"Wah, tadi itu misi yang menyenangkan, bukan? Sudah lama aku tidak bertarung hingga berdarah-darah begitu," ujar Terra kelewat bersemangat.
"Itu benar, Terra. Misi kali ini memang berbeda. Semua musuh tadi adalah orang yang kuat dan terlatih. Benar-benar cocok untuk pemanasan. Tapi, yah kalian pasti tahu kalau aku tak mungkin terluka hanya karena melawa musuh seperti mereka." Jawab Callice sambil menyombongkan diri yang membuat Verys menatap sinis.
Sementara yang lain hanya mengikuti saja arah percakapan mereka berdua. Dalam hal seperti ini, Callice dan Terra memang selalu sefrekuensi.
"Selanjutnya kita harus apa? Lazanus sekarang sudah terang-terangan menunjukkan taringnya. Aku tak bisa mengatakan dengan pasti bahwa peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi," cemas Noah.
"Itu memang benar. Meskipun para ksatria kita telah menghancurkan beberapa markas mereka, tetapi kita masih belum mengetahui jumlah sebenarnya dari markasnya dan ada berapa banyak anak buah yang dimiliki iblis itu," sambung Verys.
Suasana yang tadinya ceria kini berubah seratus delapan puluh derajat. Wajah orang-orang yang ada di sana tampak tegang.
"Tetapi ada satu hal yang membuatku penasaran. Kalian semua tahu bukan bahwa markas milik Lazanus dapat menghilang?"
Ya, di Frostia hal seperti itu sudah menjadi rahasia umum. Lalu apa yang membuatmu penasaran, Tuan Linn?" Tanya Theo.
"Biasanya kita akan mengetahui letak markas mereka menggunakan kemampuan dari penyihir tipe sensorik. Dan itupun butuh waktu yang tak sebentar untuk benar-benar memastikannya. Lalu mengapa kali ini mereka seakan sengaja menunjukkan diri? Di tambah lagi markas mereka terletak diantara negara kita. Apa Lazanus memang berniat menumbalkan anak buahnya?" jawab Linn yang sukses membuat suasana menjadi tegang.
"Itu memang merupakan hal yang patut dipertanyakan. Tapi, bisakah untuk kali ini saja kita melupakan sejenak ketegangan itu? Kita telah berhasil mengalahkan musuh yang kuat, jadi kita perlu bersenang-senang setidaknya untuk malam ini, bukan?" Callice memecah ketegangan diantara mereka semua.
Ya, aku setuju. Lazanus memang mengerikan dan tak bisa ditebak. Tetapi, apakah kita perlu menghancurkan masa kini hanya untuk mempertanyakan hal-hal yang diluar penalaran kita? Jika iblis itu memang mempunyai rencana mengerikan, maka di situlah kita sebagai ksatria sihir harus bersiap mempertaruhkan nyawa," sambung Terra.
Semua yang ada di sana setuju dengan apa yang disampaikan oleh Callice dan Terra. Tak disangka bahwa kedua orang ini bisa bijak juga.
"Omong-omong, Tuan Devon, tadi itu kau sangat keren. Walaupun terluka parah kau tetap bertarung sekuat tenaga dan dapat memperoleh kemenangan," ujar Theo yang kini berusaha melupakan obrolan mereka tadi.
Sementara yang dimaksud menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jarang-jarang Devon mendapat pujian. Hal itu karena setiap menjalankan misi, Devon tak pernah dianggap ada oleh rekan se-timnya. Dengan kata lain dirinya dianggap tidak terlalu penting. Wajar saja, karena penyihir Kerajaan biasanya didominasi oleh Bangsawan ataupun rakyat biasa yang mempunyai koneksi. Sedangkan Devon bukan merupakan keduanya. Dirinya bisa mengikuti misi kali ini pun berkat bantuan Callice.
"Pesta perayaannya akan dilaksanakan tiga hari lagi, bukan?" tanya Larry kepada Euphemia. Yang ditanya lalu mengangguk.
