Chereads / Shadow of the Dragons / Chapter 2 - Bayangan Masa Lalu (George)

Chapter 2 - Bayangan Masa Lalu (George)

Kobaran api menari-nari dengan ganas, menjilati dinding kayu rumah kami. Asap tebal mengepul, namun bukan kepanikan yang kulihat di wajah orang tuaku, melainkan tekad yang membara.

Aku, George kecil yang saat itu baru berusia enam tahun, mengamati sekeliling dengan rasa ingin tahu yang bercampur sedikit takut. Ibu, Luna, dengan rambut hitam legam dan mata sebiru langit malam, memelukku erat, namun raut wajahnya tenang. Ayah, David, seorang pria tegap dengan rambut cokelat dan mata setajam elang, berdiri di depan kami, aura kekuatan terpancar dari seluruh tubuhnya.

"Luna, bawa George ke ruang rahasia," ucap Ayah dengan suara tenang dan tegas, "Aku akan menangani ini."

Luna mengangguk, menuntunku dengan langkah cepat menuju sebuah pintu tersembunyi di balik rak buku. Ruang rahasia itu kecil dan gelap, namun terasa aman dalam pelukan Ibu.

"Ayah akan baik-baik saja, kan Bu?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.

Luna tersenyum, mengelus rambutku dengan lembut. "Tentu saja, sayang. Ayahmu sangat kuat."

Dari balik pintu, gemuruh dan derak semakin kencang. Aku mendengar Ayah merapalkan mantra, suaranya berwibawa dan penuh kekuatan.

"Aegis Barrier!"

Sebuah ledakan energi terdengar, disusul dengan hening sejenak. Rasa penasaran menggelitikku. Aku ingin tahu apa yang terjadi di luar. Dengan perlahan, kubuka sedikit pintu rahasia itu.

Pemandangan di depanku sungguh menakjubkan. Sebuah kubah energi berwarna emas keperakan, sekuat baja, melindungi seluruh bagian rumah dari amukan api. Ayah berdiri dengan gagah di tengah ruangan, tangannya terulur, mengendalikan perisai itu dengan fokus.

"Luar biasa..." gumamku, kagum.

Tiba-tiba, atap rumah runtuh, terbakar dan menimpa perisai Ayah. Kubah itu bergetar hebat, retak di beberapa bagian. Ayah mengerang, keringat bercucuran di wajahnya.

"Luna, gunakan sihir penguatan pada George! Kita harus keluar dari sini sekarang!" teriak Ayah.

Ibu mengangguk, tangannya bercahaya lembut saat ia merapalkan mantra. Aku merasakan energi hangat mengalir ke tubuhku, memberiku kekuatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ayah memfokuskan energi Ki-nya, dan dengan satu tendangan dahsyat, ia menghancurkan dinding di samping kami.

"Ayo!" teriak Ayah, menggendongku dan melompat keluar dari rumah yang terbakar.

Kami berlari menjauh dari kobaran api, meninggalkan rumah dan kenangan yang terbakar bersama nya. Aku menoleh ke belakang, melihat puing-puing rumah kami yang dijilat api. Air mata mengalir di pipiku, bercampur dengan keringat dan jelaga. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi aku tahu satu hal: hidupku telah berubah selamanya.

Kami terbatuk-batuk, menghirup udara segar dengan rakus. Api masih berkobar di belakang kami, namun Aegis Barrier Ayah berhasil menahannya agar tidak menyebar lebih jauh. Aku masih tercengang, mencerna semua yang baru saja terjadi. Rumah kami, tempat yang kupikir aman dan nyaman, kini terbakar habis.

Ayah menggendongku, menatapku dengan senyum bangga. "Kau lihat, George? Seperti itulah kekuatan seorang Astral Knight. Kami melindungi orang-orang yang kami sayangi."

Aku mengangguk, masih terpaku pada sisa-sisa rumah kami yang membara. Ibu mengelus kepalaku, "Kau hebat, George. Kau tetap tenang di tengah situasi seperti ini."

Aku tersipu malu. Sebenarnya, aku lebih terpesona melihat kekuatan Ayah dan Ibu daripada merasa takut. Sihir itu sungguh luar biasa.

Namun, kebanggaan dan kelegaan itu tak berlangsung lama. Suasana tiba-tiba berubah drastis. Udara mendingin, seolah semua kehangatan terhisap habis. Bulu kudukku merinding, merasakan hawa membunuh yang menyengat. Ayah dan Ibu seketika menegang, insting Astral Knight mereka merasakan bahaya yang mendekat.

