Chapter 4 - Bab 3

Bab 3: Reuni

*****

"Cih, bagaimana bisa pelayan yang menyajikan makan untuk memiliki wajah yang menjijikan seperti ini? Apakah restoran ini tidak tahu hanya dengan melihat wajahmu saja sudah membuatku kehilangan selera makan!!!"

Bukan Pertama kalinya mendapatkan sebuah penghinaan seperti ini.

Setelah lulus dari SMA, Aku berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa agar bisa masuk ke Universitas. Aku berharap tidaknya setelah aku bisa kuliah, kehidupanku akan lekas membaik.

Memang benar, Setelah perjuangan untuk belajar keras akhirnya aku diterima di salah satu universitas bagus dan mendapatkan beasiswa. Namun kadang semua hal tidak terjadi sesuai keinginanku.

Harapan, agar aku bisa melanjutkan kuliah segerakan kandas, itu adalah ketika aku melihat Mama yang tiba-tiba sakit keras karena terlalu banyak bekerja. Adikku bahkan masih kecil dan sebentar lagi akan memasuki usia sekolah.

Hutang yang menumpuk, dan para penagih hutang yang memperlakukan kami semena-mena, membuat aku akhirnya memilih untuk bekerja membantu keluarga dari pada berkuliah. Sejujurnya itu adalah keputusan paling berat dalam hidupku.

Namun keadaan yang memaksaku untuk memilih itu, dan akhirnya aku berencana menunda kuliahku.

Pekerjaan pertama yang aku lakukan hanyalah sebagai seorang penjaga toko serba ada, itupun cukup susah mencari pekerjaan terutama karena luka di wajahku. Sangat beruntung saat itu, aku bisa mendapatkan pekerjaan itu.

Namun, hari-hari menjadi seorang pelayan tidaklah mudah. Terutama ketika harus menghadapi pelanggan yang merasa jijik ketika melihat wajahku. Namun seiringnya waktu berlalu aku mulai terbiasa dengan hinaan yang berasal dari orang-orang.

Dan, aku juga mulia beradaptasi hingga bisa memiliki beberapa pekerjaan lainnya, seperti bekerja di restoran.

"Maaf, Tuan Pelanggan jika salah satu pelayan kami merusak mood anda, kami benar-benar minta maaf."

Sang Manager yang kebetulan melihat ada keributan di restorannya segera keluar dan meminta maaf, sambil menatap marah ke arahku.

"Cih, benar-benar membuat aku tidak selera makan."

"Benar, sayang. Wajah pelayan itu membuatku takut, mari kita pindah tempat saja."

Dengan kepergian dua perangkat itu jelas saja manajer restoran segera menarik belakang dan mulai menamparku.

Rasa tamparan yang aku terima cukup menyakitkan.

"Berapa kali aku bilang kamu itu jangan keluar! Tugasmu itu hanya mencuci piring!!"

Benar, sesuai kata manager itu, tugasku di restoran ini hanya bagian cuci piring. Alasan kenapa tadi aku melayani keluar karena saat ini restoran sedang sangat sibuk dan kekurangan tenaga, belum lagi karena merasa tidak enak karena salah satu temanku meminta tolong menggantikannya sebentar.

Karena sebentar, setidaknya aku merasa akan baik-baik saja dan manajer tidak akan tahu. Dan lagi, aku masih bisa menyembunyikan luka yang ada di sebagian wajahku dengan rambutku. Mana tahu, salah satu pelanggan malah menabrak ku dan membuat wajahku yang terluka menjadi terlihat.

"Maaf, Pak hanya saja tadi Restoran sangat sibuk jadi...."

"Ashhh, diam kamu!!! Seharusnya kamu itu sudah bersyukur diterima kerja di sini namun apa yang kamu lakukan? Malah membuat masalah padaku!!"

"Ma... Maaf Pak..."

"Gajimu akan di potong bulan ini."

"Tidak! Jangan begitu Pak, saya hanya ingin membantu..."

"Cukup tidak ada alasan untukmu!!"

Tentu saja, kejadian ini menarik perhatian para pekerja di dapur, dan salah satunya seseorang yang tadi minta tolong padaku. Dia sangat memohon-mohon untuk minta tolong tadi, dan bilang jika terjadi sesuatu dia akan bertanggung jawab.

