Chereads / Shadow of the Dragons / Chapter 4 - Gerbang Athena (George)

Chapter 4 - Gerbang Athena (George)

Arthur menerima kotak kecil itu dari Lisa dengan hati-hati,  seolah benda itu terbuat dari kaca tipis yang mudah pecah.  Ia membuka kotak itu perlahan,  dan kami bertiga melongo melihat isinya.

Bukan  kunci  berbentuk  naga  atau  peta  kuno  seperti  yang  Arthur  duga,  melainkan  sebuah  gelang  sederhana  yang  terbuat  dari  keramik  putih.  Gelang  itu  terlihat  biasa  saja,  tanpa  ukiran  atau  hiasan  apapun.

"Hah?  Cuma  ini?"  Arthur  mengerutkan  keningnya,  kecewa.  "Aku  kira  isinya  sesuatu  yang  lebih...  mengagumkan."

Lisa  terkikik,  "Jangan  meremehkan  benda  kecil  itu,  Arthur.  Itu  adalah  Gelang  Athena,  salah  satu  benda  paling  penting  bagi  seorang  siswa  di  Akademi  Athena."

Aku  menatap  gelang  itu  dengan  penasaran.  "Apa  fungsinya?"  tanyaku.

"Gelang  itu  akan  memantau  kekuatan  sihir  dan  Ki  kita,"  jelas  Lisa.  "Dari  data  yang  dikumpulkan  gelang  itu,  akan  ditentukan  peringkat  kita  sebagai  seorang  Astral  Knight.  Selain  itu,  gelang  ini  juga  berfungsi  sebagai  alat  komunikasi,  penyimpanan  data,  dan  bahkan  bisa  memantau  kondisi  tubuh  kita."

"Wow,"  gumamku  kagum.  Teknologi  di  Nexus  benar-benar  canggih.

Lisa  tersenyum,  "Kepala  Sekolah  Nancy  juga  berpesan  bahwa  gelang  ini  akan  berguna  untuk  kegiatan  dan  acara-acara  akademi  nanti.  Jadi,  pastikan  kalian  selalu  memakainya,  ya?"

Arthur  menepuk  jidatnya,  "Astaga,  aku  lupa  mengambil  gelang  ini  waktu  pengambilan  informasi  kelulusan  kemarin!  Pantas  saja  Ibu  menyuruhku  untuk  tidak  lupa  mengambil  'sesuatu'  di  stasiun."

Lisa  menggelengkan  kepalanya  sambil  tersenyum  kecil.  "Dasar  Arthur..."

Aku  melihat  interaksi  mereka  dengan  senyum  kecil.  Arthur  ini  memang  lucu  dan  sedikit  ceroboh.  Jangan-Jangan orang ini bodoh,  batinku  dengan  nada  bercanda.

Arthur  memakaikan  gelang  itu  di  pergelangan  tangannya,  dan  gelang  itu  segera  menyala  dengan  cahaya  biru  lembut.  "Wah,  keren!"  serunya  dengan  antusias.

Lisa  kemudian  memberikan  satu  gelang  lagi  padaku.  "Ini  untukmu,  George."

Aku  menerima  gelang  itu  dan  memakainya.  Gelang  itu  terasa  dingin  dan  halus  di  kulitku.  Seketika,  cahaya  biru  menyala,  dan  aku  merasakan  energi  aneh  mengalir  di  tubuhku.  Sepertinya,  kehidupan  baruku  di  Akademi  Athena  benar-benar  dimulai  sekarang.

"Wah, keren!" Arthur memutar-mutar pergelangan tangannya, mengagumi gelang Athena yang melingkar di sana. Cahaya biru yang berdenyut lembut seolah memberikan sentuhan magis pada gelang sederhana itu.

Aku pun melakukan hal yang sama, mengamati gelang di tanganku dengan penasaran. Rasanya aneh, seolah ada energi yang mengalir di bawahnya. Aku tak sabar untuk mengetahui lebih banyak tentang kegunaan gelang ini dan kehidupan di Akademi Athena.

"Sebaiknya kita bergegas," Lisa berkata, menyadarkan kami dari lamunan. "Hari masih pagi,  dan kita harus segera sampai di akademi agar tidak terlambat untuk upacara penerimaan siswa baru."

"Ah, benar juga," Arthur menepuk jidatnya. "Baiklah, ayo kita pergi!"

