi lain, Orion dan Cassandra juga berjuang mati-matian melindungi bendera asrama. Mereka mengeluarkan seluruh kemampuan mereka untuk menghalau serangan musuh yang semakin gencar.

****

Di titik pertama, pertempuran berlangsung dengan intensitas yang menggetarkan. Astrid Vance, gadis berambut perak dengan aura dingin, bergerak dengan lincah dan presisi di tengah kepungan musuh. Pedang kayunya menari-nari, menebas dan menangkis setiap serangan yang datang dengan kecepatan kilat.

"Ice Shard!" serunya, menghujani lawan dengan pecahan es tajam yang terbentuk dari sihirnya.

Kai, pemimpin kelompok Asrama Phoenix, menyerang Astrid dengan ganas. Pedangnya berkilat-kilat di bawah sinar matahari, menciptakan tekanan yang membuat lawan sulit bernapas. Namun, Astrid tak gentar. Ia menangkis setiap serangan Kai dengan tenang dan terukur.

"Frost Armor!"

Tubuh Astrid diselimuti lapisan es yang tebal, melindungi dirinya dari serangan Kai. Ia kemudian membalas dengan serangan balasan yang tak kalah mematikan.

"Blizzard!"

Pusaran badai salju muncul dari tangan Astrid, menyerbu Kai dan para siswa Phoenix lainnya. Mereka terbatuk-batuk, kesulitan melihat dan bergerak di tengah badai salju yang mengepung mereka.

Astrid menyapu pandangannya ke seluruh medan pertempuran. Ia belum melihat tanda-tanda adanya pemimpin tim Phoenix yang mengenakan ikat kepala. "Sepertinya mereka memang berniat untuk bersembunyi," pikirnya.

Ia memutuskan untuk berfokus pada pertahanan saja untuk saat ini. Ia akan menunggu kesempatan yang tepat untuk menyerang dan merebut ikat kepala pemimpin tim Phoenix.

Pertempuran berlangsung lama dan melelahkan. Kedua asrama saling serang dengan gigih, tak ada yang mau mengalah. Para siswa mengeluarkan seluruh kemampuan mereka, menguras tenaga dan sihir mereka sampai batas maksimal.

Tiba-tiba, sebuah pedang berapi-api muncul dari samping, menyerang Astrid dengan kecepatan kilat. Astrid dengan sigap mengeluarkan perisai es untuk menahan serangan itu.

"Ice Wall!"

Dinding es tebal muncul di hadapan Astrid, menghalangi serangan pedang berapi-api itu. Astrid menatap ke arah penyerang dengan tajam.

Lily.

Gadis berambut coklat itu berdiri dengan angkuh, bendera Asrama Dragon yang telah ia rebut tergantung di pinggangnya. "Sepertinya kau cukup kuat juga," kata Lily dengan nada mengejek. "Tapi itu tidak akan cukup untuk mengalahkan aku."

Astrid tersenyum dingin. "Kita lihat saja nanti."

Tanpa basa-basi, keduanya langsung saling serang. Pedang es Astrid beradu dengan pedang api Lily, menciptakan ledakan-ledakan kecil yang menggetarkan udara. Sihir es dan api bertabrakan, menciptakan kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran.

"Ice Tornado!"

Astrid menciptakan pusaran tornado es yang menyerbu Lily. Lily melompat tinggi, menghindari serangan itu dan membalas dengan sihir apinya.

"Inferno Blast!"

Ledakan api yang dahsyat menghantam Astrid, namun ia berhasil melindungi dirinya dengan perisai es. Pertempuran berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat. Astrid dan Lily sama-sama kuat, kemampuan mereka saling mengimbangi.

Di tengah pertempuran yang sengit itu, sebuah cahaya bulat terlihat di udara. Astrid melirik ke arah cahaya itu dan tersenyum kecil. "Sepertinya keadaan akan berbalik."

Lily, yang juga melihat sinyal flare gun, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ia tidak menyangka bahwa George berhasil menemukan markas tim Phoenix. "Sepertinya aku meremehkan anak itu," pikirnya.

Namun, ia tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu lebih lama. Ia harus fokus untuk mengalahkan Astrid.

Astrid, yang sebelumnya berfokus pada pertahanan, kini berubah menjadi lebih agresif. Ia menyerang Lily dengan serangan bertubi-tubi, mencoba mendesak lawannya.

"Ice Spear!"

"Frostbite!"

Lily terpaksa bertahan, menangkis serangan Astrid dengan kesulitan. Ia menyadari bahwa ia harus segera mengakhiri pertempuran ini sebelum keadaan semakin buruk bagi timnya.

****

George bergerak dengan gesit di antara pepohonan, menyelinap seperti bayangan di tengah hutan lebat. Matahari yang mulai meninggi menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari-nari di antara dedaunan, membantu George untuk menyembunyikan keberadaannya.