Dari kejauhan, terdengar raungan yang menggelegar, membelah keheningan malam. Tanah bergetar, pohon-pohon bergoyang hebat. Seekor makhluk raksasa muncul dari balik awan gelap, sayapnya membentang lebar, menutupi bulan purnama.

Makhluk itu mendarat dengan keras di reruntuhan rumah kami, menghancurkan apa yang tersisa dari Aegis Barrier Ayah. Debu dan puing-puing beterbangan, mengaburkan pandangan. Saat debu mereda, kami terpaku menyaksikan sosok mengerikan di hadapan kami.

Seekor naga.

Sisiknya hitam legam, berkilat menyeramkan di bawah cahaya api. Matanya menyala-nyala merah darah, penuh dengan amarah dan kebencian. Cakarnya tajam dan kuat, siap mencabik-cabik apapun yang berada di dekatnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari naga ini. Tubuhnya tampak sedikit tembus pandang, seolah belum sepenuhnya terbentuk. Kekuatannya pun terasa tidak stabil, berfluktuasi dengan liar.

"Apollyon...." gumam Ayah, suaranya penuh kekhawatiran. "Tapi... bagaimana mungkin? Ia seharusnya masih tersegel..."

Ibu memelukku semakin erat, tubuhnya bergetar. "David, kita harus pergi dari sini! Ia terlalu kuat untuk kita hadapi saat ini!"

Ayah mengangguk, matanya menatap naga itu dengan waspada. "Kau benar. Ayo, Luna!"

Kami berlari menjauh dari naga itu, mencari tempat persembunyian di tengah hutan yang gelap. Raungan naga itu terus menggema di belakang kami, membuat jantungku berdebar kencang. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi aku tahu satu hal: hidupku berada dalam bahaya besar.

Lari. Itulah satu-satunya yang ada di pikiranku saat kami berlari menerobos pepohonan, cabang-cabangnya menampar wajah dan menggores kulitku. Raungan Apollyon masih terdengar menggema di belakang kami, semakin dekat, semakin mengancam.

Ayah berlari paling depan, membuka jalan di antara semak belukar. Ibu menggendongku, langkahnya tergesa-gesa namun tak kehilangan kekuatan. Aku mencengkeram erat lehernya, mencoba menahan tangis dan rasa takut yang semakin membuncah.

Namun, secepat apapun kami berlari, Apollyon jauh lebih cepat. Sayapnya yang besar mengepak dengan kuat, membawa tubuhnya yang mengerikan meluncur di udara. Dalam sekejap, ia sudah berada di hadapan kami, menghalangi jalan keluar dari hutan.

Ayah berhenti mendadak, menempatkan dirinya di antara kami dan Apollyon. Ibu menurunkan aku dengan perlahan, menatap Ayah dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"David..." bisik Ibu, suaranya bergetar.

Ayah mengangkat dagunya, menatap Apollyon dengan tatapan tajam. Sekilas, kedua makhluk itu saling menatap, seolah berkomunikasi dalam bahasa yang tak kumengerti. Namun, entah bagaimana, aku bisa mendengarnya. Suara gemuruh dan gaung yang berasal dari pikiran mereka, beradu dan beresonansi di kepalaku.

Kau tak seharusnya ada di sini, David, geram Apollyon, suaranya dalam dan menggetarkan jiwa. Kau dan naga-naga lainnya... kalian menghalangi jalan ku.

Ayah mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?"

"Untuk menjadi satu-satunya... Naga Kehancuran sejati... aku harus menyerap kekuatan kalian semua", desis Apollyon, suaranya menyiratkan amarah dan nafsu yang tak terkendali.

"Kau gila! Kau akan menghancurkan keseimbangan dunia!" bentak Ayah.

Apollyon tertawa sinis, "Keseimbangan? Akulah keseimbangan! Akulah kehancuran yang akan melahirkan kehidupan baru!"

Mata Apollyon menyala-nyala, dan ia menyerang Ayah dengan semburan api hitam. Ayah dengan sigap menghindar, tangannya berubah menjadi cakar naga yang tajam, siap menerjang. Ibu menarikku menjauh dari pertempuran, mencari tempat yang lebih aman.

Aku menyaksikan dengan takut saat Ayah dan Apollyon bertarung di udara. Ayah, dalam wujud manusianya, bergerak dengan lincah dan kuat, cakar naganya menebas dan mencakar, meninggalkan bekas luka di tubuh Apollyon. Namun, Apollyon jauh lebih besar dan kuat. Cakarnya yang tajam mencabik-cabik udara, dan semburan api hitamnya menghancurkan pepohonan di sekitarnya.

