Chereads / Untie Me / Chapter 6 - BAB 6 Aku di Matanya

Chapter 6 - BAB 6 Aku di Matanya

"Kakak! Gendong aku, aku mohon." Rengek Olyfia kepada kakak lelakinya itu.

"Olyfia! Jangan manja begitu. Kau tahu bukan kalau kakakmu baru pulang. Ia pasti lelah," tegur Vera pada putri satu-satunya itu.

Olyfia menatap ibunya kesal. Sambil berkaca-kaca dia menatap wajah kakaknya untuk mengadu.

"Baiklah. Jika itu keinginan Olyfia- ku maka aku akan menurutinya," ucap Callice sambil mengangkat adiknya itu ke gendongannya.

"Kau seharusnya tidak perlu memanjakannya, Callice. Lama-kelamaan bisa jadi kalau dia tidak mau berjalan dengan kakinya sendiri," ucapnya sambil berusaha mengambil Olyfia yang semakin mengeratkan tangannya pada leher Callice.

"Tak apa, Ibu. Lagian aku sangat jarang berada di rumah. Untuk saat ini aku akan memanjakan adikku tersayang," jawabnya yang membuat Vera hanya menghembuskan napas pasrah.

Setelahnya, Callice membawa Olyfia ke taman. Di sana mereka asyik bercengkrama dan tertawa ria. Hingga pada akhirnya Olyfia mengantuk dan tidur begitu saja di kursi taman. Callice memandangi wajah adiknya itu lamat-lamat. Tanpa sadar, sebuah senyum manis terukir di wajahnya. Terlepas dari Olyfia yang hiperaktif hingga membuat dirinya kadang kesulitan, Callice tetap menyayangi adiknya itu. Dia ingin melakukan yang terbaik bagi Olyfia. Callice kemudian menggendong adiknya itu dengan hati-hati dan membawanya ke kamarnya.

"Sssttt!!! " ucap Callice sambil meletakkan telunjuknya di bibirnya.

Pria muda itu kini sedang berbicara kepada Ibunya yang tiba-tiba masuk ke kamar. Ibunya mengangguk mengerti dengan kode yang Callice berikan.

"Aku akan bersiap-siap untuk memenuhi panggilan kakek."

Vera mengerutkan kening. Memenuhi panggilan? Mengapa dia tidak diberitahu sebelumnya? Mendadak perasaannya tidak enak.

"Apa kau benar-benar harus menemui beliau? Katakan saja kalau kau sedang lelah. Mungkin beliau akan mengerti."

Callice menggeleng. Sejujurnya dia memang menyetujui saran dari ibunya. Tetapi, mungkin hal ini menyangkut masa depannya nanti? Karena jarang-jarang kakeknya mau bertemu secara pribadi dengannya begini.

"Semoga tak terjadi hal yang buruk, Nak. Perasaanku tidak enak saat ini." Vera menyentuh lembut pundak Callice.

Pria itu tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum balik badan.

***

Callice kini telah berada di kediaman utama. Dirinya telah berganti pakaian yang cukup sopan untuk bertemu Tetua keluarga. Setidaknya ini adalah pakaian yang lebih baik daripada yang dia gunakan saat menjalankan misi.

Kendati yang akan ditemuinya adaah kakeknya sendiri, tetapi sebagai keluarga cabang dirinya dituntut untuk selalu menjaga sopan santunnya. Dirinya sengaja berjalan pelan karena ingin membuat kakeknya itu menunggu. Sekali-sekali melakukan pembalasan kecil tak apa, bukan? Tadi Callice juga sempat meminta para pelayan agar penjaga tidak mengabarkan kedatangannya.

Kini, pria muda itu berdiri di depan pintu dengan desain unik dan tampak mewah. Ini adalah kamar sekaligus ruang kerja milik kakeknya. Dia menghela napas kasar sampai dirinya mendengar pembicaraan yang harusnya tidak didengarnya.

"Aku kesini hanya untuk mendengar penjelasan kakek lebih rinci terkait orang-orang Frostia," ujar Verys dengan wajah serius.

"Itu benar! Selama ini kakek selalu memberitahu kami bahwa orang-orang Frostia itu adalah orang yang kejam dan tercela. Tapi setelah melakukan misi kali ini, kami melihat pemandangan yang berbeda," sambung Linn.

Dicercarin pertanyaan dari cucu-cucunya, Zephyr berusaha menahan emosi.

