Wanita elf itu, yang ternyata bernama Azelia Lumiana, memberikan isyarat dengan anggukan kecil kepada orang-orang berjubah putih di sekitarnya.
"Turunkan senjata kalian," perintah Azelia, suaranya tegas tapi tetap lembut. "Namun tetap berjaga dan waspada. Jangan lengah."
Seketika terdengar suara gesekan logam ketika para elf berjubah putih mulai menurunkan pedang dan busur mereka.
Clink. Clank.
Kemudian salah satu dari mereka, seorang pria dengan postur tegap dan sorot mata tajam, maju mendekati Azelia. "Azelia, kau sungguh akan membawa mereka masuk kedalam? Ini sangat berbahaya. Mengingat kalau mereka para manusia pernah menyerang hutan kabut ini." katanya dengan nada penuh keberatan. "Manusia tidak pernah membawa hal baik bagi penduduk yang ada di dalam hutan kabut ini."
Lalu, Azelia memutar pandangannya dengan perlahan, menatap bawahannya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Keputusan ini sudah kuambil. Aku mengenal Nelius dengan dan sudah sangat lama. Dia bukan seperti para manusia itu, dan aku percaya padanya. Tetapi…" Azelia menoleh ke arah Nelius dan teman-temannya, "itu tidak berarti aku sepenuhnya yakin dengan mereka."
Karena jawaban dari Azelia, pria itu mendesah berat, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, jika itu perintahmu."
Kemudian Azelia kembali menoleh ke Nelius. "Ikuti aku. Dan ingat, satu kesalahan kecil saja dari teman-temanmu, aku tak akan ragu mengambil tindakan."
"Aku mengerti." jawab Nelius sambil mengangguk.
Setelah itu, mereka semua mulai berjalan memasuki hutan kabut. Suasana semakin dingin saat mereka berjalan masuk, dengan kabut tebal yang hampir menutupi pandangan mereka.
Huuush... huuush...
Angin dingin berdesir di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Sementara itu, para elf yang berjubah putih terlihat membentuk lingkaran mengelilingi Nelius, Magnus, Ren, dan Tom, berjalan dalam barisan yang sangat teratur. Mereka tetap menjaga jarak aman, namun jelas tetap memerhatikan setiap gerak-gerik dari para manusia yang ada di tengah mereka.
Tom, yang tidak bisa menahan rasa penasarannya mulai berbisik pelan kepada Ren. "Kabut ini aneh sekali. Rasanya seperti... hidup."
"Ya, tapi aku juga merasa seperti ada yang mengawasi kita dari balik kabut ini." ujar Ren sambil mengangguk dan menatap sekelilingnya.
Kemudian, Magnus menoleh sedikit kearah mereka dan berbicara dengan suaranya yang rendah tapi tegas. "Tetap tenang. Jangan membuat gerakan yang bisa disalahartikan."
Azelia, yang mendengar percakapan kecil itu, berkata tanpa menoleh. "Hutan kabut ini memang memiliki kehidupannya sendiri. Semakin jauh kalian masuk, semakin banyak rahasia yang akan kalian temui nantinya. Tapi jangan terlalu percaya diri. Hutan ini juga bisa menjadi musuh kalian."
Beberapa waktu kemudian, mereka keluar dari area kabut yang pekat tersebut, dan pemandangan yang sangat indah terbentang di depan mata mereka. Sebuah padang rumput hijau yang luas terbuka, dipenuhi bunga-bunga kecil berwarna-warni. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma segar dan harum dedaunan. Di kejauhan, terlihat sebuah danau yang sangat luas, airnya berkilauan seperti permata di bawah cahaya matahari yang samar-samar menembus kabut.
Di tengah danau itu, berdirilah sebuah bangunan tua dengan pilar-pilar tinggi yang lancip, tampak megah dan sekaligus misterius.
Lalu, Tom yang melihat pemandangan itu untuk pertama kalinya, tak bisa menahan kekagumannya. "Luar biasa. Aku belum pernah melihat sesuatu yang seindah ini sebelumnya."
"Ya, aku juga sama, dan ini… ini seperti negeri dongeng. Tidak pernah kubayangkan tempat seperti ini benar-benar ada." sahut Ren sambil mengangguk setuju, matanya berbinar-binar.
Sementara itu, meskipun magnus terlihat tenang, dia sedikit tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. "Pilar-pilar itu... desainnya terlihat seperti buatan zaman kuno."
