Chapter 5
"Aaacoooh," Tensura bersin keras.
"Hayo, ada yang lagi ngomongin lo tuh," canda Futaro.
"Siapa? Itu kan cuma mitos," balas Tensura sambil mengusap hidungnya.
"Hehehe. Eh, sampai mana tadi? Oh iya!" Futaro tiba-tiba berteriak, "WOIII, taruhannya belum selesai, belum ada yang menang!"
"Menang kepalamu, makanan ini keburu basi," gerutu Tensura. "Lagipula, ngapain juga kau sibuk ngurusin urusan orang?"
"Cih, kau nggak tahu kalau aku ini lagi ngumpulin informasi tentang siswa yang hilang," sahut Futaro dengan nada serius.
"Kau ini! Paling-paling mereka cuma tersesat di hutan dan belum nemu jalan pulang. Sudahlah, nanti juga ketemu polisi," kata Tensura menenangkan.
"Tidak, Tensu. Mereka nggak tersesat. Aku tahu itu," jawab Futaro dengan senyum liciknya.
"Yah, terserah deh," gumam Tensura, menyerah dengan pembicaraan itu.
Mereka akhirnya melangkah kembali ke kelas. Sesampainya di sana, Kato langsung protes begitu melihat mereka.
"Lama banget! Ada apa tadi di kantin, banteng lepas, ya?" sindir Kato.
"Enggak sih, cuma bocah atheis ini malah main taruhan di kantin," jawab Tensura, menuding ke arah Futaro.
"Hei, itu bukan taruhan, tapi demokrasi dengan gaya," balas Futaro dengan santai.
"Hehh, ya udah, mana titipanku?" tanya Kato, mengabaikan debat kecil di antara mereka.
"Ini," Tensura menyodorkan barang yang diminta Kato.
Sementara itu, di tempat lain, terdengar suara langkah kaki di lorong yang gelap dan sunyi. Langkah itu berhenti di depan sebuah pintu dengan tulisan "Kepala Sekolah." Terdengar ketukan halus.
"Tok, tok, tok. Hmm, masuklah," sahut suara dari dalam ruangan.
Pintu berderit terbuka, dan seorang wanita berumur sekitar tiga puluh tahunan melangkah masuk.
"Tuan Zatzu Hantaro?" sapanya dengan sopan.
"Terima kasih telah datang dan menerima undangan saya," jawab pria yang duduk di meja itu, tersenyum ramah.
"Sama-sama, ini memang sudah bagian dari pekerjaan saya," balas wanita itu, lalu duduk di hadapan Zatzu. "Jadi, apa yang terjadi sampai Anda memanggil saya?"
"Sepertinya Anda juga sudah mendengar rumor yang beredar di kalangan siswa dan warga sekitar," jawab Zatzu dengan nada serius. "Beberapa siswa menghilang sepulang sekolah tanpa jejak. Karena itulah saya ingin Anda menyelidiki kasus ini. Jika memungkinkan, tangkap pelakunya."
"Oh, ya. Saya sempat mendengar rumor itu juga ketika baru tiba di daerah ini—tentang anak-anak yang menghilang, kan?" jawab wanita itu sambil tersenyum. "Sepertinya saya perlu mencari informasi dari para murid dan mungkin juga harus menyamar."
Zatzu mengangguk, dan wanita itu berdiri sambil membungkuk sopan. "Kalau begitu, sampai jumpa, Kepala Sekolah," ucapnya sebelum melangkah pergi, menghilang dalam kegelapan lorong.