Vivanna tersadar dari lamunannya saat seekor burung elang yang terbuat dari es mendatanginya. Elang tersebut langsung menghilang dan meninggalkan gulungan kecil kertas dengan pita berwarna putih kebiruan.
Vivanna sempat menghela napas sebelum membuka gulungan itu. Apakah Callice akan menyampaikan padanya tentang perjodohannya? Ataukah malah sebaliknya, Callice membahas hal lain?
"Sore nanti, datanglah ke Regia. Aku merindukanmu."
Vivanna menggigit bibir bawahnya keras hingga terasa sedikit ngilu. Saat ini pikirannya kacau, kepalanya mendadak sakit. Apa Callice benar-benar tak perduli dengan pengumuman di papan itu? Ataukah pria itu malah tidak mengetahuinya sama sekali. Vivanna mengacak-acak rambutnya kasar saat menyadari bahwa dia telah berburuk sangka pada Callice.
"Ayolah, Vivanna. Perjodohan itu tak ada hubungannya denganmu. Kau hanya perlu sadar diri dengan statusmu saat ini," ucapnya dengan nada kasar.
Dia menolehkan kepalanya sedikit dan mendapati adik-adik asuhnya tengah melihatnya dengan wajah khawatir. Tentu saja, sepulang dari Ibukota kemarin, adik-adiknya mendapati dirinya dengan mata sembab dan wajah berantakan. Belum lagi makan malam dan sarapan yang gadis itu buat terasa hambar, menjadikan semua orang di Panti Asuhan itu makan dengan ogah-ogahan.
Vivanna bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka. Gadis itu membenarkan rambutnya dan mengulas senyum di wajahnya.
"Aku baik-baik saja. Kalian bisa kembali main di luar ataupun membantu ibu pengasuh," ujarnya lembut sambil mengelus rambut salah satu anak.
Ketiganya menurut. Lagian, apa yang bisa mereka bantu? Yang ada mereka hanya akan menambah beban pikiran kakak asuhnya itu. Ya walaupun jujur saja kalau mereka tetap tidak tenang dengan keadaan Vivanna.
Setelah memastikan adik-adik asuhnya pergi, Vivanna kembali ke mejanya. Kini dirinya mendapati seekor burung walet yang terbuat dari lava hinggap di daun jendelanya. Sama seperti tadi, burung walet itu langsung menghilang dan meninggalkan gulungan ketas kecil.
"Percayalah pada Callice. Dia tak mungkin melakukan suatu hal yang bisa menyakiti siapapun, bukan? Dan juga, jujurlah pada perasaanmu. Sampaikan yang sebenarnya kepada Callice tentang apa yang kau rasakan padanya."
Entah kenapa setelah membaca surat dari Devon, perasaan Vivanna mendadak tenang sekaligus gugup. Menyampaikan perasaan? Apa boleh? Tiba-tiba bibirnya mengulum senyum, dan secara tak sadar wajahnya kini memerah.
"Ya, aku harus mempercayai Callice. Jika dia memang ingin menikah dengan Tuan Putri maka seharusnya dia sudah bilang dari awal. Mungkin saja Callice memang tidak menginginkannya." Gadis itu berusaha berpikiran positif.
Vivanna menatap cermin di hadapannya lamat-lamat. Gadis itu tersenyum puas melihat wajahnya yang menurutnya sangat cantik. Apa salahnya memuji diri sendiri, bukan? Jika bukan kita yang memulainya maka siapa lagi? Perlahan dia merapikan rambut merah mudanya yang berantakan, mendandaninya seperti biasa. Wajahnya yang sembab dan berantakan perlahan dirinya kompres dengan air hangat. Surat dari Devon tadi benar-benar ajaib. Bisa mengubah suasana hati orang dengan instan.
~••~
Angin semilir berhembus di atas hamparan padang ilalang yang luas. Menggelitik rambut membelai rerumputan. Gadis itu berjalan pelan. Bersusah payah melewati rintangan di depannya, dengan langkah kaki berat karena hembusan udara yang bergerak itu. Tapi rintangan ini tak akan membuat semangatnya berkurang. Pemandangan yang akan dilihatnya nanti akan membayar semuanya.
Vivanna memelankan suara langkah kakinya, menyibak pelan ranting pohon yang menjulur ke bawah layaknya tirai. Matanya berbinar. Callice yang sedang tertidur adalah hal paling indah yang pernah dirinya lihat. Dia mengambil jalan memutar, pindah kesisi samping pohon lantas berjalan mendekat. Dia mengambil posisi sedikit menunduk dan mendekatkan matanya pada wajah pria di hadapannya. Gadis itu sungguh mengagumi rupa nan indah milik pria dihadapannya.