"Itu adalah dungeon yang akan kita masuki. Tempat itu menyimpan kristal hitam yang sedang kita cari cari." jelas Nelius, yang berdiri di tengah mereka sambil tersenyum tipis.
Setelah mendengar perkataan dari Nelius, Ren menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. "Tunggu, tempat itu adalah dungeonnya? Bagaimana kita bisa ke sana? Apa ada jalan lain?"
"Ada jalan setapak yang menghubungkan tepian danau dengan dungeon itu." Azelia menjawabnya sebelum Nelius sempat berbicara. "Tapi jalannya tidak mudah untuk di lalui. Banyak banyak bebatuan lancip yang tubuh dari tanah, dan jika tidak berhati-hati maka kaki kalian akan terluka."
"Hanya bebatuan lancip biasa kan? Itu sangatlah mudah untuk di lewati, dan kita hanya perlu berjalan di tempat yang tidak ada bebatuan lancipnya."
Mendengar itu, Nelius hanya melirik Tom dengan tatapan tenang. "Ini bukan permainan, Tom. Dan mungkin saja jalan setapak itu tidak seperti yang kau pikirkan."
Sebelum mereka melangkah menuju jalan setapak tersebut, Azelia menghentikan langkahnya dan menatap Nelius. "Tunggu di sini. Aku harus bertemu Tetua Aelin dulu untuk memastikan semuanya sudah sesuai dengan yang kau katakan atau belum."
Namun sebelum Azelia sempat melangkah, dia berhenti mendadak. Di arah yang berlawanan, dari balik pepohonan, terlihat Tetua Aelin yang berjalan mendekat dengan penuh wibawa. Lalu di sebelahnya, ada Vira, elf muda yang sebelumnya menyambut Nelius saat pertama kali tiba di hutan kabut ini.
Saat melihat Tetua Aelin datang ke sana, kelima elf berjubah putih tersebut langsung berlutut dengan hormat di tempat mereka berdiri.
Tanpa menghentikan langkahnya, Tetua Aelin terus melangkah perlahan hingga dia berdiri di hadapan Azelia. Dengan suara yang lembut tapi penuh otoritas, dia berkata, "Azelia, aku yang memberikan izin kepada Nelius untuk membawa teman-temannya ke sini. Tak perlu kau ragukan lagi."
"Tetua, aku hanya ingin memastikan keselamatan hutan ini. Manusia... mereka bukan makhluk yang bisa dipercaya begitu saja." ujar Azelia sambil tetap menundukkan kepalanya.
Tetua Aelin mengangguk, dan mengerti kekhawatiran yang di rasakan oleh Azelia saat ini. "Aku tahu. Tapi Nelius berbeda. Dan teman-temannya ada di bawah perlindungannya. Tidak ada yang akan terjadi selama mereka mematuhi aturan kita."
Untuk sejenak, Azelia terdiam sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Tetua. Aku akan mengawal mereka sampai ke pintu dungeon dan mengawasi mereka agar tidak berbuat yang aneh-aneh."
Setelah berbicara kepada Azelia, Tetua Aelin kemudian menoleh kepada Nelius. "Kau dan teman-temanmu harus segera menuju ke dungeon sekarang juga. Jangan buang-buang waktu yang ku berikan ini. Kehadiran manusia di sini sudah cukup membuat resah banyak elf lainnya."
Kemudian, dengan rasa hormat yang tinggi, Nelius membungkuk. "Aku mengerti, Tetua. Kami akan bergerak sekarang juga."
Tetua Aelin mengangguk sekali lagi sebelum dia berbalik, dan meninggalkan mereka semua dengan wibawa yang tak tergoyahkan.
Dengan arahan Tetua Aelin yang jelas, kelompok itu segera memulai perjalanan menuju ke dungeon. Saat sedang memberikan mereka jalan, Azelia berjalan di depan, diikuti oleh Nelius dan teman-temannya yang tetap berada dalam formasi, sambil terus dijaga ketat oleh para elf berjubah putih.
"Jadi," kata Tom dengan nada rendah, mencoba memecah keheningan, "bagaimana sebenarnya dungeon itu, Nelius? Apa yang membuatnya begitu istimewa dari dungeon lainya yang ada di kerajaan Berovia?"
