Jam sudah baru menunjukkan pukul lima sore saat Callice kembali dari kediaman utama. Ibunya yang melihat kepulangannya langsung berlari ke arah putranya itu.
"Cepat sekali. Sebenarnya kalian membicarakan apa?" tanyanya.
Callice menggeleng dan menjelaskan kepada ibunya terkait kondisi kakeknya saat ini. "Jadi, karena lelah aku ingin tidur sekarang," ujarnya.
"Kau akan melewatkan makan malam kalau begitu. Apa tak masalah?" tanya sang ibu.
Callice mengangguk dan langsung balik badan. Vera hanya bisa menuruti kemauan Callice dan tak berniat menolak.
Jika memiliki waktu luang, Callice biasanya menghabiskan waktunya untuk tidur. Tak main-main, dirinya bisa tidur lima belas hingga dua puluh jam perhari. Tak akan ada yang berani membangunkannya. Mungkin hanya ayahnya, itupun sangat jarang karena pria paruh baya tidak terlalu perduli berapa lamapun Callice tertidur. Hanya saja, jika dirinya memanggil, putranya itu mau tidak mau harus bangkit dari tempat tidurnya.
***
Callice mulai membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia mengambil posisi terlentang dengan sebelah tangan menutupi wajahnya. Dirinya perlahan terlelap, menyisakan keheningan di ruangan yang luas itu.
Bulir-bulir keringat perlahan membasahi keningnya diiringi dengan bola mata yang bergerak ke sana kemari seakan-akan sesuatu telah terjadi di alam mimpi. Napasnya tidak berarturan. Menyesakkan.
Itu adalah pemandangan biasa dalam hidupnya. Hanya Vera, Elmer, Verys, dan ketiga sahabatnya saja yang mengetahui kondisi Callice.
Walaupun jika di luar Callice tampak biasa, namun dirinya selalu mengingat dengan detail setiap kejadian di mimpinya itu seakan itu adalah hal yang nyata. Tak dipungkiri jika dirinya kepikiran. Namun meski begitu, ia tak pernah membenci aktifitas itu. Tidur tetap menjadi pelarian Callice dari semua masalah yang ada.
Keesokan harinya...
Jam dinding telah menunjukkan pukul sebelas siang. Seorang pelayan pria memasuki kamar majikannya itu dengan hati-hati.
"Tuan, bangun, Tuan!" ucapnya pelan sambil menepuk pipi Callice pelan.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Callice biasanya akan membuang napas kesal setiap dibangunkan. "Pukul berapa ini?" tanyanya sambil mengerjap-ngerjap.
"Sudah pukul sebelas, Tuan."
Mendengar itu, Callice menggerutu. Menyesali perbuatan pelayannya itu yang membangunkannya padahal masih 'pagi'.
"Tapi, Tuan. Tuan Besar meminta agar Anda segera menemuinya di ruang kerjanya."
Callice terbelalak lantas bangkit dari tempat tidurnya dengan langkah tergesa-gesa. "Bukankah ibu bilang kalau dia akan pulang dua hari lagi?"
Callice membasuh wajahnya dengan gerakan cepat dan kasar seakan-akan tak perduli dengan kondisi wajahnya. Walaupun sebenarnya dirinya malas bergerak, tetapi rasa sabetan sihir rotan ayahnya masih segar diingatannya. Callice sangat membenci rasa sakit.
***
"Apa itu adalah pakaian terbaik yang bisa kau gunakan saat menemui pemimpin rumah ini?" ujar Elmer sambil menunjuk putranya itu dari atas ke bawah.
"Aku tak perlu menggunakan pakaian formal hanya untuk bertemu dengan ayahku, bukan? Kalau dipikir-pikir, itu adalah hal yang hebat karena selama aku hidup, baru kali ini aku menemuimu dengan pakaian tidur," sindirnya.
"Mulutmu memang selalu lancang, persis seperti Alice," sambung Elmer yang dibalas tatapan tajam dari Callice.
Dia paling tidak suka ada yang membawa-bawa nama mendiang ibunya jika itu adalah hal yang negatif.
"Langsung ke intinya saja."
Elmer menyerahkan selembar kertas kepada Callice.
"Kau tidak boleh menolak, ini perintah," ujar pria itu tenang.
Callice menghembuskan napas berat. Satu-satunya orang yang ditakutinya saat ini hanyalah ayahnya seorang. Dirinya memiliki hubungan yang buruk dengan Ayahnya karena suatu alasan. Hal yang membuat Callice tidak memiliki kenangan indah dengan pria di hadapannya ini. Semuanya dimulai di mana seluruh ambisi dan usaha ayahnya harus lenyap begitu saja karena "kelahirannya."
Callice menggosok-gosok leher belakangnya. Dirinya masih mengingat rasa sabetan rotan ayahnya meskipun sudah tidak berbekas lagi. Semuanya adalah karena perjodohan antara keluarga Kerajaan dan Keluarga Lemminas.