Namun sekarang ketika terjadi sesuatu, aku bisa melihatnya mengalihkan tatapannya dariku berusaha menghindar.

Perasaan sakit karena di khianati kembali memasuki.

Ku kira, dia akan menjadi teman yang baik karena selalu ramah padaku selama ini, tapi ternyata dia sama saja, dan hanya ingin memanfaatkan ku.

"Sekarang segera selesai pekerjaanmu secepatnya!! Jangan sampai ada pelanggan yang komplain lagi karena kamu yang tidak becus!"

"Baik, Pak."

Yang bisa aku lakukan hanyalah menurut, karena aku masih butuh uang dan dengan keadaanku sekarang, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Malam itu, aku bahkan pulang lebih malam dari biasanya.

Namun, ketika aku tiba di rumah kontrakan, yang aku lihat adalah Mama yang saat ini tengah jatuh pingsan. Dan adikku yang menangis ketakutan di sampingnya.

"Hazel? Mama kenapa?"

"Kakak... Aku tidak tahu, ketika sampai di Rumah Mama tiba-tiba pingsan, bagaimana ini Kak...."

Aku jelas melihat ekspresi pagi yang ada pada adikku. Sepertinya malam ini, Mama kerja lembur lagi.

"Kamu tenang, Kakak akan coba membawa Mama ke Rumah Sakit...."

Walaupun aku bilang seperti itu sambil memeluk adikku mencoba menenangkannya, aku tetap merasa sangat tidak tenang. Mamaku sudah bekerja terlalu keras, di Perusahaan yang di rekomendasikan oleh Para Penagih Hutang karena tidak memiliki pilihan lain, bahkan sampai kami pindah ke luar kota.

Juga hampir seluruh gajinya digunakan untuk membayar tagihan utang. Hanya memikirkannya, aku merasa tidak tahan.

Sangat beruntung, di tempat kami yang baru memiliki tetangga yang sangat baik yang mau membantu kami.

"Terimakasih banyak, Kak Arion telah membantu Keluargaku lagi."

"Tidak apa-apa. Maaf juga, jika mobilnya sedikit tidak nyaman."

Aku melihat ekspresi wajah Kak Arion yang terlihat sedikit tidak nyaman. Mungkin itu karena mobil miliknya hanya sebuah mobil pick up, jadi hanya bisa memberikan tumpangan pada kami di belakang mobil. Namun, untukku itu juga sebuah bantuan besar, karena jika harus membayar taksi atau ambulan, biayanya bisa cukup besar.

Bahkan, ketika keadaan krisis seperti ini yang ada di pikiranku masihlah hanya menghemat uang.

"Sungguh, itu bukan masalah. Aku pasti akan membalas Kakak nanti, aku benar-benar berterima kasih."

"Astaga, Liliana, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Sekarang kamu fokus saja pada keadaan Mamamu."

Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku kembali ke ruang tunggu, untuk menunggu hasil pemeriksaan dokter pada Mamaku.

"Bagaimana Dokter keadaan Mamaku?"

"Dia hanya kelelahan. Namun jika seperti ini terus, ini tidak baik untuk kesehatannya, ada gejala penyakit maag juga yang, Ibu anda miliki. Beliau harus bisa menjaga pola makannya."

Mendengar penjelasan Dokter aku hanya bisa, merasa sangat sedih. Aku tahu, Mama sudah bekerja cukup keras di perusahaan itu, karena tuntutan perusahaan yang cukup banyak. Tidak mengherankan karena itu perusahaan yang di pilih oleh para penagih hutang.

Bayarannya memang cukup besar namun pekerjaannya cukup menguras tenaga. Aku benar-benar tidak tahan melihat Mama bekerja terlalu keras. Jadi, setelah berpikir sejenak, aku akhirnya mengambil keputusan, agar bisa menggantikan Mamaku.

"Liliana, kamu tidak perlu melakukan itu. Mama tahu, kamu sudah bekerja sangat keras sampai sekarang, Mama masih sanggup kok."

"Bagaimana bisa Mama bilang begitu sampai pingsan begini? Setidaknya, Mama jangan sampai kerja lembur!!"

