Chereads / REVITER / Chapter 19 - PERMATA JIWA

Chapter 19 - PERMATA JIWA

Saat melawan monster Firerend Beast itu, Kevin terus menjaga jarak. Dia melompat mundur dengan cepat dari semburan api biru yang keluar dari mulut monster besar itu. Panas dari semburan api yang di keluarkan oleh monster itu begitu luar biasa, hingga membuat udara di sekitarnya terasa menyesakkan. Suara api yang menyala-nyala bergema di dinding gua saat semburan api biru dari monster itu mengenai area sekitarnya.

Fwoooosh!

Kemudian Kevin menatap monster itu dengan mata tajam, dengan tubuhnya yang terus bergerak cepat ke sisi lain gua, untuk mencari celah agar dirinya bisa menyerang balik. Namun, paruh besar yang bergerigi dan tempurung berdurinya terlihat begitu kokoh di matanya.

"Aku… harus… memikirkan… sesuatu," gumamnya dengan napasnya yang terdengar berat.

'Semburan api yang di keluarkan monster itu terlalu kuat,' pikir Kevin dalam hati. 'Walaupun tubuh ku ini memiliki regenerasi yang cepat, tapi jika aku terlalu dekat, aku tetap akan terluka dan pasti regenerasi dari tubuh ku ini memiliki batasan nya sendiri.'

Dalam situasi yang menegangkam itu, dia terlihat sedang melirik ke dinding-dinding gua di sekitarnya, berharap ada sesuatu yang bisa digunakan untuk melawan balik. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh lagi, monster itu bergerak maju dengan langkah yang berat.

Dum… dum… dum!

"Monster… ini… sangat keras… kepala," kata Kevin dengan nada rendah. "Tapi aku… tak… akan kalah… begitu saja!"

Dengan tekad yang mulai membara, Kevin langsung melompat tinggi ke udara, sambil mencoba menghindari semburan api yang datang kearahnya. Tangannya terkepal kuat saat dia membidik tempurung berduri monster itu.

"Rasakan… ini!" teriaknya sambil menghantamkan pukulannya ke punggung dari monster tersebut.

Boom!

Seketika, hantaman keras itu menciptakan gelombang kejut yang memecahkan tanah di bawah monster itu, membuat retakan besar yang menjalar di lantai gua. Tubuh besar dari monster itu bahkan terdorong ke bawah setelah terkena pukulan dari Kevin, dan tenggelam sedikit ke dalam retakan di bawahnya.

Namun, ketika Kevin menarik tangannya, dia terkejut. Tempurung monster itu tetap utuh, bahkan tidak sedikit pun retak. Sebaliknya, tangan kanannya terasa berdenyut nyeri setelah melakukan pukulan kuat tadi.

"Ah… ini… sakit," gumamnya sambil melihat telapak tangannya yang sedikit memar. Namun, dalam beberapa detik, luka itu mulai sembuh dengan sendirinya.

'Regenerasi ini… sungguh luar biasa,' pikirnya. 'Tapi tempurung monster ini… terlalu keras.'

Dengan cepat, Kevin melompat mundur ke belakang monster itu, menjauh dari monster yang mulai menggeliat. Tempurungnya yang keras membuat Kevin menyadari bahwa pukulan biasa tidak akan cukup untuk mengalahkannya dalam sekejap.

Kemudian, monster itu perlahan mulai berbalik, tubuhnya berputar dengan gerakan yang membuat ujung ekornya menghantam dinding gua keras.

Crash!

Hantaman tersebut membuat potongan batu beterbangan ke segala arah, dan terciptalah lubang kecil yang lumayan dalam. Saat monster itu berbalik sepenuhnya, mulutnya kembali terbuka, dan semburan api biru keluar untuk sekali lagi.

Fwoooosh!

Kevin terus melompat mundur setelannya, dan mencari celah untuk menyerang balik. Namun, semburan api itu tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

"Tempurungnya… kuat. Apinya… terlalu… panas. Apa yang… harus aku… lakukan?" Kevin bergumam dengan frustasi.