Callice memang merupakan pria yang sangat tampan hingga terkesan tidak realistis. Meskipun keseluruhan ciri fisiknya merupakan turunan dari keluarga pihak ibunya—Keluarga El-Frostria, namun tetap saja ada yang berbeda antara dirinya dan keluarganya yang lain, bahkan Larry. Kulitnya putih pucat tanpa rona seakan tak terpengaruh sinar matahari. Rambutnya pun tak jauh berbeda. Berwarna putih selayaknya serpihan es dengan panjang hingga menutupi lehernya. Callice jarang menata rambutnya, dia lebih senang membiarkan rambutnya terurai bebas ke sana ke mari namun malah semakin menambah pesona pria itu. Jika sinar matahari mengenainya, maka sebuah kilauan akan muncul layaknya es yang tertimpa cahaya.
Vivanna terkejut bukan kepalang saat tangannya tiba-tiba tangannya ditarik. Hanya dengan waktu sekejap, kepalanya telah berada dipangkuan Callice. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya tatkala pria dihadapannya menatapnya intens.
Callice tersenyum puas. "Sekarang aku yang akan menatap wajahmu. Ayolah, singkirkan tanganmu dari wajah indah itu," godanya.
Vivanna perlahan menurunkan tangannya, membalas tatapan Callice dengan wajah merona. Kini keduanya sama-sama tertawa.
"Apakah aku terlambat?" tanya Vivanna.
"Tidak, kau datang tepat waktu. Hanya saja aku datang terlalu cepat karena tidak sabaran," jawabnya.
Kini, kedua insan itu asyik bercengkrama. Tertawa, saling meledek, bahkan kejar-kejaran di bawah naungan ranting pohon besar itu—pohon willow. Saat tertangkap, tiba-tiba air wajah Vivanna berubah sehingga membuat Callice kebingungan.
"Callice-" panggilnya pelan. "-Menurutmu, kita ini apa? Apa hubungan kita punya nama? Maaf baru mengatakannya sekarang, tapi..." Vivanna tak melanjutkan perkataannya saat Callice dengan cepat memotong.
"Apa kau melihat sesuatu di Lucent, Vivanna?" tanya Callice peka. Gadis itu mengangguk. Sejujurnya dia bingung sekarang. Dia mengerti kondisi Callice dan sadar diri. Jika dibandingkan dengan seorang Tuan Putri, dirinya yang hanya anak yatim-piatu ini bukanlah apa-apa. Bahkan dia tidak bisa membantu apapun dikehidupan Callice.
"Aku mencintaimu, Callice. Aku sangat mencintaimu. Aku selalu ingin mengatakannya tapi aku sadar diri. Aku yang hanya rakyat jelata ini tidak pantas bersanding denganmu," ujarnya terisak.
Callice terkejut dengan kejujuran Vivanna yang tiba-tiba. Namun jujur saja kalau dirinya sungguh bahagia mendengarnya. Callice sudah lama menantinya. Meskipun Callice selalu mengatakan terang-terangan kepada Vivanna betapa dirinya mencintainya, tetapi Vivanna selalu saja mengelak dan tak pernah memberikan jawaban.
"Aku tidak perduli dengan status sosial, Vivanna. Aku hanya menginginkan dirimu. Setelah pertandingannya selesai, aku akan mempublikasikan hubungan kita," ucapnya terang –terangan yang membuat Vivanna terkejut.
"Apakah kau serius dengan itu, Callice? Bagaimana dengan ayahmu, apa dia tak masalah?"
Callice menjawab, "Aku pasti akan mencari cara, segera. Kau tenang saja. Aku tak akan menikah dengan siapapun selain dirimu," ucapnya sambil memeluk Vivanna. Gadis itu mengangguk. Sambil berkaca-kaca, dia membalas pelukan itu.
Vivanna, Callice, Devon, dan Leander adalah sahabat sejak kecil. Vivanna adalah yang termuda diantara mereka berempat dan yang terakhir bergabung ke dalam perkumpulan kecil mereka.
Pertemuan mereka dimulai saat Vivanna kecil menangis meminta pertolongan. Kereta kuda yang keluarganya naiki mengalami kecelakaan dan hanya dirinya yang selamat. Callice dan kedua sahabatnya yang saat itu tengah bersantai seperti biasanya menjadi terkejut. Karena tak tega, ketiganya akhirnya membantu Vivanna dengan membawa anak itu ke markas keamanan.
Setelahnya keempatnya semakin sering bertemu. Vivanna akhirnya resmi masuk ke kelompok mereka setelah Callice memberi izin anak perempuan itu untuk datang ke tempat rahasia mereka. Vivanna jugalah yang memberikan nama 'Regia' yang didasarkan nama tengah keempatnya.