Di tengah pertempuran yang kacau itu, aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi di dalam diriku. Seolah ada kekuatan yang terbangun, merespons kehadiran Apollyon. Darahku mendidih, energi mengalir deras di sekujur tubuhku. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi aku tahu satu hal: aku terhubung dengan naga itu, dengan Apollyon.

Dan koneksi itu akan mengubah hidupku selamanya.

Raungan Apollyon menggelegar, mengguncang tanah di bawah kaki kami. Api hitam menyembur dari mulutnya, menghanguskan pepohonan dan meninggalkan jejak kehancuran di mana-mana. Ayah, dengan wujud manusia yang diperkuat sihir, melompat dan menghindar dengan lincah. Cakar-cakarnya yang tajam menebas, meninggalkan luka di tubuh Apollyon yang bersisik hitam.

Ibu tak tinggal diam. Ia merapalkan mantra, tangannya bergerak dengan anggun, menghasilkan serangkaian sihir pendukung dan penyerang.

"Arcane Enhancement! Swiftness Blessing! Dragon Strength!" serunya, meningkatkan kekuatan dan kecepatan Ayah.

"Celestial Shield! Aegis Barrier!" Dua lapis perisai energi muncul, melindungi Ayah dari serangan Apollyon.

Namun, meskipun belum sepenuhnya bangkit, kekuatan Apollyon sungguh mengerikan. Ia menebas dengan cakarnya, menghancurkan perisai Ibu dengan mudah. Ayah terpental ke belakang, menghantam sebuah pohon besar. Ia mengerang kesakitan, darah mengalir dari lukanya.

Melihat Ayah terluka, Ibu mengambil keputusan drastis. Ia memegang tanganku erat, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad.

"George," bisiknya, "Ibu sayang padamu. Ingatlah itu selalu."

Ia mencium keningku, lalu merapalkan mantra yang belum pernah kudengar sebelumnya. Ruangan di sekitarku berubah, warna dan bentuk berputar-putar membingungkan. Dalam sekejap, kami berada di tempat yang berbeda.

Sebuah ruangan putih menyilaukan, kosong dan hening. Hanya ada aku dan Ibu di sana. Waktu seolah terhenti, tak ada suara ataupun gerakan dari luar.

"Ibu, apa ini?" tanyaku, bingung dan takut.

Ibu berlutut di depanku, menatapku dengan penuh kasih sayang. "Ini adalah Sanctuary, George. Sebuah ruang di antara dimensi, di mana waktu berhenti sementara. Ibu ciptakan ini untuk melindungimu."

Air mata mengalir di pipinya, "Maafkan Ibu, sayang. Ibu dan Ayah tidak bisa menyertaimu lebih lama lagi."

Hatiku mencelos. Apa maksud Ibu? Kenapa ia berbicara seolah ini adalah perpisahan?

"Ibu, apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara bergetar.

Ibu memelukku erat, "Apollyon... ia terlalu kuat. Kami... kami tidak bisa mengalahkannya."

Ia melepaskan pelukannya, menatapku dengan senyum pilu. "George, kau adalah anak yang istimewa. Kau memiliki kekuatan yang besar, kekuatan yang bahkan Ibu dan Ayah tidak miliki. Gunakan kekuatan itu dengan bijak, sayang. Jadilah orang baik, lindungi yang lemah, dan bawa kedamaian bagi dunia."

Ia mencium keningku sekali lagi, lalu berdiri. "Waktunya hampir habis, George. Ibu harus menghentikan Sanctuary ini. Ingatlah kata-kata Ibu, ya?"

Sebelum aku sempat menjawab, ruangan putih itu mulai memudar. Aku kembali ke hutan, di mana pertempuran masih berlangsung. Ayah dan Ibu berdiri berdampingan di depanku, membentuk perisai ganda dengan jurus terkuat mereka.

"Celestial Nova!" teriak Ibu.

"Dragon's Wrath!" raung Ayah.

Cahaya keemasan dan api biru menyatu, membentuk dinding perlindungan yang kokoh di depanku. Apollyon mengaum marah, mengumpulkan seluruh kekuatannya dalam satu serangan dahsyat.

"Matilah kalian semua!"

Dengan energi dahsyat yang dikeluarkan naga itu, semua pandangan menjadi terang dan aku kehilangan kesadaran diri.