Chereads / Untie Me / Chapter 2 - BAB 2 Yang Terindah di Sana

Chapter 2 - BAB 2 Yang Terindah di Sana

Setelah tiba di villa milik Lemminas yang terletak tidak jauh dari posisi awal mereka, para bangsawan kekaisaran, termasuk Allan dan Devon, tampak kagum dengan arsitektur villa tersebut.

Villa Lemminas dibangun di dalam sebuah pohon besar, Redwood, yang merupakan lambang keluarga ini. Terletak di wilayah Ernest, villa ini terletak cukup dekat dengan wilayah Frostia.

Setelah puas menjelajahi villa, beberapa di antara mereka memutuskan untuk tidur karena kelelahan, sementara yang lainnya memilih untuk mandi.

Hanya Callice yang tampak tidak melakukan apa-apa, duduk di teras villa dan menatap bintang hingga larut malam. Ia selalu menganalogikan bintang dengan mendiang ibunya, wanita yang bahkan tidak pernah ia lihat wajahnya sejak lahir. Banyak pertanyaan yang ingin Callice ajukan kepadanya.

Lean membuka pintu kamar, matanya menjelajah ke seluruh sudut ruangan. Tak menemukan apa yang dicari, pemuda itu mulai menerka-nerka di mana teman sekamarnya berada. Ia lalu menatap ke luar jendela. Banyak sekali bintang di langit, dan ia menyadari sesuatu sebelum melangkahkan kakinya keluar kamar.

"Ah, itu dia," batinnya.

"Kau tidak mandi, Callice? Aku kebagian tidur sekamar denganmu. Dan seperti yang kau tahu, aku tidak menyukai orang bau," ujar Leander sambil menggosokkan handuk di kepalanya. Namun, Callice hanya diam tak menyahut. Leander terdiam sejenak.

"Masuklah ke kamar, aku tahu apa yang harus kulakukan," sambungnya. Callice tersenyum dan mengikuti Leander ke kamar mereka.

Sambil mencari sesuatu di tas miliknya, Leander bergumam pelan, "Untunglah hari ini aku benar-benar mempersiapkan barang-barangku dengan baik."

Callice terkekeh, "Aku mendengarmu, dasar kau ini. Pundakmu bisa sakit kalau selalu membawa tas berat seperti itu." Leander hanya melirik sinis.

"Lean, Callice, apa kalian sudah tidur? Allan memonopoli seluruh ranjang, jadi aku memutuskan untuk tidur di sini saja. Bolehkan?" Suara Devon terdengar sambil mengetuk pintu.

"Kalau tidak ada jawaban, aku langsung masuk saja, ya?" sambungnya. Begitu membuka pintu kamar, Devon menelan ludah. Pemandangan di depannya membuatnya murka. Ia mengepalkan tangan dan mengarahkannya ke dinding kamar.

"Kau berisik sekali, Dev, orang-orang bisa terganggu," jawab Callice santai.

Setelah itu, tak ada percakapan di antara ketiganya. Devon langsung membaringkan tubuhnya di kasur, diikuti oleh Leander dan Callice. Ketiganya adalah sahabat baik sejak kecil, terlepas dari perbedaan status social mereka tetap menjalin hubungan baik.

Keesokan harinya...

"Callice, bangun!! Ada hal penting." Teriak Devon, memutuskan untuk melupakan kejadian semalam karena Callice tidak suka jika permasalahannya membuat teman-temannya kepikiran. Namun, yang diteriaki malah merintih sambil berguling-guling di ranjang.

"Oh, jadi sepertinya surat dari Vivanna sebaiknya aku bakar saja," ujarnya sambil mengeluarkan secuil cairan lava dari tangannya.

Callice langsung terbangun dan buru-buru meraih amplop di tangan Devon.

"Kau mendapat ini dari mana?" tanyanya sambil membuka amplopnya dengan cepat.

"Ck, sepertinya seluruh hidupmu hanya milik Vivanna saja. Merpati miliknya yang menghantarkannya," cibir Devon.

Callice menggeleng untuk pernyataan pertama dan mengangguk kecil untuk yang kedua.

Untuk

Callice Elmer Lemminas

Apakah tidurmu nyenyak?

Maaf tidak bisa mengantarmu pergi tadi.

Kudengar misimu sulit, ya? Maka dari itu berhati-hatilah.

Eh, seharusnya aku tidak mengatakan itu padamu. Justru orang-orang jahatlah yang harus berhati-hati jika bertemu denganmu.

Tapi apapun itu, aku berharap kau pulang dengan selamat, tak kurang satu pun.

Sampaikan juga salamku untuk Devon dan Lean, ya?!

Dari sahabatmu,

Vivanna Reins Berberis

Setelah membaca sepenggal surat itu, air muka Callice langsung berubah. Seolah mendapatkan kekuatan dari mana, ia langsung bersemangat.

"Apa isi suratnya? Apa Vivanna menyebutku?" tanya Devon.

Callice menggeleng untuk kedua pertanyaan itu. Surat ini adalah miliknya. Melihat itu, Devon hanya mendecih pelan.

