Chereads / Shadow of the Dragons / Chapter 8 - Hasil & Ranking (George)

Chapter 8 - Hasil & Ranking (George)

Rasanya masih seperti mimpi. Beberapa saat yang lalu aku masih bersembunyi di balik semak-semak, berusaha merebut ikat kepala dari dua orang yang kukira sangat kuat. Dan sekarang, mereka berdua terkapar di tanah, sementara aku berdiri di sini dengan dua ikat kepala di tanganku dan suara Roland yang mengumumkan kemenangan Asrama Dragon masih terngiang di telingaku.

Tiba-tiba, hutan yang tadinya sunyi kembali ramai. Beberapa siswa, baik dari Asrama Dragon maupun Phoenix, muncul dari balik pepohonan dan berkumpul di sekitar markas. Mereka menatapku dengan berbagai ekspresi, ada yang kagum, heran, bahkan iri.

"Wow, kau benar-benar mengalahkan mereka sendirian?" seorang siswa Asrama Dragon bertanya dengan takjub.

"Bagaimana kau bisa sekuat itu?" tanya siswa lainnya.

Aku hanya tersenyum kecil, merasa bangga dan... senang. Perasaan ini... sudah lama sekali tidak kurasakan. Perasaan diterima, diakui, dan dihargai. Selama hidup sebagai buronan, aku selalu sendirian, selalu bersembunyi, selalu merasa terasing. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Aku bagian dari Asrama Dragon, pikirku dengan harapan yang mulai bersemi di hati. Aku punya teman-teman yang peduli padaku.

Namun, kebahagiaan itu terusik oleh sesuatu. Sebuah energi yang sangat kuat tiba-tiba muncul di belakangku, diikuti oleh suara langkah kaki yang cepat. Sebelum aku sempat berbalik, sesuatu menghantam lenganku dengan keras.

"Ugh!"

Aku terhuyung ke belakang, mencoba menjaga keseimbanganku. Aku menatap ke arah penyerang dengan kaget.

Lily.

Gadis berambut coklat itu berdiri dengan ekspresi dingin, pedang kayunya masih berpijar dengan sisa-sisa api.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan kesal. "Kau mau membalaskan kekalahan teman-temanmu?"

"Bukan," jawab Lily singkat. "Aku hanya ingin membenarkan kesalahanku."

Ia menatapku dengan tajam. "Aku sudah memperhitungkan kekuatan setiap individu di Asrama Dragon dan Phoenix. Tapi kau... kau di luar dugaan."

"Reiner dan Vicky bukan lawan yang mudah," lanjutnya. "Tapi kau mengalahkan mereka tanpa terluka sedikit pun. Itu membuatku penasaran."

Aku mengerutkan keningku, mencoba memahami maksud Lily. "Jadi, kau menyerangku hanya karena penasaran?"

"Bisa dibilang begitu," jawab Lily dengan nada datar. "Aku ingin tahu seberapa besar kekuatanmu sebenarnya."

Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Lily. Jadi, dia ingin bertarung denganku?

"Baiklah," kataku akhirnya. "Jika kau memang ingin bertarung, ayo. Aku siap meladenimu."

Sebenarnya, aku juga penasaran dengan kekuatanku sendiri. Selama ini, aku tidak pernah tahu batas kemampuanku. Mungkin ini kesempatan yang bagus untuk mengujinya.

Aku dan Lily mundur beberapa langkah, memberi jarak di antara kami. Para siswa lain menyingkir, membentuk lingkaran di sekitar kami. Astrid Vance, yang dari tadi mengamatiku dengan penuh minat, melangkah lebih dekat ke arena pertarungan. Ia tampak penasaran ingin melihat kemampuan sebenarnya dari seorang Terran yang misterius ini.

Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan energi yang mengalir di dalam tubuhku.

Lily bergerak secepat kilat. Pedang kayunya yang diselimuti api menghujam ke arahku dengan presisi yang menakutkan. Aku mencoba menangkisnya, tapi gerakannya terlalu cepat. Pedang itu mengenai lenganku, meninggalkan rasa perih dan panas yang membakar.

"Akh!" Aku terhuyung ke belakang, kaget dengan serangan Lily yang tak terduga.

Lily tidak memberiku kesempatan untuk bernapas. Ia terus menyerang dengan bertubi-tubi, pedangnya menebas dan menusuk dari berbagai arah. Aku berusaha menangkis dan menghindar, tapi gerakannya terlalu lincah. Beberapa kali pedangnya mengenai tubuhku, meninggalkan luka dan rasa terbakar yang menyengat.

