Keesokan paginya, ketika sinar matahari mulai menyinari padang rumput, Nelius dan ketiga kesatria yang bertugas mengawal nya bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menaiki kuda mereka masing-masing, sambil menatap hutan kabut yang terbentang tak jauh lagi di depan mereka. Hutan itu tampak begitu pekat dan misterius, dengan kabut yang menggantung tebal di antara pepohonan besar dan tinggi.
"Hutan ini selalu membuatku merasa tidak nyaman saat melihatnya," gumam Magnus pelan sambil menatap hutan itu dengan raut wajah serius.
"Ya, seperti ada sesuatu di sana… sesuatu yang tampak sedang bersembunyi." sahut Ren sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian, Tom yang biasanya banyak berbicara sekarang nampak hanya terdiam sambil memegang kendali kudanya erat-erat. Dia seperti tampak waspada terhadap sesuatu.
Sesampainya di pinggir hutan kabut, Nelius mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar mereka berhenti. Dengan gerakan yang tenang, dia turun dari kudanya dan berjalan mendekati ketiga kesatria tersebut.
"Dengarkan aku baik-baik," ujarnya dengan suara rendah namun tegas. "Aku akan meminta izin kepada ketua suku yang ada di dalam hutan ini. Mereka memiliki hak untuk menentukan apakah kalian boleh masuk atau tidak."
"Kau ingin kami menunggu di sini?" tanya Magnus sambil menatapnya penuh perhatian.
"Ya, benar." jawab Nelius sambil mengangguk. "Tetaplah di sini dan berhati-hatilah. Hutan ini memiki kabut yang tebal Jika kalian nekat untuk memasukinya, dan kalian akan tersesat nantinya."
Kemudian, Ren menepuk pundak Nelius dengan lembut. "Kau juga hati-hati, Nelius. Hutan ini penuh kabut, jangan sampai tersesat ya."
"Ya, jangan terlalu lama di sana, kami akan menunggumu di sini." imbuh Tom sambil tersenyum tipis dan mencoba menghilangkan kecemasannya.
Setelah itu, Nelius membalasnya dengan senyuman kecil, lalu dia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam hutan yang dipenuhi kabut tebal itu.
Hush... hush...
Suara angin berembus pelan, membuat kabut bergoyang tipis di sekeliling Nelius. Langkahnya terasa lembut di atas tanah yang ditumbuhi lumut dan dedaunan basah. Kabut yang ada di sana begitu tebal, sampai-sampai pohon-pohon besar di depannya tampak samar untuk di lihat, dan hanya bentuk-bentuk bayangannya saja yang terlihat.
Seiring dia berjalan semakin dalam, suara dari ketiga kesatria itu mulai menghilang. Setiap langkahnya terasa semakin hening saat dia semakin berjalan ke dalam, dan hanya suara kicau burung-burung yang samar terdengar dari kejauhan.
Hiss... hiss...
Semakin dia melangkah, semakin pekat kabut yang menyelimutinya. Pandangannya saat ini pun sangat terbatas, dan hanya mampu melihat beberapa meter di depannya. Tiba-tiba, dari kejauhan, Nelius melihat seberkas cahaya yang terang. Dia lalu melangkahkan kakinya lebih cepat lagi menuju arah cahaya itu, sambil berharap menemukan tempat yang dia tuju.
Dan benar saja, kabut yang sebelumnya menyelimutinya sekarang perlahan menghilang, dan di depannya saat ini terbentang sebuah padang rumput hijau yang luas, dan penuh pepohonan yang lebih rindang. Di tengah padang rumput itu, dia melihat danau besar yang airnya memantulkan cahaya matahari, memberikan kesan tenang dan damai di hatinya.
Kemudian, Nelius mendekati tepi danau itu sambil memperhatikan airnya yang begitu jernih. Tepat di tengah-tengah danau, berdirilah sebuah bangunan yang sangat besar dengan empat pilar lancip yang menjulang tinggi ke angkasa.
"Itu dia dungeonnya," gumam Nelius sambil menatap bangunan itu penuh harapan yang besar. "Dungeon yang mungkin saja masih menyimpan Kristal Hitam yang aku cari."
Saat Nelius masih sibuk untuk melihat bangunan dungeon itu, tiba-tiba ada sebuah sentuhan lembut yang terasa di punggungnya.
Tep!
Hal itu seketika membuat Nelius tersentak, dan segera berbalik setelahnya. Di belakangnya saat ini berdiri seorang perempuan muda dengan wajahnya yang memiliki senyuman manis. Rambutnya pirang berkilau, dan telinganya yang sedikit lancip menunjukkan bahwa dia adalah seorang elf.
"Lama tak berjumpa, Nelius," sapa gadis itu dengan suara lembut. Dia tampak tak lebih dari lima belas tahun, namun pancaran matanya menunjukkan kebijaksanaan yang tinggi pada dirinya.
Kemudian Nelius tersenyum, merasa lega setelah melihat wajah yang dikenalnya. "Vira, apa kabar? Tak kusangka kau masih berada di hutan ini," balasnya dengan hangat.
"Aku baik-baik saja." jawab Vira sambil tersenyum manis. "Dan kamu? Kenapa kau ke sini lagi?"
Sebelum menjawab, Nelius menatap danau itu sejenak. "Aku datang untuk menemui tetua suku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya sekarang ini. Ini penting."
Setelah mendengar itu Vira langsung mengangguk. "Oh, tetua sedang berada di dalam rumahnya. Aku bisa mengantarkanmu jika kau mau," tawarnya sambil melangkah mendekat.