Ia melompati akar-akar pohon yang menonjol, meluncur di bawah cabang-cabang yang rendah, dan sesekali meringkuk di balik semak-semak untuk menghindari perangkap yang tersebar di sepanjang jalan. Meskipun beberapa kali hampir terkena jebakan sihir, George selalu berhasil lolos tanpa cedera. Entah bagaimana, tubuhnya bergerak dengan refleks yang luar biasa, menghindar dan melompat dengan kecepatan dan ketepatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya.

Ini aneh, pikir George. Aku merasa lebih kuat dan lincah dari biasanya.

Ia tidak menyadari bahwa energi Ki dalam dirinya mengalir deras, memperkuat fisiknya dan meningkatkan refleksnya. Pengalamannya hidup sebagai buronan dan terus berlatih juga membantu George untuk bergerak dengan senyap dan efisien.

Setelah melewati berbagai rintangan, George akhirnya sampai di sebuah tempat yang cukup luas. Di tengah tempat itu, terdapat sebuah bendera dengan lambang Asrama Phoenix yang berkibar dengan gagah. Dua orang siswa Asrama Phoenix duduk di bawah pohon tidak jauh dari bendera, keduanya mengenakan ikat kepala pemimpin.

Itu dia, pikir George dengan semangat. Markas mereka.

Ia mengeluarkan dua flare gun yang diberikan Arthur dan menembakkannya ke udara. Dua cahaya bulat berwarna-warni melesat ke langit, meledak dan menciptakan sinyal yang jelas terlihat dari kejauhan.

George kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar, mengamati kedua pemimpin tim Phoenix dengan seksama. Ia harus memikirkan strategi untuk merebut ikat kepala mereka.

"Apa yang harus kulakukan?" gumamnya. "Aku tidak tahu seberapa kuat mereka."

Selama ini, George hanya pernah bertarung melawan orang-orang biasa tanpa kekuatan sihir. Ia cukup percaya diri dengan kemampuan bertarungnya. Namun, ia tahu bahwa para siswa Akademi Athena berbeda. Mereka memiliki kekuatan sihir yang bisa jadi jauh lebih besar darinya.

"Bisa jadi mereka lebih kuat dariku," pikir George dengan cemas. "Dan ada dua orang di sana."

Ia merasa ragu. Haruskah ia menyerang mereka sendirian? Atau haruskah ia menunggu Arthur dan yang lainnya?

Sementara George tengah berpikir keras, salah satu pemimpin tim Phoenix, Reiner, menatap ke arah langit. Ia melihat sinyal flare gun yang ditembakkan George.

"Hei, lihat!" serunya. "Ada sinyal flare gun!"

Vicky, yang dari tadi duduk bersandar di pohon dengan bosan, mengubah posisinya dan menatap Reiner dengan heran. "Flare gun? Di sini? Tidak mungkin."

"Tapi itu benar-benar ada," Reiner menunjuk ke arah langit. "Sepertinya ada yang menyusup ke markas kita."

"Tidak mungkin," Vicky menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang bisa melewati perangkap yang kita pasang. Satu-satunya jalan adalah melewati kelompok Kai di titik pertama."

"Tapi bagaimana dengan sinyal itu?" Reiner masih kelihatan bingung. "Dan lihat, ada dua sinyal. Itu artinya..."

"Artinya ada dua orang yang menyusup ke sini?" Vicky menyelesaikan ucapan Reiner dengan nada tak percaya.

"Tapi siapa?" Reiner mengamati sekeliling dengan waspada.

George, yang mendengar percakapan mereka, menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati. Ia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak, menahan napasnya.

Tanpa ia sadari, keinginan kuat George untuk bersembunyi mengaktifkan sihir kegelapan yang terpendam dalam dirinya. Tubuhnya seolah menyatu dengan bayangan, menghilang dari pandangan. Ia menjadi satu dengan kegelapan, tak terlihat oleh mata biasa.

George terus mengamati Reiner dan Vicky, menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak. Ia tidak menyadari bahwa ia baru saja menggunakan sihir untuk pertama kalinya. Dan sihir itu adalah sihir kegelapan, sihir yang sangat jarang ditemukan di Nexus.

Reiner merasakan sesuatu yang janggal. Indra tajamnya sebagai seorang Astral Knight mendeteksi keberadaan energi sihir yang cukup besar di sekitar markas. Ia mengernyitkan dahi, mencoba mencari sumber energi itu.

"Ada seseorang di sini," gumamnya dengan suara rendah.

Vicky menatapnya dengan heran. "Apa maksudmu? Tidak mungkin ada yang bisa melewati perangkap kita."