"Grrr..." Aku mengertakkan gigi, menahan rasa sakit.

Darah bercucuran dari luka-luka di tubuhku. Aku belum pernah merasakan pertarungan seintens ini sebelumnya. Selama hidupku, aku hanya bertarung melawan orang-orang biasa tanpa kekuatan sihir. Tapi Lily... dia berbeda. Kecepatan dan kekuatannya benar-benar di luar dugaan.

Namun, anehnya, aku tidak merasa takut. Justru sebaliknya, aku merasa... bersemangat. Adrenalin terpacu di dalam darahku. Rasa sakit dan bahaya yang mengancam justru membuatku semakin bersemangat untuk melawan.

Ini menarik, pikirku. Aku akhirnya menemukan lawan yang sepadan.

Aku merasakan energi yang mengalir di dalam diriku, energi yang berbeda dari apa yang pernah kurasakan sebelumnya. Aku memfokuskan perhatianku, mencoba merasakan energi itu dengan lebih jelas. Dan saat itulah aku menyadari sesuatu. Energi itu bukan berasal dari dalam tubuhku, tapi dari sekitar. Dari udara, dari tanah, dari pepohonan...

Apa ini? Sihir?

Aku mencoba menyerap energi itu, berharap bisa menggunakannya untuk meningkatkan kekuatanku. Dan tiba-tiba...

BOOM!

Sebuah ledakan energi terjadi. Tubuhku terasa panas dan bergejolak. Asap hitam mengepul dari tubuhku, menyelimutiku dalam kegelapan. Aku merasa kekuatanku meningkat dengan drastis.

"Apa ini?" Aku menatap kedua tanganku dengan takjub. Asap hitam itu masih mengepul, membuatku terlihat seperti diselubungi bayangan.

"Jadi ini yang namanya sihir..." gumamku.

Lily menyerangku lagi, tapi kali ini aku siap. Dengan kekuatan baru yang kurasakan, aku bisa melihat setiap gerakan Lily dengan jelas. Aku menangkis semua serangannya dengan mudah, bahkan membalas dengan serangan balasanku sendiri.

"Apa... apa yang terjadi?" Lily terkejut melihat perubahan yang terjadi padaku.

Aku tersenyum kecil. "Sepertinya aku baru saja mendapatkan power-up."

Di tengah pertarungan yang semakin intens, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh dan melihat Arthur, Lisa, dan beberapa siswa Asrama Dragon lainnya berlari ke arah kami.

"George!" Arthur berteriak. "Apa yang terjadi?"

"Dia... dia bertarung melawan Lily," jawab Astrid dengan nada takjub. "Dan... dan dia seimbang!"

Arthur terkejut melihatku bertarung melawan Lily. Ia tahu betapa kuatnya Lily. Tapi bagaimana mungkin aku, seorang Terran yang baru pertama kali menggunakan sihir, bisa mengimbanginya?

Pertarungan berlanjut dengan sengit. Aku dan Lily saling serang dengan kekuatan penuh. Aku menggunakan kekuatanku yang baru untuk meningkatkan kecepatan dan kekuatanku, sementara Lily menggunakan berbagai macam jurus sihir api untuk menyerangku.

"Flame Sword!"

"Fire Whip!"

"Inferno Blast!"

Aku menghindari dan menangkis semua serangan Lily dengan susah payah. Aku masih belum terbiasa dengan kekuatan baruku, dan aku juga tidak tahu bagaimana caranya menggunakan sihir dengan benar. Tapi entah bagaimana, aku berhasil bertahan dan mengimbangi Lily.

Pertarungan kami menjadi tontonan yang menarik bagi para siswa yang menyaksikan. Mereka terpesona melihat pertarungan antara dua kekuatan yang setara. Astrid Vance, yang dari tadi mengamati dengan seksama, matanya berkilau penuh minat. Ia semakin penasaran dengan George, Terran misterius yang memiliki potensi yang luar biasa.

Panas. Udara di sekitarku terasa membakar. Lily berdiri di depanku, tubuhnya berpijar dengan aura merah yang mengerikan. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, mengumpulkan energi sihir dalam jumlah yang sangat besar.

"Ini buruk," gumamku, instingku menjerit bahaya. Aku harus menghindar!

Namun, sebelum Lily sempat melepaskan serangannya, sebuah suara memotong ketegangan.

"Lily! Hentikan kekonyolan ini!"

Lisa.

Ia berlari ke arah kami dengan wajah penuh kekhawatiran. "Kau bisa menyakiti George!"