Kami bertiga pun meninggalkan stasiun dan melangkah keluar ke jalan raya Athena. Udara pagi yang segar  menyambutku,  berbeda dengan  udara  pengap  dan  polusi  di  Terra.  Aku  terkesima  melihat  keindahan  kota  ini  di  bawah  sinar  matahari  pagi.  Bangunan-bangunan  yang  megah  dan  beraneka  ragam  berjajar  di  sepanjang  jalan,  dihiasi  dengan  ukiran  dan  hiasan  yang  rumit.  Kendaraan-kendaraan  ajaib  beterbangan  di  langit  yang  biru  cerah,  beberapa  di  antaranya  menyerupai  burung,  naga,  bahkan  kapal  layar.  Orang-orang  dari  berbagai  ras  berjalan  berdampingan,  menciptakan  suasana  yang  hidup  dan  harmonis.

"Karena  jaraknya  tidak  terlalu  jauh,  kita  jalan  kaki  saja,  ya?"  usul  Arthur.  "Sekalian,  aku  bisa  menunjukkan  suasana  di  sekitar  Athena  padamu,  George."

Aku mengangguk setuju. Aku penasaran ingin mengeksplorasi kota ini lebih jauh.

Saat kami berjalan, Arthur menjelaskan berbagai hal tentang Athena, mulai dari sejarah berdirinya kota ini, sistem pemerintahan, hingga kebudayaan dan tradisi masyarakatnya. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang membuatku penasaran.

Tiba-tiba, Arthur berhenti dan menepuk jidatnya. "Eh, tunggu dulu," katanya dengan ekspresi bingung. "George, apakah kau sudah terdaftar sebagai siswa di Akademi Athena?"

Aku terdiam. Sejujurnya, aku tidak tahu. Nancy hanya menyuruhku naik kereta dan pergi ke Athena, tapi ia tidak pernah menjelaskan tentang proses pendaftaran atau persyaratan masuk akademi.

"Seharusnya, sebelum masuk akademi, kau harus mengikuti ujian seleksi dulu," lanjut Arthur. "Tapi kau baru sampai di Athena hari ini..."

Lisa tersenyum, "Tidak perlu khawatir, Arthur. Lihat, George sudah mengenakan seragam Athena. Itu berarti dia sudah diterima di akademi."

Arthur menatapku dengan heran. "Benarkah? Tapi bagaimana mungkin?"

"Mungkin Kepala Sekolah Nancy sudah mengurus semuanya," jawab Lisa tenang. "Lagipula, orang yang menjemput George di Terra adalah Kepala Sekolah sendiri. Itu sangat jarang terjadi, lho."

Arthur mengangguk-angguk, masih sedikit bingung. "Hmm... benar juga. Kepala Sekolah Nancy memang kadang-kadang bertindak misterius."

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Akademi Athena, meninggalkan misteri tentang penerimaan George yang aneh itu untuk diungkap kemudian.

Kami bertiga melangkah menyusuri jalanan kota Athena yang ramai.  Sinar matahari pagi  menyinari  bangunan-bangunan  yang  menjulang  tinggi,  memantulkan  cahaya  dari  berbagai  warna  dan  bentuk.  Aku  terpesona  melihat  kehidupan  di  Nexus  yang  begitu  berbeda  namun  juga  mirip  dengan  Terra.

"Di  sana  ada  pasar  terbuka,"  Arthur  menunjuk  ke  arah  sebuah  lapangan  yang  dipenuhi  dengan  tenda-tenda  berwarna-warni.  "Kau  bisa  menemukan  berbagai  macam  barang  di  sana,  mulai  dari  bahan  makanan,  pakaian,  hingga  barang-barang  magis."

Aku  melihat  orang-orang  berlalu-lalang  di  pasar  itu,  beberapa  di  antaranya  menawar  harga  dengan  penjual,  yang  lain  hanya  melihat-lihat  barang  dagangan.  Ada  yang  berbelanja  dengan  uang  biasa,  ada  pula  yang  menggunakan  koin  emas  atau  bahkan  batu  permata  sebagai  alat  tukar.

"Kalau  itu  toko  senjata  favoritku!"  Arthur  berkata  dengan  semangat,  menunjuk  ke  sebuah  bangunan  dengan  etalase  yang  memamerkan  berbagai  macam  senjata,  mulai  dari  pedang,  tombak,  busur  dan  anak  panah,  hingga  tongkat  sihir  dan  artefak  magis.  "Nanti  kuajak  kau  ke  sana,  George.  Kau  pasti  tertarik  melihat  koleksi  mereka."

Aku  tersenyum.  Aku  memang  penasaran  ingin  melihat  senjata-senjata  di  Nexus.  Apakah  mereka  setajam  dan  sekuat  senjata  di  Terra?  Atau  mungkin  mereka  memiliki  kemampuan  magis  yang  luar  biasa?