Untuk sejenak, setelah lumayan jauh dari jangkauan semburan api tersebut, dia menatap sekelilingnya dengan matanya yang tertuju pada dinding gua yang penuh batu besar. Tiba-tiba, ada sebuah ide terlintas di benaknya.

"Batu… ini," katanya dengan nada pelan. "Mungkin aku… bisa… mencobanya…"

Dengan segera dia langsung menghancurkan salah satu bagian dinding dengan pukulannya. Suara keras menggema di dalam gua setelah pukulannya mengenai permukaan dari dinding gua tersebut.

Boom!

Setelah itu, Kevin mengambil salah satu pecahan batu yang memiliki ujung lancip. Batu itu cukup besar untuk dipegang dengan satu tangan, dan terlihat tajam di salah satu sisinya.

"Ini… mungkin… bisa," gumamnya sambil memperhatikan batu itu.

Dengan kekuatan penuh, Kevin langsung melemparkan batu tersebut ke arah kepala monster itu. Batu itu melesat dengan sangat cepat, dan tertuju tepat pada kepala monster tersebut.

Melihat ada serangan yang menuju ke arah kepalanya, Monster itu langsung menarik seluruh tubuhnya ke dalam tempurung, membuat dirinya tampak seperti bola bundar yang gepeng.

Thwack!

Namun, bukannya melukai monster itu, batu tersebut justru pecah berkeping-keping saat mengenai tempurungnya yang sangat keras.

"Monster itu… ternyata… punya otak… juga," kata Kevin dengan nada putus asa.

Tapi, justru di saat itulah ada ide lain yang muncul di pikirannya.

"Celah… itu," gumamnya, matanya saat ini hanya tertuju pada sela-sela kecil di antara tempurung dan tubuh tersebut monster.

Tanpa ragu, Kevin segera melompat mendekati monster itu. Kali ini, dia merapatkan jari-jarinya menjadi lurus, membentuk ujung tajam seperti pedang. Dia tahu, kalau celah itu pasti adalah satu-satunya tempat di mana tempurung monster tidak akan melindunginya.

"Rasakan ini!" teriaknya sambil menusukkan tangannya ke celah tersebut.

Crack!

Tangannya seketika langsung menembus celah tersebut dan menusuk tubuh dari monster itu. Lalu, tanpa Kevin sadari, aura hitam pekat yang di milikinya keluar dari tangannya yang sedang menusuk tubuh dari monster tersebut dan langsung merayap masuk ke dalam tubuh dari monster tersebut.

Hal itu membuat tubuh monster itu menggeliat keras. Gerakannya semakin lama semakin melemah, hingga akhirnya berhenti total.

Fwoooosh…

Monster itu mengeluarkan suara terakhir sebelum tubuhnya berubah menjadi abu hitam yang beterbangan di udara. Saat ini, yang tersisa hanyalah tempurung besarnya yang berduri dan sebuah permata ungu seukuran tangan orang dewasa yang bersinar terang.

Untuk beberapa saat, Kevin menatap tangannya, dengan sedikit menunjukkan ekspresi terkejut setelah apa yang baru saja terjadi.

"Ber… berhasil," kata Kevin dengan pelan, matanya terpaku pada tangannya yang memiliki jari-jari tajam itu.

'Serangan ku… begitu kuat,' pikirnya. 'Tapi apa yang sebenarnya kulakukan tadi? Bukankah aku hanya menusuk tubuh monster barusan? Dan mengapa serangan ku barusan ini sangatlah kuat.'

Lalu, tanpa memperdulikan kejadian sebelumnya dengan perlahan Kevin mulai mengambil permata ungu itu, dan memegangnya dengan hati-hati. Sensasi dingin seketika terasa dari permata tersebut, tapi tidak cukup untuk membuat Kevin terkejut.

"Batu… ini," katanya sambil mengamati permata jiwa itu. "Sebenarnya… batu apa… ini?"

Sambil memegang permata jiwa itu, Kevin berdiri di tengah gua yang kini menjadi sepi. Kemudian dia menatap ke depan, siap untuk melanjutkan perjalanannya lagi meskipun banyak pertanyaan yang masih memenuhi benaknya.