"Dungeon itu bukan hanya tempat untuk menemukan kristal ataupun harta. Setiap dungeon memiliki misteri dan tantangan uniknya. Tapi yang ini… dungeon ini adalah tempat yang jarang di masuki oleh manusia, dan juga Elf sekalipun. Maka dari itu, aku yakin kalau kristal hitam yang ku butuhkan masihlah ada di dungeon ini."
Setelah mendengar penjelasan itu, Tom langsung menyeringai, meskipun jelas ada sedikit kegelisahan di wajahnya. "Menjelajahi dungeon yang belum pernah di jelajahi oleh manusia, ya. Kedengarannya seperti petualangan yang sempurna untukku."
"Tapi, jika kau tidak berhati-hati, Tom, petualangan ini mungkin akan menjadi yang terakhir bagimu." kata Magnus sambil menghela napas dan mencoba untuk tetap fokus.
Kemudian, Ren yang berjalan di sebelahnya Tom, menatap ke arah bangunan di tengah danau itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Bangunan itu terlihat seperti makhluk hidup, tapi bangunan itu tidak bergerak. Dan juga nerginya terasa... berat, seperti ada sesuatu yang bersembunyi di dalamnya."
Saat Azelia mendengar percakapan mereka, dia berhenti sejenak dan menoleh kebelakang. "Kalian benar. Mungkin dungeon ini mirip atau memang seperti makhluk hidup, tapi dungeon ini sangatlah berbahaya dan hanya yang terpilih lah yang dapat masuk ke dalam sana."
Seketika mendengar itu. Tom langsung mengerutkan alisnya. "Tunggu, apa maksudmu dengan 'yang terpilih'? Bukannya kita semua bisa masuk kedalam dungeon itu?"
"Yang bisa masuk bukan berarti bisa keluar. Ingat itu." sahut Azelia sambil menatap kearah depan lagi.
Ketika mereka tiba di tepian danau, kelompok itu berhenti. Suara air yang tenang terdengar jelas di telinga mereka, memberikan suasana damai yang kontras dengan kegelisahan di hati mereka.
Plop... plop...
Riak kecil mulai muncul di permukaan danau, seolah memberi salam pada para pendatang baru itu.
Saat Tom mulai melangkah maju, dia terus menatap air jernih itu dengan takjub. "Danau ini... luar biasa. Aku bisa melihat dasarnya meskipun airnya sangat dalam."
"Danau ini seperti cermin. Kau bahkan bisa melihat bayangan bangunan itu dengan jelas." ujar Ren, yang juga terpesona dan mulai mendekati tepian dari danau tersebut.
Magnus, meskipun tetap tenang, tidak bisa menyembunyikan rasa hormatnya terhadap pemandangan itu. "Tempat ini tidak hanya indah, tapi juga memiliki aura yang sangat kuat. Seperti ada sesuatu yang merayap keluar dari dalam sana."
Sementara itu, Nelius tetap berdiri diam di tempatnya, dan sambil terus mengamati bangunan di tengah danau itu. "Itu adalah dungeon yang harus kita masuki. Di dalamnya ada sesuatu yang sangat penting bagiku."
"Apa pun alasanmu untuk masuk ke dalam dungeon itu, ingatlah bahwa tempat itu sangatlah berbahaya. Dan juga beberapa hari terakhir ini ada energi besar yang datang dari dalam dungeon itu. Hingga membuat para penduduk Elf tidak fi ijinkan untuk keluar rumah sementara waktu." ucap Azelia, yang berada di sampingnya, sambil menatap Nelius dengan ekspresi waspada.
"Ya, aku mengerti. Aku hanya membutuhkan kristal hitam, dan aku pasti akan kembali hidup hidup."
Sejenak Azelia mengamati Nelius dengan seksama, lalu akhirnya berkata, "Baik. Aku akan mengantar kalian sampai ke pintu masuk. Setelah itu, semua tanggung jawab ada di tangan kalian."
Kemudian, Azelia yang saat ini masih ragu dengan keputusannya, akhirnya memberi isyarat kepada kelompok itu untuk melanjutkan perjalanan. Para elf berjubah putih tetap mengawal mereka, sementara bangunan dungeon di tengah danau semakin mendekat di depan mata mereka. Di dalam hati masing-masing, mereka tahu perjalanan ini baru saja dimulai dan mereka juga tidak tahu tentang apa yang sedang menunggu mereka di dalam sana.