"Tapi aku bisa merasakan energi sihirnya," Reiner mencoba memfokuskan indra pengelihatannya. "Energi yang cukup besar... tapi aku tidak bisa melihatnya."

Tiba-tiba, Reiner mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke arah semak-semak tempat George bersembunyi.

"Keluarlah!" serunya. "Aku tahu kau ada di sana!"

George, yang terkejut karena keberadaannya terdeteksi, muncul dari balik semak-semak. Ia menatap Reiner dan Vicky dengan wajah sedikit kesal.

"Sepertinya tidak ada cara lain," gumamnya.

Vicky terkejut melihat kemunculan George yang tiba-tiba. Ia segera berdiri, siap siaga.

"Siapa kau?" tanya Reiner, matanya menyipit saat melihat lencana Terran di seragam George. "Seorang Terran? Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"

George hanya mengangkat bahu. "Entahlah," jawabnya acuh tak acuh.

Ia mengepalkan kedua tinjunya, siap untuk bertarung.

"Kau tidak membawa senjata?" Reiner mengerutkan keningnya. "Apa kau pengguna Ki?"

Sebelum George sempat menjawab, Vicky menyerang dengan sihir apinya.

"Fireball!"

Sebuah bola api melesat ke arah George dengan kecepatan tinggi. George, yang terkejut dengan serangan mendadak itu, tidak sempat menghindar. Bola api itu menghantam dadanya, menciptakan ledakan kecil dan asap yang mengepul.

Namun, George tidak merasakan apa-apa. Ia hanya merasakan sensasi hangat di dadanya, seolah-olah ia sedang menghangatkan diri di depan perapian.

Reiner dan Vicky terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa serangan Vicky tidak mempan sama sekali pada George.

"Bagaimana mungkin?" Vicky tergagap. "Mungkin karna kekuatanku sudah dibatasi..."

Reiner tidak tinggal diam. Ia melompat ke arah George dan menyerang dengan tombaknya. Namun, George seolah-olah bisa melihat setiap gerakan Reiner. Ia menangkis serangan Reiner dengan mudah, hanya dengan menggunakan lengannya sebagai perisai.

George kemudian membalas dengan serangan tinjunya. Pukulannya mengenai perut Reiner dengan keras, membuat pemuda itu terpental ke belakang dan menghantam sebuah pohon.

"Ugh!" Reiner mengerang kesakitan.

George terkejut dengan kekuatannya sendiri. "Apa mungkin orang-orang di Nexus tidak sekuat yang kukira?" pikirnya.

Vicky semakin geram. Ia tidak terima seorang Terran bisa mengalahkan Reiner dengan mudah. Ia menyerang George dengan berbagai macam sihir api yang ia kuasai.

"Flame Blast!"

"Fire Wall!"

"Inferno!"

Namun, George berhasil menghindari semua serangan itu dengan mudah. Ia bahkan menangkis beberapa serangan langsung dengan tubuhnya tanpa terluka sedikit pun.

Melihat George yang semakin mendekat, Vicky mulai panik.

"Menjauh dariku!" teriaknya.

Saat George mencoba merebut ikat kepala Vicky, Reiner kembali menyerang. Meskipun masih kesakitan, ia berhasil menghalangi George dan melindungi Vicky.

"Berandal macam apa kau ini?" Reiner menggeram. "Bagaimana kau bisa sekuat itu meskipun kekuatanmu sudah dibatasi?"

George berpikir sejenak. "Entahlah," jawabnya akhirnya. "Mungkin kalian saja yang lemah."

Ia kemudian mengalihkan perhatiannya ke Reiner dan menyerangnya dengan bertubi-tubi. Reiner terpaksa bertahan, mencoba menangkis serangan George yang bertubi-tubi. Vicky juga ikut membantu, namun serangan mereka tidak mempan sama sekali pada George.

Akhirnya, setelah energinya terkuras habis, Reiner menjatuhkan senjatanya. Ia sudah tidak kuat lagi untuk bertarung. Vicky juga tersungkur di tanah, frustasi karena tidak bisa melukai George sedikit pun.

"Monster macam apa kau ini?" gumam Vicky dengan lemah.

George menatap keduanya dengan tenang. "Baguslah," katanya. "Aku sendiri tidak suka menindas yang lemah."

Ia kemudian mengambil ikat kepala Reiner dan Vicky.

Tiba-tiba, sebuah hologram berwarna biru muncul di langit, menampilkan wajah Roland.

"Perhatian, seluruh siswa," kata Roland dengan suara tegas. "Waktu pertempuran sudah habis. Simulasi perang ini dimenangkan oleh... Asrama Dragon!"

George tersenyum kecil. Ia tidak menyangka bahwa ia berhasil membantu Asrama Dragon memenangkan simulasi perang ini dengan baik.