Setelah berhasil mengalahkan monster yang hampir mirip kura-kura itu, Kevin berdiri di tempatnya untuk beberapa saat sambil memandangi permata jiwa yang dia ambil. Tubuhnya yang besar kini dipenuhi oleh aura hitam pekat yang terus menjalar di sekitarnya.
Namun, Kevin sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitarnya itu. Dia hanya merasa sedikit lelah, dan yang lebih mengganggu pikirannya sekarang adalah rasa lapar yang semakin menjadi-jadi.
"Aku… lapar…" ucapnya pelan, dan setelah itu dia menjatuhkan permata jiwa yang di ambilnya.
Lalu, dengan langkah kaki yang perlahan, Kevin mulai berjalan lagi kearah depannya. Lorong gua itu terasa begitu sunyi saat dia melintas. Tidak ada suara yang terdengar, kecuali langkah kakinya yang bergema di dinding gua.
Tap… tap… tap…
Di sekelilingnya, hanya ada tanaman yang sudah mati tanpa sebab. Tanaman merambat yang kering menjuntai dari dinding, lumut-lumut cokelat yang terlihat rapuh, dan jamur yang sudah menghitam karena membusuk.
"Kenapa… semuanya… mati?" gumamnya sambil menatap sekitar.
'Apa tempat ini selalu begini?' pikirnya sambil melangkah lebih jauh. 'Atau… ada penyebabnya?'
Namun, Kevin tidak terlalu memikirkannya. Rasa lapar yang menusuk perutnya menguasai pikirannya lebih dari apa pun untuk saat ini. Dia kemudian terus berjalan sambil berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa mengisi perutnya.
Tidak lama kemudian, lorong gelap itu mulai melebar, dan di saat itulah Kevin mengetahui kalau dirinya sudah keluar dan masuk ke sebuah ruangan besar yang masih berada di dungeon. I
Untuk sejenak, dia a berhenti lalu mulai menatap pemandangan di depannya.
Ruangan itu begitu luas hingga dinding-dinding pembatasnya tidak terlihat. Di atasnya terdapat stalaktit yang menggantung dengan ujung-ujungnya yang tajam, serta meneteskan air secara perlahan.
Plip… plip… plip…
Saat mendengar tetesan itu, Kevin langsung mendongak untuk menatap air yang jatuh dari stalaktit itu. Suara tetesan air membuatnya semakin sadar akan rasa haus yang dirasakannya.
"Air…" bisiknya pelan.
Dengan langkah yang hati-hati, dia berjalan ke tengah ruangan. Lalu, Kevin mendongakkan kepalanya dan membuka mulutnya yang dipenuhi gigi-gigi tajam, untuk membiarkan tetesan air tersebut jatuh langsung ke mulutnya.
Plip… plip…
Rasa dingin dari air itu membuat tenggorokannya terasa lega, meskipun hanya sedikit. Namun, itu cukup untuk memberinya kekuatan untuk terus bergerak.
"Cukup… untuk… sekarang," gumamnya, lalu mulai melangkah lagi.
Sambil terus berjalan, Kevin memerhatikan sekelilingnya. Di sekitarnya, dia melihat lebih banyak tanaman yang mati. Jamur, lumut, dan tanaman merambat semuanya tampak kering dan tak bernyawa.
"Kenapa… semuanya… begini?" tanya Kevin pada dirinya sendiri.
Kemudian, karena penasaran dia meraih salah satu tanaman merambat yang menggantung di depannya. Saat disentuh, tanaman itu hancur menjadi serpihan kecil seketika.
'Kenapa ini?' pikirnya. 'Apa mungkin ini karena para monster yang ada di sini?'
Namun, dia tidak bisa mengabaikan pikirannya. Tapi Kevin tidak tahu bagaimana atau mengapa itu terjadi. Lalu, karena tidak ada ujungnya untuk memikirkan hal tersebut, Kevin memutuskan untuk secepatnya pergi dari sana, dan mencari sesuatu hal yang bisa dia makan.