"Kalau  aku  lebih  suka  ke  kafe  itu,"  Lisa  menunjuk  ke  sebuah  kafe  kecil  dengan  taman  yang  rindang  di  depannya.  "Mereka  menyajikan  kue  dan  teh  herbal  yang  enak  sekali.  Kita  bisa  ke  sana  nanti  setelah  selesai  urusan  di  akademi."

"Setuju!"  Arthur  mengangguk  antusias. 

"Aku  juga  suka  kue-kue  di  sana."

Kami  melanjutkan  perjalanan,  melewati  rumah-rumah  penduduk,  taman-taman  kota,  dan  beberapa  bangunan  publik  seperti  perpustakaan  dan  rumah  sakit.  Kehidupan  di  Athena  tampak  damai  dan  sejahtera.  Orang-orang  beraktivitas  seperti  biasa,  bekerja,  berbelanja,  atau  sekedar  bersantai  di  taman.  Tak  jauh  berbeda  dengan  kehidupan  di  Terra,  hanya  saja  di  sini  ada  sentuhan  sihir  di  mana-mana.

"Kalian berdua sudah lama berteman?" tanyaku penasaran, melihat kedekatan Arthur dan Lisa.

Arthur tersenyum, "Ya, bisa dibilang begitu. Kami sudah kenal sejak kecil."

"Ayahku dan ayah Lisa adalah teman baik," lanjutnya.  "Meskipun ayah Lisa,  setelah kepergian Ibu Lisa,  menjadi  agak...  pendiam  dan  ketat.  Dulu,  ketika  kami  masih  kecil,  orang  tuaku  sering  mengunjungi  ayah  Lisa,  dan  di  sanalah  kami  bermain  bersama."

Lisa mengangguk,  "Aku  tidak  begitu  ingat  Ibu,  karena  beliau  sudah  tiada  sejak  aku  lahir.  Tapi  Ayah  sering  bercerita  tentang  betapa  baik  dan  hangatnya  Ibu.  Dan  aku  senang  bisa  berteman  dengan  Arthur  sejak  kecil."

Aku  tersenyum,  merasakan  kehangatan  dalam  persahabatan  mereka.  Meskipun  ada  kesedihan  di  masa  lalu  mereka,  mereka  tetap  bisa  saling  mendukung  dan  menjalin  ikatan  yang  kuat.

Setelah  berjalan  sekitar  setengah  jam,  kami  akhirnya  sampai  di  gerbang  Akademi  Athena.  Gerbang  itu  terbuat  dari  besi  tempa  yang  kokoh,  dihiasi  dengan  ukiran  burung  hantu,  simbol  kebijaksanaan  dan  pengetahuan.  Dua  orang  penjaga  berseragam  berdiri  di  samping  gerbang,  mengawasi  siapa  saja  yang  masuk  dan  keluar.

"Ini  dia,  Akademi  Athena,"  Arthur  berkata  dengan  bangga.  "Siap  untuk  memulai  petualangan  baru,  George?"

Aku  menarik  napas  dalam-dalam,  menatap  gerbang  itu  dengan  perasaan  campur  aduk  antara  gugup  dan  semangat.  Inilah  awal  dari  perjalanan  baruku,  perjalanan  untuk  menemukan  jati  diri  dan  takdirku  sebagai  seorang  Astral  Knight.

Gerbang  Akademi  Athena  menjulang  tinggi  di  hadapan  kami,  kokoh  dan  megah.  Aku  merasakan  degup  jantungku  semakin  kencang  saat  melihat  para  siswa-siswi  lain  yang  juga  sedang  menuju  ke  dalam  akademi.  Mereka  berjalan  dengan  percaya  diri,  mengenakan  seragam  yang  sama  dengan  kami,  namun  dengan  variasi  warna  dan  lencana  yang  menunjukkan  fakultas  atau  jurusan  mereka.

Di  antara  kerumunan  itu,  aku  melihat  seorang  gadis  dengan  rambut  perak  panjang  yang  dikepang  rapi.  Ia  berjalan  dengan  anggun,  diikuti  oleh  dua  orang  pria  yang  tampak  seperti  pengawal  pribadinya.

"Itu  Astrid  Vance,"  bisik  Arthur,  mengikuti  arah  pandanganku.  "Keluarganya  adalah  keturunan  Astral  Knight  yang  terkenal.  Katanya,  semua  anggota  keluarganya  memiliki  peringkat  tinggi."

Aku  mengangguk  kagum.  Tak  heran  ia  terlihat  begitu  percaya  diri  dan  berwibawa.