"Itu berarti kita mempunyai waktu berlibur. Kalau begitu maukah kau menyambut kami di rumahmu, Devon?" Tanya Larry.
Devon dan Allan kemudian saling bertatapan.
"Itu tidak mungkin, Yang Mulia. Kami bukanlah dari keluarga Bangsawan ataupun orang berada. Rumah kami sempit dan tidak ada apapun yang bisa kami tunjukkan kepada Bangsawan tinggi seperti kalian," jawabnya.
"Apakah itu penting, Devon? Bukankah kita adalah teman? Kami tidak perlu dijamu dengan hal-hal mahal. Seorang ksatria tidak membutuhkan itu," balas Terra yang membuat Devon menundukkan kepala.
"Terra benar. Kami hanya ingin berkenalan dengan orang tua yang telah merawat kalian sampai sehebat ini." Noah menyambung sambil tersenyum.
Kalau sudah begini, justru tidak sopan kalau Devon bersikeras menolaknya. Akhirnya dia mengangguk setuju dan dibalas senyuman dari teman-temannya.
***
Keesokan harinya, Villa menjadi semakin ramai dengan kedatangan para prajurit Lemminas dan prajurit Kerajaan. Mereka datang untuk menjemput tuannya serta utusan dari Frostia. Allan, Devon, dan Leander pun kini berkesempatan menaiki kereta kuda yang disiapkan oleh kerajaan.
Callice sempat menolak pulang saat mengetahui bahwa kakeknya ingin bertemu dengannya. Hal ini membuat Larry dan teman-temannya kebingungan. Untunglah Verys segera mencari alasan agar mereka tidak curiga. Akhirnya, demi nama baik keluarganya, Callice bersedia untuk ikut pulang.
***
Ibukota kini terlihat sibuk. Ornamen-ornamen di gantung dimana-mana. Kota tampak lebih bersih dan rapi dari biasanya. Semua ini dilakukan untuk menyambut utusan dari Frostia setelah dua wilayah ini mengalami perang dingin selama ratusan tahun. Callice yang melihat itu dari kereta kuda langsung berpura-pura tertarik. Dia memperhatikan dengan saksama jalan yang mereka lalui.
Kereta kuda yang mereka tumpangi akhirnya tiba di kompleks kediaman Lemminas. Wilayah dengan luas ratusan hektare ini dipenuhi dengan bangunan-bangunan megah lengkap dengan taman yang indah. Di sana lah tempat tinggal anggota keluarga Bangsawan Lemminas.
Kereta kuda itu kini berhenti di depan sebuah mansion yang di pagarnya tetulis nama sang pemilik rumah, "Elmer Lemminas".
Begitu turun dari kereta kuda, Callice langsung disambut oleh para pelayannya yang sudah berbaris rapi. Lengkap dengan karpet merah yang dianggapnya berlebihan.
Setelahnya, kereta kuda bergerak membawa kedua Tuan Muda lainnya menuju ke kediaman utama. Kediaman utama merupakan tempat tinggal bagi keluarga inti dari sang pemimpin Lemminas. Mansion itu telah berubah nama sejak dua belas tahun yang lalu menjadi "Aldric Lemminas".
***
Callice kini menerka-nerka, siapa gerangan yang akan menyambutnya dipintu. Sejak turun dari kereta kuda, Callice selalu mengulang kalimat yang sama di dalam hatinya. Berharap agar orang yang dimaksud tidak tampak begitu pintu utama dibuka.
Untunglah hal itu benar-benar terwujud. Begitu pintu dibuka, Callice hanya melihat wajah ibu dan adik perempuannya yang terlihat tersenyum manis kepadanya.
Seakan mengetahui apa yang dipikirkan putranya, sang Ibu berbisik,"Ayahmu sedang ada urusan di markas besar. Kemungkinan dia tidak akan pulang hingga dua hari kedepan."