Lily menatap Lisa dengan kesal. "Minggir, Lisa! Ini urusan ku dengan dia."

"Tidak!" Lisa berdiri tegak di depanku, melindungiku dari Lily. "Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti dia!"

Lily mengerutkan keningnya, raut wajahnya menunjukkan konflik batin. Ia tampaknya ragu untuk melanjutkan serangannya.

Tiba-tiba, sesosok pria muncul di antara kami. Dengan gerakan cepat, ia menggenggam tangan Lily yang memegang pedang.

"Hentikan ini, Lily"

Aku menatap pria itu dengan seksama. Ia memiliki rambut perak dan tatapan tajam yang mirip dengan Lily. Wajahnya tegas dan berwibawa, memancarkan aura kekuatan yang membuatku sedikit gugup.

Darius Hawthorne.

Ayah Lisa dan Lily.

Di belakang Darius, muncul beberapa orang dewasa lainnya. Aku mengenali Roland dan Nancy di antara mereka. Nancy hanya menggelengkan kepalanya dengan raut wajah kecewa, sementara Roland tertawa kecil.

"Sepertinya pertunjukan sudah selesai," kata Roland dengan nada gembira.

Lily menatap ayahnya dengan wajah malu. "Ayah..." gumamnya. "Maafkan aku. Aku... aku kehilangan kendali."

Darius menatap Lily dengan tajam. "Kau sudah melanggar aturan simulasi, Lily. Kau bisa mencelakai temanmu sendiri."

Lily menundukkan kepalanya. "Aku tahu, Ayah. Aku salah."

Ia kemudian mundur dan bergabung kembali dengan para siswa Asrama Phoenix.

Melihat situasi sudah aman, aku merilekskan tubuhku. Asap hitam yang menyelimutiku perlahan menghilang, dan aku kembali ke wujud asliku.

"Syukurlah," gumamku, merasakan ketegangan di tubuhku menghilang.

Nancy melangkah maju dan menatap semua siswa dengan serius. "Simulasi perang ini memang dirancang untuk menguji kemampuan dan mental kalian. Tapi ingat, tujuan utama kita adalah untuk belajar dan bertumbuh menjadi Astral Knight yang hebat. Jangan sampai kalian terbawa emosi dan melupakan nilai-nilai luhur seorang kesatria."

Ia menghentikan sejenak ucapannya, kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih lantang. "Baiklah, untuk semua siswa, kalian bisa kembali ke Akademi. Kita akan melakukan evaluasi dan memberikan penjelasan lebih lanjut di sana."

Aula Akademi Athena kembali dipenuhi oleh para siswa. Beberapa di antaranya masih terlihat babak belur, dengan perban membalut luka di tubuh mereka. Mereka yang terluka cukup parah dirawat di ruang perawatan akademi. Aku sendiri merasa baik-baik saja, meski masih sedikit lelah setelah pertarungan melawan Lily.

Nancy berdiri di tengah panggung, menatap kami semua dengan senyum bangga.

"Selamat kepada Asrama Dragon yang telah memenangkan simulasi perang tahun ini!" serunya. "Aku telah menyaksikan banyak pertarungan yang mengesankan, tekad yang kuat, dan potensi yang luar biasa dari kalian semua, para calon Astral Knight."

"Beberapa di antara kalian bahkan melebihi ekspektasi kami," lanjutnya. "Kerja sama tim yang ditunjukkan oleh Asrama Dragon sangat bagus, dan Arthur Lysander telah menunjukkan kepemimpinan yang baik."

Arthur, yang berdiri di sampingku, tersipu malu mendengar pujian itu.

"Data pertempuran telah dianalisis oleh sistem," Nancy melanjutkan. "Dan sekarang, saatnya untuk mengumumkan ranking awal kalian."

Ia menjeda sejenak, membuat suasana semakin tegang.

"Sebagian besar dari kalian mendapatkan ranking D," kata Nancy. "Ini wajar, mengingat kalian masih pemula. Tapi jangan khawatir, kalian masih punya banyak waktu untuk meningkatkan kemampuan dan naik peringkat."

"Kalian bisa melihat ranking kalian di gelang Athena," tambahnya. "Akan ada sebuah huruf yang menunjukkan ranking kalian."

Aku menatap gelang di tanganku. Sebuah huruf D tertera di sana. Yah, kurasa itu cukup masuk akal.

"Namun, ada beberapa siswa yang menunjukkan potensi luar biasa di tahun ini," Nancy melanjutkan. "Selamat kepada Arthur Lysander dan Zephyr Vaughn yang berhasil mencapai ranking B!"