Namun Nelius menggeleng. "Tidak perlu, Vira. Aku sudah cukup tahu jalan ke sana. Terima kasih, kau benar-benar baik."
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan tetap berada di sini jika kau butuh bantuan dari ku." Dengan pandangan penuh persahabatan, Vira melambaikan tangannya dan duduk di tepi danau untuk menikmati hembusan angin yang sejuk.
Setelah mendapatkan informasi tentang keberadaan dari tetua, Nelius segera melangkah dan berlari kecil menuju rumah tetua yang terletak di dekat pepohonan besar di ujung padang rumput itu. Setiap langkahnya terdengar mantap di tanah yang berumput, sementara pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang ingin dia sampaikan kepada tetua elf tersebut.
Tok... tok… tok...
Suara ketukan terdengar dari pintu kayu rumah tetua elf yang menjulang tinggi, hampir sebesar tubuh Nelius sendiri. Dia menunggu dengan sabar di sana, sampai akhirnya pintu itu perlahan terbuka, dan muncul sosok tetua elf yang bernama Aelin Lumiana. Mata Aelin membelalak sedikit saat mengenali wajah yang sudah lama tak dia jumpai di depannya.
"Nelius? Kau kembali," gumamnya pelan.
"Benar, Tetua Aelin. Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu," ucap Nelius dengan senyuman kecil.
"Tak kusangka kau akan datang lagi ke hutan kabut ini."
"Aku juga tak pernah menyangka akan kembali ke sini begitu cepat setelah semua permasalahan yang ku hadapi sebelumnya."
Setelah menyapa dengan kehangatan, Tetua Aelin menggerakkan tangannya bermaksud untuk mengundang Nelius untuk masuk. Kemudian Nelius melangkah masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi cahaya lembut dari kristal bercahaya yang bergelantungan di langit rumah, memberikan suasana damai yang khas hutan kabut. Mereka pun duduk berhadapan di meja kayu kecil yang terlihat tua namun kokoh.
"Jadi, apa yang membawamu kembali ke tempat ini, Nelius?" tanya Aelin dengan nada yang lembut sambil menatap mata Nelius.
"Ada sesuatu yang sangat penting yang ingin ku bicarakan, Tetua Aelin. Kedatanganku ini bukanlah untuk urusan biasa."
"Oh? Sebegitu pentingkah?"
"Putriku, Melan, saat ini tengah keracunan. Racunnya tak biasa dan sulit untuk disembuhkan oleh ramuan-ramuan biasa, dan satu-satunya harapan adalah kristal hitam dari dalam dungeon itu. Kristal itu bisa menyerap racun yang menyelimuti tubuhnya."
Mendengar penjelasan itu, wajah Tetua Aelin langsung berubah menjadi serius. Dia terdiam sejenak, seolah-olah memahami kedalaman perasaan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya. Lalu, Nelius melanjutkan penjelasannya dengan suara lebih rendah.
"Selain itu, aku juga ingin meminta izin untuk membawa beberapa teman manusia bersamaku ke dalam hutan kabut ini. Karena… aku tak yakin bisa bertahan hidup sendirian di dalam dungeon tersebut."
Mendengar hal itu membuat tetua Aelin menarik napas panjang setelahnya, dengan ekspresinya yang seketika berubah. Kemudian dia menggeleng pelan, menunjukkan ketidaksenangan atas permintaan Nelius.
"Nelius, kau tahu aturan di sini kan? Hutan kabut ini tak lagi menerima para manusia hina oyi sejak perang besar beberapa tahun yang lalu, dan jika aku menyetujui permintaan mu ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya tentang apa yang akan mereka lakukan."
"Aku sangat paham tentang aturan itu, tetapi saat ini situasinya sangat mendesak."
"Aturan tetaplah aturan, Nelius. Hutan kabut ini adalah pelindung kami dari dunia luar, terutama dari manusia yang hina itu."
"Aku mohon… Kumohon izinkan mereka masuk, tetua, hanya untuk sementara saja. Mereka adalah orang-orang yang bisa kupercaya dan aku janji kalau mereka tidak akan berbuat hal yang aneh-aneh pada penghuni hutan kabut ini."
Walaupun Nelius terus memohon, Tetua Aelin tetap tak menyetujuinya dengan matanya yang masih menunjukkan ketidaksetujuan yang kuat. Namun, Nelius tidak menyerah, dia kemudian menundukkan kepalanya untuk memohon dengan suara lirih namun penuh harap.
"Ini demi nyawa putriku, Tetua… Aku hanya ingin yang terbaik untuknya."
Untuk sejenak, suasana di sekitar mereka menjadi hening dan hanya terdengar suara napas berat dari Tetua Aelin yang tengah merenung. Wajahnya yang semula dingin perlahan mulai melunak, mungkin karena memahami ketulusan yang terlihat dalam tatapan mata Nelius. Nelius terus memohon, dan Tetua Aelin seolah tak tega melihatnya.
"Baiklah, Nelius," jawabnya pelan, suaranya agak berat saat itu, "Kali ini saja, aku akan membuat pengecualian untuk mu."
Seketika, ekspresi wajah Nelius berubah lega dan penuh rasa terima kasih yang dalam.
"Terima kasih, Tetua Aelin. Aku… Aku tak tahu bagaimana harus membalasnya," ucapnya tulus.
Kemudian Tetua Aelin mengangguk perlahan dan melanjutkan, "Ingat, hanya kali ini saja, dan jangan sampai aturan ini disalahgunakan."
Nelius mengangguk dengan mantap setelahnya, dengan hatinya dipenuhi rasa syukur. Lalue, dia juga sudah tak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini kepada Magnus dan yang lainnya.