Tiba-tiba,  sebuah  kereta  mewah  berhenti  di  depan  gerbang.  Seorang  pemuda  dengan  rambut  pirang  dan  mata  biru  yang  tajam  melangkah  keluar  dari  kereta  itu,  diikuti  oleh  beberapa  pelayan  yang  membawa  barang-barangnya.

"Dan  itu  Zephyr  Vaughn,"  Arthur  berkata  dengan  nada  sedikit  sinis.  "Salah  satu  bangsawan  di  Nexus.  Agak  aneh  sebenarnya  dia  memilih  untuk  menjadi  Astral  Knight.  Kebanyakan  bangsawan  lebih  suka  terlibat  di  pemerintahan."

"Kenapa  begitu?"  tanyaku  penasaran.

"Yah,  para  bangsawan  itu  biasanya  keturunan  dari  pahlawan-pahlawan  yang  berjasa  besar  pada  saat  The  Great  Fall,  peristiwa  di  mana  Nexus  hampir  dihancurkan  oleh  Apollyon,"  jelas  Arthur.  "Mereka  mewarisi  gelar  dan  kekuasaan  dari  nenek  moyang  mereka,  dan  biasanya  fokus  untuk  mengelola  wilayah  kekuasaan  mereka."

"The  Great  Fall?"  Aku  mengerutkan  kening.  "Apa  itu?"

Lisa  tersenyum,  "Jangan  khawatir,  George.  Nanti  kau  akan  mempelajari  sejarah  Nexus  di  kelas  khusus  untuk  para  Terran."

Saat  kami  mendekati  gerbang,  seorang  gadis  dengan  rambut  merah  menyala  dan  mata  hijau  tajam  menghampiri  Lisa.  Ia  mengenakan  seragam  yang  sama  dengan  Lisa,  namun  dengan  ekspresi  dingin  dan  angkuh.

"Lisa,"  sapanya  dengan  nada  sinis.  "Sepertinya  kau  masih  gigih  untuk  masuk  ke  akademi  ini,  ya?  Bahkan  bisa  lulus  ujian  seleksi  sekalipun."

Lisa  hanya  tersenyum  ramah,  tidak  terpengaruh  oleh  sindiran  gadis  itu.  "Tentu  saja,  Lily.  Aku  ingin  menjadi  Astral  Knight  seperti  ayahku."

Aku  memperhatikan  kedua  gadis  itu  dengan  seksama.  Mereka  sangat  mirip,  hampir  seperti  pinang  dibelah  dua.  Hanya  saja,  Lily  memiliki  aura  yang  lebih  dingin  dan  tajam.

"Sebaiknya  kau  tidak  terlalu  dekat  dengan  Terran  itu,  Lisa,"  Lily  menatapku  dengan  sinis.  "Nanti  kau  ikut-ikutan  menjadi  pusat  perhatian."

Tanpa  menunggu  jawaban,  Lily  berbalik  dan  pergi  dengan  angkuh.

Arthur  tertawa  kecil,  "Sepertinya  aku  diabaikan  sama  sekali  oleh  Lily.  Padahal  kami  juga  saling  kenal."  Ia  menepuk  pundakku,  "Jangan  terlalu  dipikirkan,  George.  Lily  memang  sedikit...  unik."

"Apa  para  Terran  dibenci  di  sini?"  tanyaku  khawatir.

"Bukan  dibenci,  sih,"  jawab  Arthur.  "Hanya  saja,  beberapa  penduduk  Nexus  melihat  para  Terran  dengan  cara  yang  berbeda.  Mungkin  karena  kami  berasal  dari  dunia  yang  berbeda,  dan  kebanyakan  Terran  tidak  memiliki  kekuatan  magis."

Ia  tersenyum,  "Tapi  jangan  khawatir,  George.  Kau  bukan  satu-satunya  Terran  di  Athena.  Dan  aku  yakin  kau  akan  menemukan  teman-teman  yang  menerimamu  apa  adanya."

"Lagipula,"  Arthur  menambahkan  dengan  nada  bercanda,  "bukan  hanya  kau  yang  menjadi  pusat  perhatian  di  sini.  Aku  dan  Lisa  juga  punya  'reputasi'  yang  cukup  menarik  di  akademi  ini."

Lisa  tertawa  kecil,  "Arthur,  jangan  menakut-nakuti  George."

Kami  pun  sampai  di  gerbang  akademi.  Para  penjaga  memeriksa  gelang  Athena  kami  dan  membiarkan  kami  masuk.  Aku  menarik  napas  dalam-dalam,  siap  menghadapi  petualangan  baru  di  dunia  yang  penuh  keajaiban  ini.