Tepuk tangan meriah berkumandang di aula. Arthur tersenyum lebar, sementara Zephyr hanya mengangguk dingin.

"Dan selanjutnya..." Nancy menjeda sejenak, membuat suasana semakin menegangkan. "Selamat kepada Astrid Vance dan Lily Hawthorne yang berhasil mendapatkan ranking A!"

Tepuk tangan kembali bergemuruh, lebih meriah dari sebelumnya. Astrid tersenyum tipis, sedangkan Lily menatap Zephyr dengan tatapan mengejek. Zephyr mengerutkan keningnya, tampaknya kesal karena dikalahkan oleh Lily.

"Dan terakhir," Nancy berkata dengan suara lantang, "siswa ini memiliki peringkat bukan hanya tertinggi di antara kalian semua, tetapi juga tertinggi di Akademi Athena saat ini. Mungkin memang tidak terlihat seperti itu, tetapi data yang dikumpulkan oleh gelang Athena menunjukkan bahwa ini adalah kebenaran. Murid ini juga adalah kunci dari kemenangan Asrama Dragon."

Ia menjeda sejenak, meningkatkan rasa penasaran semua orang.

"Selamat kepada... George Blake yang sudah meraih ranking A+!"

Hening.

Bukan tepuk tangan yang mengisi aula, melainkan kesunyian yang menegangkan. Semua mata tertuju padaku dengan ekspresi terkejut. A+? Itu berarti artinya aku yang terkuat disini ?

Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa. Astrid menatapku dengan intens, Lily mendengus kesal, dan Zephyr tampak semakin frustasi. Tapi Arthur justru menepuk punggungku dengan antusias.

"Selamat, George!" serunya. "Aku tidak menyangka kau sekuat itu!"

Lisa, yang dari tadi diam saja, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ia tampak merenung, pikirannya terlalu jauh untuk kubaca.

"Lisa, kau baik-baik saja?" tanyaku dengan khawatir.

"Ah, iya. Tidak perlu khawatir," jawabnya dengan senyum yang terasa dipaksakan. "Selamat, George."

Entah kenapa, ada sesuatu yang aneh dengan sikap Lisa. Ia tampak menyembunyikan sesuatu.

Setelah pengumuman ranking dan sedikit kekacauan yang terjadi di aula, akhirnya aku bisa menuju kamar asrama. Akademi Athena menyediakan kamar asrama yang cukup luas dan nyaman untuk setiap siswa. Yang menarik, kami diberi kebebasan untuk memilih ingin sekamar dengan siapa. Tentu saja, aku memilih Arthur. Selain karena dia satu-satunya orang yang kukenal, aku juga cukup nyaman berada di dekatnya. Arthur sendiri tampaknya tidak keberatan saat kuajak untuk sekamar.

Kamar asrama kami terletak di lantai dua gedung Asrama Dragon. Ruangannya cukup luas untuk dua orang, dengan dua tempat tidur single, dua meja belajar, dan dua lemari pakaian. Dinding kamar dicat dengan warna biru muda yang menenangkan, dihiasi beberapa lukisan pemandangan alam dan makhluk mitologi. Jendela kaca yang besar menawarkan pemandangan indah ke arah taman akademi.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Arthur sambil meletakkan tasnya di atas meja.

"Kamarnya bagus," jawabku, mengamati sekeliling dengan penuh minat. "Jauh lebih baik dari tempat tinggalku di Terra."

Arthur tertawa. "Tentu saja! Ini kan Akademi Athena, salah satu akademi terbaik di Nexus."

Ia kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Ah, akhirnya bisa istirahat juga. Pertarungan tadi benar-benar melelahkan."

Aku mengangguk setuju. Aku juga merasa sangat lelah. Pertarungan melawan Lily, ditambah dengan kejutan mendapatkan ranking A+, membuat tubuh dan pikiranku terkuras habis.

"George," Arthur tiba-tiba berkata, "aku benar-benar tidak menyangka kau sekuat itu. Kau bahkan berhasil mengalahkan Reiner dan Vicky sendirian."

Aku tersenyum kecil. "Aku juga tidak menyangka."

"Kau tahu," Arthur melanjutkan, "aku rasa kau punya potensi untuk menjadi Astral Knight yang hebat."

Aku hanya merespon nya dengan senyuman kecil

"Tapi kau berbeda, George," Arthur berkata dengan serius. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Aku bisa merasakannya."

Aku terdiam, merenungkan kata-kata Arthur. Apa yang dimaksud Arthur dengan "sesuatu yang istimewa"? Apakah ia menyadari kekuatan misterius yang ada di dalam diriku?