"Sungguh, tidak apa-apa Liliana."

Melihat Mamaku, mencoba memaksakan senyumannya ada rasa sakit yang memasuki hatiku. Melihat Mama yang selalu tegar menghadapi semua ini.

Namun, aku sudah memutuskannya dan bahkan walaupun Mama tidak setuju, aku tetap menghubungi para penagih hutang. Dan aku tidak mengira bahwa negosiasinya berjalan dengan baik.

"Kamu harus bekerja di siang hari sampai sore sebagai Office Girl, dan di sore sampai malam, kamu bisa menggantikan posisi Ibumu untuk kerja lembur di bagian produksi."

Itu adalah tawaran pekerjaan baru, yang membuatku harus kerja lebih banyak mulai sekarang. Namun pada dasarnya, itu bukan masalah besar, toh aku sudah terbiasa kerja dari pagi sampai larut malam di dua tempat, jadi hanya seperti ini harusnya tidak masalah.

Itulah awalnya yang aku pikirkan, sampai hari ketika aku bertemu dengan dia.

Dia, yang paling tidak ingin aku temui.

Andrian Alvino Bagaskara

Pria yang dulu pernah aku bully ketika di SMA karena pernah menyatakan perasaannya padaku. Orang yang paling tidak ingin aku temui ketika aku dalam keadaan dan posisiku yang paling buruk seperti ini.

Dan yang lebih mengejutkan adalah dia yang ternyata adalah salah satu Bos di Perusahaan baru tempat aku bekerja. Disaat aku mengantarkan minuman ke meja Wakil CEO Perusahaan, itukah saat dimana aku bertemu dengannya.

Aku saat ini, berdiri mematung ketika melihat dia sedang duduk dan fokus dengan pekerjaannya yang ada di meja.

Aku yakin tidak salah mengenalinya, dia adalah Andrian.

"Kenapa kamu diam saja? Bukankah kamu akan mengantarkan kopi? Segera letakkan di meja dan pergi, aku tidak suka ada orang di ruanganku, apakah atasanny tidak memberitahumu?"

Tentu saja aku tahu, aku sudah diperingatkan sebelumnya untuk hanya segera mengantarkan kopi dan segera pergi dari ruangan karena bos disana sangat galak.

Namun, aku tidak pernah mengira jika itu Andrian.

"Hey! Apa kamu tidak dengar hah?"

Suara dinginnya kembali membuatku tersadar dari lamunanku. Aku jelas tidak berani menatap ke arahnya dan hanya bisa menunduk. Aku sangat cemas, dan mulai menggunakan rambutku untuk menutupi sebagian wajahku, mungkin saja dia tidak akan mengenaliku.

"Ma... Maaf... Pak..."

Aku dengan gugup menunduk, dan membawa nampan berisi kopi itu, ingin segera meletakkan cangkir kopi itu kemejanya sehingga aku bisa segera pergi dari sini.

Namun, mana tahu mungkin karena aku sangat gugup, tanganku jadi gemetaran hingga cangkir yang harusnya ku letakkan di meja itu menjadi goyah, dan tumpan mengenai dokumen yang ada di meja.

Ahhhh....

Bagaimana ini....

"Kamu!! Apa yang kamu lakukan sebenarnya!!"

"Ma... Maaf... Pak..."

Aku bisa mendengar dia sepertinya kehabisan kesabaran. Aku buru-buru mengambil lap yang ada di bajuku, mencoba ingin membereskan kekacauan yang aku buat. Mana tahu, itu malah membuat kekacauan menjadi semakin besar dan dokumen yang ada di meja semakin banyak terkena tumpahan air kopi.

"Aww...."

Mungkin karena saking marahnya dia sekarang mulai menarik tanganku.

Dan disanalah akhirnya tatapan kami bertemu.

Aku sekarang bisa melihat ekspresi wajahnya yang sangat jelas, antara kemarahan dan keterkejutan.

Tidak!

Aku tidak ingin dia melihat bekas luka di wajahku.

Namun sebelum aku bisa menutupi wajahku lagi, tangannya sudah menyingkirkan rambutku dari wajahku, dan sekarang wajahku terlihat jelas di matanya.

"Liliana?"

Bersambung