Saat berselang beberapa menit, Kevin tiba di sebuah area yang dipenuhi oleh tulang-tulang besar. Diapun seketika langsung berhenti dan menatap sekelilingnya dengan tatapan heran.
"Ini… apa?" tanyanya dengan pelan.
Tulang belulang itu tampak berserakan di mana-mana. Beberapa di antaranya terlihat sama seperti milik monster yang pernah dia kalahkan sebelumnya. Namun, ada juga tulang yang ukurannya jauh lebih besar, seperti milik makhluk raksasa.
'Kenapa di sini banyak tulang?' pikir Kevin sambil berjalan di antara tumpukan itu.
Namun, ada sesuatu yang aneh di sana saat Kevin terus memikirkannya. Biasanya, setiap kali mengalahkan monster, ada permata jiwa yang selalu muncul dari tubuh mereka. Tapi di sini, tidak ada permata jiwa sama sekali, atau mungkin sudah di ambil oleh seseorang.
"Kenapa… tidak ada… batu berwarna nya?" gumamnya. 'Tapi, saat tadi aku mengalahkan monster Firerend Beast, aku melihat ada batu berwarna yang terjatuh, tapi di sini tidak ada sama sekali.'
Pertanyaan itu terus menghantuinya saat dia berjalan tepat di tengah-tengah tumpukan tulang belulang itu. Jika monster-monster ini saling bertarung dan membunuh, seharusnya permata jiwa tetap ada. Tapi kenyataannya, tempat ini hanya dipenuhi tulang belulang tanpa adanya permata jiwa sama sekali.
Setelah itu, dengan langkah terakhir Kevin melangkah pergi dari area tulang-tulang itu. Walaupun begitu, rasa lapar yang dia rasakan semakin menyakitkan baginya. Perutnya seolah-olah sedang menjerit, dan bersamaan dengan itu tubuhnya juga mulai kehilangan keseimbangan.
"Aku… harus… makan," katanya sambil mencoba bertahan.
Namun, rasa sakit itu semakin parah. Hingga membuat pandangannya kabur, dan membuat langkahnya terasa berat. Tapi Kevin menolak untuk menyerah. Dia terus melangkah maju, meskipun setiap langkahnya terasa seperti beban berat.
Beberapa menit kemudian, hidungnya Kevin menangkap sesuatu hal.
"Ini… aroma… manis…" gumamnya.
Kemudian, hidungnya yang sangat tajam itu mulai memandu langkahnya untuk menemukan asal dari aroma yang di ciumnya. Namun sebelum melanjutkan, dia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah kanan di mana aroma itu berasal.
"Makanan…" pikirnya dengan penuh harapan.
Lalu, Kevin segera berlari menuju sumber aroma itu. Kakinya bergerak cepat, melewati bebatuan yang berserakan di lantai.
Tap… tap… tap!
Dia melompati batu-batu besar itu, melewati tanaman mati, dan terus mengikuti aroma manis yang semakin kuat. Pandangannya kini mulai fokus kembali, seolah-olah rasa lapar itu memberinya dorongan baru.
"Aku… harus… menemukannya…" ucapnya sambil berlari lebih cepat.
Akhirnya, Kevin tiba di depan sebuah jurang besar, dan setelah itu dia berhenti tepat di tepi jurang, sambil menatap ke bawah. Aroma manis itu ternyata berasal dari dasar jurang, tapi saat Kevin melihat kedalamnya, jurang itu seolah terlihat semakin sempit dan membuatnya kesulitan untuk menemukan lokasi dari aroma yang di ciumnya sebelumnya.
"Di sana…" katanya pelan.
Namun, jurang itu terlihat sangat dalam, dengan angin dingin yang mulai berhembus dari bawah sana, membuat Kevin sedikit ragu untuk melompat. Tapi rasa lapar yang luar biasa membuatnya tidak punya pilihan lain.
"Aku… harus… turun," katanya dengan nada yakin, meskipun tubuhnya sedikit gemetar.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Kevin mempersiapkan dirinya untuk melompat ke jurang gelap itu, dan berharap bisa menemukan sumber makanan yang dia cari.