"Lalu apa masalahnya dengan kalian jika aku membuat kebohongan seperti itu? Bukankah hal yang wajar jika kita menyebarkan berita negatif terkait musuh?" jawab Zephyr dengan tenang.

Verys mengepalkan tangannya. "Apa maksud kakek kalau kebohongan itu tidak ada hubungannya dengan kami? Karena hal itu kami dipaksa untuk menjaga jarak dengan kakak kami sendiri. Tak hanya itu, bahkan karena kebohongan kakek, seluruh keluarga selalu merendahkan Callice," ucap Verys emosi.

Sejak mereka kecil, Verys selalu bertanya-tanya mengapa dirinya dilarang bermain bahkan hanya sekedar bertegur sapa dengan Callice. Callice yang tidak memiliki teman akhirnya sering menyendiri tak tahu kemana. Meski begitu, Verys dan Linn tetap berhubungan baik dengan Callice saat tidak ada anggota keluarga yang melihat.

Zephyr mulai kehabisan kesabaran. Dengan nada tinggi dia mengeluarkan isi hati yang selama ini dipendamnya.

"Apa kalian pikir mudah bagi seorang ayah untuk tinggal dengan keturunan dari pembunuh putranya? Setiap kali melihat wajah anak haram itu, kenangan buruk itu terus menghantuiku. Wajahnya itu-, wajahnya itu sama persis dengan laki-laki sialan itu sehingga membuatku muak. Aku tidak pernah menyangka kalau aku harus menerima keturunannya sebagai cucuku. Di depan mataku sendiri, si bajingan itu memenggal kepala putraku. Apa kalian tahu apa yang ku rasakan???".

Verys dan Linn terdiam. Mereka tidak pernah mendengar cerita seperti itu sebelumnya. Selama ini mereka diberitahu kalau mendiang paman mereka meninggal dalam misi. Hanya itu.

Verys menundukkan kepalanya hingga akhirnya sadar bahwa kakeknya kini tengah menjerit kesakitan. Pria tua itu meremas dadanya. Itu adalah hal yang wajar terjadi saat sedang marah mengingat usianya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun.

Dengan sangat panik, pria itu berusaha untuk menghubungi dokter keluarganya berulang kali. Karena tak ada sahutan, Verys lalu memerintahkan adiknya untuk menjaga sang kakek sementara dia buru-buru keluar untuk memanggil dokter. Saking fokusnya dengan jalan di depannya, Verys sampai tidak menyadari kalau kakak laki-lakinya sedang berdiri di sebelah pintu.

Callice menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melumat bibirnya. Dirinya mengepalkan tangannya seerat-eratnya. Dia sedang menangis. Walaupun benar, tak ada setetes pun bulir bening jatuh dari matanya. Hanya saja, kini hatinya dipenuhi awan mendung, Menyesakkan. Namun, tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Entah itu kekurangan atau kelebihan, tapi dirinya memang sangat ahli menyembunyikan kesedihannya.

Selama ini dia pikir alasannya diperlakukan berbeda adalah karena dirinya adalah 'anak haram'. Itu saja. Kata yang sudah sangat familiar di telinganya sejak dia mampu mengingat. Tak pernah terbayang dibenaknya sebelumnya kalau ternyata alasannya lebih daripada itu. Kalau sudah begini, apakah dirinya masih bisa berharap untuk diperlakukan dengan baik?

Karena mengingat firasat buruk yang dikatakan ibunya sebelum pergi, Callice kemudian memutuskan untuk tetap di tempatnya hingga Verys kembali. Dia harus bisa membuat kebohongan agar ibunya tak khawatir.

Verys yang tiba lima menit kemudian mendadak pucat saat melihat Callice.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan nada ketus.

Callice menjawab santai, "Bukankah kau tahu kalau kakek menyuruhku untuk menemuinya? Ngomong-ngomong, kenapa dokter tadi terlihat buru-buru sekali? Apa dia memang seperti itu setiap melakukan pemeriksaan pada kakek?" ujarnya sambil mengarahkan jempolnya ke arah dalam kamar.

Verys kemudian menjawab dengan terbata-bata,"Do- dokter itu sekarang ingin memeriksa kakek yang kondisi kesehatannya tiba-tiba memburuk. Ka- kau sudah berapa lama di sini?" tanyanya kembali kepada Callice.

Callice mengatakan kalau dia baru saja tiba, dan tetawa sendiri sambil mengejek cara bicara Verys yang mendadak aneh.