"Pergilah duluan, sana. Aku mau menulis surat balasan dulu," usir Callice.

Devon melipat tangannya di dada sambil kembali mendecih, tetapi tetap mengikuti perintah sahabatnya.

Untuk Vivanna Reins Berberis

Kau tak perlu mengkhawatirkan diriku karena tidurku sangat nyenyak tadi malam. Bahkan jika bukan karena suratmu, mungkin aku belum bangun saat ini.

Aku berjanji akan pulang dengan selamat. Setelah kembali ke Ibukota, aku akan langsung menemuimu di Regia. Jangan terlambat! Kau harus tiba di jam biasa pertemuan kita.

Sampai bertemu lagi.

Oh ya, jangan bertanya tentang mereka berdua jika kau menulis surat untukku. Fokus bertanya tentang diriku saja, ya!

Dari sahabatmu,

Callice Elmer Lemminas

*********

"Ada apa dengan wajahmu itu, Allan? Kau terlihat mengerikan dengan kantung mata itu," tanya Devon yang baru tiba di ruang tengah.

Anak berusia empat belas tahun itu langsung berlari dan memeluk erat kakaknya sambil menangis. Suaranya sangat nyaring. Sambil sesekali terisak, Allan mencoba menjelaskan apa yang terjadi.

"Tadi malam aku mendengar suara dinding dipukul dengan keras. Aku berusaha memelukmu karena ketakutan, tetapi kau tak ada di kamar. Aku keluar, dan tak menemukan siapa pun. Seluruh villa tampak gelap, aku ketakutan. Aku ingin berteriak memanggilmu, tapi takut orang-orang akan terganggu. Kau kemana saja, huh?" Sementara itu, yang ditanya hanya merotasi matanya ke arah lain.

"Tenang saja, Allan. Jangan berpikir ada hantu di sini. Suara tadi malam berasal dari kamar Lean dan Callice. Aku datang ke sana untuk bermain kartu, dan suara itu hanya 'gerakan refleksku' saat kalah. Iyakan, Lean?" tanyanya sambil menyenggol pundak Leander. Lean mengangguk setuju. Terpaksa.

"Baiklah. Jika kesalahpahaman ini telah selesai, mari kita mulai rapat terkait misi kali ini. Omong-omong, di mana Callice?" tanya Larry kepada Lean dan Devon.

"Dia ada urusan sebentar, mohon tunggu saja sebentar lagi, Yang Mulia. Dia pasti segera tiba," jawab Devon santai.

"Mohon maaf atas tingkah Kakak tertua kami, Yang Mulia. Dia selalu terlambat," ujar Verys sopan, diikuti anggukan dari Linn.

"Tak perlu meminta maaf. Dia juga kakakku, jadi aku cukup mengenalnya. Justru aku sangat berterima kasih karena kalian sabar menghadapinya."

"Sepertinya kalian sedang asyik bercerita, ya? Kenapa tidak mengajakku? Kalian bercerita tentang apa?" tanya Callice yang tiba-tiba sudah berada di sana. Sementara yang lain hanya menghembuskan napas pasrah mendengar pertanyaan itu.

"Hei, apakah suara kalian telah habis karena kebanyakan mengobrol? Apa susahnya menjawab pertanyaanku?" Tapi, bukannya menjawab, seisi ruangan malah kembali menghembuskan napas. Callice kesal.

Rapat kemudian dibuka oleh Lary yang menunjukkan rekaman sihir yang didapatnya dari penyihir mata-mata.

"Seperti yang kalian lihat di rekaman ini, ada banyak penyihir tingkat atas dari pihak musuh. Aku tak tahu berapa banyak penyihir potensial yang telah membelot. Tapi jelas, ini terlalu keterlaluan hanya untuk menyandera masyarakat lemah," Larry membuka obrolan.

"Mungkin mereka memiliki rencana tersendiri. Bukan hal yang aneh jika mereka sudah mendapatkan informasi tentang nama-nama penyihir yang akan bergerak, bukan?" sahut Devon.

"Lalu, apa hubungannya dengan jumlah penyihirnya? Tetap saja itu berlebihan," tanya Noah penasaran. Orang-orang dari Arcaria langsung melirik ke arah Callice, yang malah menunjukkan ekspresi menyebalkan.

Hanya dengan satu lirikan mata, Noah dan lainnya langsung paham apa yang dimaksud Devon. Ternyata, informasi yang mereka dengar selama ini bukanlah hoaks atau informasi yang dibesar-besarkan.

Larry menatap kakak sepupunya itu penuh arti, seolah ada sesuatu yang ingin diungkapkan tapi tidak bisa diucapkannya. "Maaf, Callice." Kalimat singkat itu tak sengaja keluar dari mulutnya, sukses membuat orang-orang di sana menatap penasaran.

"Ah, maaf. Aku hanya meminta maaf karena telah membuatnya kesal hari ini. Jika dia terus kesal hingga kita melakukan misi, mungkin itu bisa menggagalkan misi, bukan?" sambung Larry sedikit gugup.

Callice melirik sekilas ke arah Larry, namun segera membuang muka saat yang lain melihat ke arahnya.