Beberapa waktu yang lalu, Keluarga Kerajaan melakukan kunjungan resmi ke Kediaman Lemminas. Kedatangan mereka disambut hangat oleh keluarga Lemminas terlebih lagi mereka yang memiliki ambisi besar untuk memerintah kerajaan.
Kunjungan resmi itu memiliki maksud untuk melakukan perjodohan yang diharapkan dapat mempererat hubungan keluarga Kerajaan dengan Lemminas.
Lemminas bukanlah keluarga sembarangan. Keluarga ini adalah satu-satunya keluarga Bangsawan di Arcaria selain dari keluarga Castellano yang merupakan keluarga Raja.
Walaupun merupakan pernikahan politik, tetapi Euphemia diberi wewenang untuk memilih kandidat suaminya yang nantinya akan ditandingkan untuk melihat siapa yang terkuat.
Tiga hari yang lalu, sesaat sebelum melakukan misi, Elmer sudah memerintahkan Callice untuk mempertimbangkan pernikahan politik tersebut. Namun hal itu ditolak mentah-mentah oleh Callice yang tak terima jika harus menikah dengan gadis yang tidak diinginkannya. Dia merasa seluruh hidupnya sudah terlalu diatur bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Namun, untuk hal pasangan Callice tak mau mengalah. Dia tidak bisa membayangkan harus hidup bersama dengan orang yang tidak dirinya cintai dan nantinya malah membayangkan gadis lain.
Elmer yang mendengar penolakan itu menjadi gelap mata dan langsung mengeluarkan sihirnya, Sihir rotan. Dengan ringan tangan dirinya mengayunkan rotan miliknya ke punggung putranya. Saking kuatnya sampai-sampai sabetannya bisa menembus pakaian tebal milik Callice. Itu adalah kesekian kalinya Elmer melakukan itu kepada putranya.
***
"Ayah! Aku datang untuk menjengukmu." Vera datang sambil menenteng keranjang berisi bermacam buah.
Zephyr yang melihat kedatangan menantunya tersenyum cerah. Zephyr sangat menyayangi Vera, bahkan menganggapnya sebagai putrinya sendiri. Dulu, saat mengetahui Elmer akan melamar Vera, Zephyr adalah orang yang paling antusias.
"Hoho, Putriku datang ternyata. Kau datang untuk menjengukku? Astaga, para penghuni rumah ini ternyata tidak mematuhi perintahku dan malah menyebarkan kondisiku yang lemah."
"Mereka tidak menyebarkannya, Ayah. Aku mengetahuinya dari Callice, kemarin." Vera mengambil pisau untuk mengupas buah yang kemudian diberikannya pada ayah mertuanya.
"Anak itu? Dia tahu dari mana? Apa dia memata-matai kediaman ini?"
"Astaga! Apa Ayah lupa kalau Ayah lah yang mengundangnya untuk datang ke sini? Saat baru tiba, dirinya mendapati bahwa Ayah sedang diperiksa oleh dokter," Vera menjelaskan.
Zephyr tersenyum sinis. "Mengundangnya? Apa aku sebegitu bodohnya hingga mengundang anak haram itu untuk menemuiku?"
"Ayah!" tegur Vera. "Tunggu. Ayah tidak mengundangnya? Lalu siapa yang menyuruhnya datang atas nama Ayah?"
Zephyr hanya menggeleng sambil menyantap nikmat potongan buah yang diberikan Vera. Masa bodoh dengan undangan itu. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengannya.
Setelahnya mereka bercengkrama sambil sesekali melontarkan canda tawa. Hubungan keduanya tampak sangat harmonis melebihi hubungan Zephyr dengan Elmer, putranya sendiri.
Vera memutuskan untuk kembali ke kediammannya saat dokter akan kembali memeriksa ayah mertuanya. Begitu keluar dari ruangan itu, air mukanya langsung berubah. Dirinya masih bingung dengan apa yang terjadi. Callice tidak mungkin berbohong dengan undangan itu. Untuk apa mengambil resiko jika dirinya mengetahui akan mendapat makian setiap kali berhadapan dengan kakeknya?
Langkah kakinya berhenti tatkala dirinya hampir bertabrakan dengan Aldric—ayah dari Verys dan Linn, sekaligus adik iparnya. Laki-laki itu tersenyum singkat ke arah Vera lalu tanpa aba-aba langsung melangkah pergi. Vera menggertakkan giginya geram. Hanya melihat raut wajah Aldric saja, Vera sudah langsung bisa menghubungkan semua peristiwa yang terjadi. Aldric adalah orang yang mengundang Callice atas nama Ayahnya. Vera memang tidak mengetahui tujuannya, tapi mengetahui pelakunya saja sudah cukup membuatnya berang.