"Kalau begitu aku pulang saja, ya? Tak kusangka, Pak Tua kasar itu akhirnya mencapai batasnya," ucapnya sambil balik badan dan terkekeh kecil.

Verys memperhatikan Callice yang berjalan dengan tenang dengan wajah yang sulit dideskripsikan.

"Aku berharap kau mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Kakak..."

"Kau berbicara dengan siapa, Kak?" tanya Linn yang keluar setelah diminta oleh dokter.

Verys menunjuk ke arah pria yang sedetik kemuadian hilang di perempatan. Hal itu sukses membuat Linn menampilkan ekspresi yang tak jauh berbeda dengan Verys tadi.

"Apakah Kak Callice mendengar pembicaraan kita?"

Verys menggeleng pelan.

"Katanya dia baru saja tiba saat aku kembali membawa dokter tadi. Kuharap begitu," lirihnya.

***

Populasi penyihir di dunia ini hanya sekitar nol koma nol lima persen dari dua milyar jumlah manusia.

Dan dari keseluruhan jumlah penyihir, Sekitar delapan puluh persennya terdapat di Arcaria dan Frostia. Sementara sisanya menyebar ke seluruh wilayah di dunia.

Jumlah populasi penyihir yang banyak inilah yang menyebabkan kedua wilayah ini senantiasa aman dari penyerangan musuh. Tak akan ada yang berani main-main dengan manusia yang dikaruniai berkah berupa energi sihir.

Juga merupakan alasan mengapa selama ratusan tahun kedua wilayah ini hanya terlibat perang dingin. Tak lebih. Keduanya sama-sama mengetahui seberapa besar kekuatan yang dimiliki lawannya sehingga tak berniat untuk memulai konflik serius.

Namun, perdamaian semu itu akhirnya sirna begitu saja tatkala kedua wilayah ini memperebutkan wilayah netral alias tak memiliki tuan di perbatasan. Wilayah itu merupakan wilayah strategis yang sangat potensial dalam hal perdagangan.

Tiga puluh tahun yang lalu, dalam sebuah Konferensi Internasional Perdagangan Dunia, seorang perwakilan dari salah satu negara di Benua Syrena meminta untuk dibuatkan sebuah terusan di wilayah netral tersebut. Terusan itu diharapkan dapat mempersingkat waktu perjalanan dari Benua Syrena menuju Benua Delansia yang memiliki potensi alam yang berbeda.

Arcaria dan Frostia melihat permohonan tersebut sebagai ladang cuan bagi wilayah mereka masing-masing. Tak ada yang mau mengalah sehingga perang tak dapat dielakkan.

Pihak Arcaria dipimpin oleh Keluarga Lemminas, sedangkan Frostia dipimpin langsung oleh sang Kaisar. Kekuatan keduanya tampak seimbang. Meskipun Frostia membawa lebih banyak prajurit, namun Lemminas dapat mengatasi hal tersebut dengan siasat serta kekuatan mereka.

Puncaknya adalah ketika putra sulung Zephyr dipenggal oleh Drois, Kaisar Frostia saat itu. Padahal, Zephyr sangat membanggakan putra sulungnya bahkan telah mempersiapkannya untuk menjadi penerus kelak. Namun semuanya hanya angan-angan tatkala es berbentuk pedang itu mengiris leher putranya. Zephyr mengamuk, menyerang secara membabi buta. Tak lagi memikirkan siasat perang dan berperang layaknya orang-orang barbar. Namun karena hal itulah pihak Arcaria berhasil memperoleh kemenangan.

Raja kemudian kemudian menghadiahkan wilayah tersebut sebagai wilayah milik Lemminas. Nama yang diberikan untuk wilayah itu sama dengan nama putra sulung Zephyr, 'Ernest' dan disetujui oleh semua orang. Sedangkan terusan yang dibangun di sana diberi nama 'Sol' yang berarti matahari.

Karena peristiwa kematian Ernest lah seluruh Keluarga Lemminas sangat membenci Keluarga El-Frostia.

Dan karena itu pula Callice sering mendapatan perlakuan kasar dari keluarga besarnya. Callice yang memiliki perawakan yang sangat mirip dengan kakek pihak ibunya itu selalu mengingatkan Zephyr tentang kematian putranya. Membuat pria tua itu selalu melihat cucu sulungnya itu tak lebih dari kotoran.