"Sudahlah, jangan dipikirkan terlalu berat," Arthur menepuk pundakku. "Lebih baik kita istirahat sekarang. Besok kita pasti akan mendapatkan banyak pertanyaan dari para instruktur dan siswa lainnya."

Aku mengangguk dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Kelelahan akhirnya mengalahkan rasa penasaranku. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku terhanyut dalam tidur yang lelap.

Kelopak mataku terasa berat. Aku mencoba membuka mata, namun pandanganku kabur, seolah tertutup kabut tebal. Di sekitar ku, suara-suara bergema memanggil namaku, namun terdengar jauh dan tidak jelas. Aku berusaha mengabaikannya, mencoba kembali tenggelam dalam tidur.

Namun, tiba-tiba aku merasa tidak nyaman. Tubuhku terasa dingin, seolah terendam dalam air es. Aku mengerang, mencoba bergerak, namun tubuhku terasa kaku dan tidak bisa digerakkan.

Perlahan, kabut di pandanganku mulai menghilang. Namun, pemandangan yang kulihat justru semakin membuatku bingung.

Aku berada di sebuah tempat yang sama sekali asing. Pegunungan terjal menjulang tinggi di sekitarku, mencakar langit yang kelabu. Udara dingin dan tajam menusuk tulangku. Di bawahku, jurang yang dalam menganga lebar, menciptakan rasa takut yang mendalam.

Ini mimpi, kan? tanyaku dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Namun, mimpi ini terasa terlalu nyata. Aku bahkan bisa merasakan dinginnya udara dan tekstur kasar batu di bawah kakiku.

Dan di depanku... lima sosok berjubah hitam berdiri dengan tegar, wajah mereka tersembunyi di balik tudung yang menutupi kepala mereka.

Siapa mereka?

"Sepertinya kita sudah bisa memulai rencana kita," kata salah satu sosok itu. Suaranya lembut, namun terdengar dingin dan mengancam.

"Akhirnya! Kekekeke..." Sosok lain tertawa sinis. Dari suara serak dan postur tubuhnya yang membungkuk, aku menduga ia seorang pria tua. "Aku sudah tidak sabar untuk menguji kekuatanku."

"Sebaiknya jangan terlalu nafsu, G-4," kata sosok yang lebih tinggi. "Kita tidak ingin membuat G-1 marah. Benar kan, G-3?"

Sosok yang dipanggil G-3 hanya diam saja. Aku melihat sebuah katana terselip di pinggangnya.

"Sudahlah, jangan menggoda G-3," kata sosok dengan suara wanita yang anggun tadi "Dia tidak akan bicara jika tidak perlu."

Aku mengamati mereka dengan seksama, mencoba mencari tahu siapa mereka dan apa yang mereka inginkan. Jantungku berdebar kencang, instingku menjerit bahaya.

Aku harus bangun dari mimpi ini, pikirku dengan desperasi.

"Mari kita lakukan rencana kita," ucap sosok yang sepertinya adalah pemimpin mereka. Suaranya dalam dan berwibawa, mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. "Dan sebaiknya kalian mengikuti arahan-arahan dariku. Semua rencana sudah tersusun dengan baik dan sempurna. Jadi, jika ada di antara kalian yang mengacau..."

Ia menghentikan ucapannya, membiarkan ancaman tersirat menggantung di udara.

"Aku akan membunuh kalian langsung," lanjutnya dengan nada dingin yang membuat bulu kudukku merinding.

Keempat sosok lainnya menjawab dengan kompak, "Ya, G-1."

Kemudian pemimpin yang di sebut G-1 itu mengisyaratkan dengan tangannya, dan mereka semua pun berpencar, menghilang di balik bebatuan dan pepohonan.

Tiba-tiba, G-1 berhenti. Ia berbalik menghadapku, meskipun aku tahu ia tidak benar-benar melihatku. Tatapannya tajam dan menusuk, seolah-olah bisa menembus jiwaku. Aku terkejut melihat matanya yang berwarna cokelat keemasan, warna yang sama dengan mataku.

"Kau tahu, George, mengintip itu bukanlah hal yang baik," ucapnya dengan suara rendah yang penuh ancaman.

Aku merasakan tekanan yang luar biasa, seolah-olah ada beban berat menindih dadaku. Aku mencoba untuk berteriak, untuk bergerak, tapi tubuhku tidak merespons. Kesadaranku mulai memudar, dan kegelapan kembali menghantuiku.