Sebelum melangkah masuk, Kevin menarik napas dalam-dalam sambil terus menatap lingkaran sihir di depannya yang kini berubah menjadi berwarna hitam. Di luar gua, masihlah terdengar gemuruh yang mengerikan, seperti suara para monster yang terus berdesakan, yang berusaha masuk meski pintu gua yang kecil menjadi penghalang bagi mereka. Dalam sekejap, Kevin menyadari bahwa pertahanan gua ini tidak akan bertahan lama dan di saat itulah dia harus segera mengambil keputusan.
Dengan langkah yang mantap, dia mulai mendekati lingkaran sihir itu. Setiap langkahnya terasa berat saat dia langkahkan, tetapi dia tidak boleh berhenti di sini. Begitu sampai di tengah lingkaran sihir tersebut, Kevin berdiri tegak sambil menunggu dengan penuh kecemasan di sana. Namun, tidak ada yang terjadi setelahnya dan lingkaran sihir itu tampak diam, seolah tidak merespons kejadiannya.
'Kenapa lingkaran sihirnya tidak mau aktif? Apa jangan-jangan aku salah dalam membuatnya?' pikirnya.
Untuk sejenak dia memandang lingkaran itu dengan sedikit keraguan. Namun sebelum bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba tanah di bawahnya bergetar hebat.
Dug… dug…
Gemuruh yang menggelegar menggema, dan dari dalam lingkaran sihir tersebut muncullah tekanan yang sangat kuat yang menarik tubuhnya ke bawah. Meski luka-luka menganga di sekujur tubuhnya, meski tangan kirinya kini sudah hilang, Kevin tetap berusaha untuk bertahan. Hal itu dia lakukan hingga membuat kakinya terbenam masuk ke dalam tanah, tetapi tubuhnya masih bergetar hebat karena tekanan yang kuat tersebut.
'Apa yang terjadi?' pikirnya sambil berusaha memahami situasi di tengah rasa sakitnya yang semakin parah.
Tiba-tiba, munculah akar-akar hitam yang tajam dan berduri yang muncul dari lingkaran sihir di bawahnya itu, dan langsung melesat ke arahnya. Dalam sekejap, akar-akar tersebut melilit tubuhnya, lalu mengikatnya dengan erat hingga dia tak bisa bergerak sedikitpun.
Ceklek… ceklek…
Duri-duri tajam dari akar itu menembus kulitnya, menggores, dan mencabik-cabik daging di dalamnya. Seketika darah merah mengalir deras, dan menetes ke lingkaran sihir di bawahnya. Rasa sakit itu tak tertahankan baginya dan setiap duri yang ada seolah menyayat nya lebih dalam.
"Aaarghh!" jeritnya dengan suara monsternya yang sangat menakutkan. Jeritan itu seketika memenuhi gua yang sunyi di sekitarnya.
Dengan tubuh yang masih dan terus bergetar, Kevin berusaha bertahan. 'Aku harus bisa menahannya,' pikirnya, memaksa dirinya untuk tidak menyerah.
Namun, penderitaan itu belum berakhir sampai di situ saja. Petir merah mulai berkilat di sekitar lingkaran sihir tersebut, memancar dengan kuat dan dengan tiba-tiba langsung menyambar tubuhnya Kevin.
Bzzzt! Craack!
Kilatan petir itu menghantam dan menyambarnya dengan keras, membuat setiap bagian tubuhnya terasa terbakar. Setiap sambaran dari petir tersebut semakin menambah rasa sakit yang terus menusuk nya. Dan tidak lama kemudian, aura hitam yang pekat mulai muncul dan menyelimuti gua di sekelilingnya, aura itu merambat keluar hingga melewati pintu gua yang kecil.
Di luar gua, aura hitam itu terus menyebar, membuat para monster yang tadinya memaksa untuk masuk seketika terdiam sejenak. Mereka merasakan ancaman gelap yang menakutkan dari aura tersebut.
Beberapa detik kemudian, monster-monster itu mulai panik dan melarikan diri dari sana. Mereka berlari ketakutan, menjauh dari gua yang kini dipenuhi oleh aura hitam yang mematikan. Tanaman merambat dan jamur-jamur di sekitarnya yang terkena aura itu langsung layu, mati, dan membusuk dalam sekejap.
Sementara itu, di dalam gua, Kevin masih berjuang melawan rasa sakit yang luar biasa. Akar berduri yang melilit tubuhnya semakin mengencang, seolah-olah mencengkeram sampai ke tulang-tulangnya, sementara petir merah terus menyambarnya tanpa henti dari berbagai arah.
'Jangan menyerah… aku… harus… bisa bertahan…' bisiknya pelan dalam hati, setengah menderita, tapi semangatnya masih terus menyala.
Aura gelap yang pekat di sekelilingnya semakin menutupi tubuhnya dan menghalangi pandangannya. Walaupun kesadarannya mulai memudar seiring berjalannya waktu, Kevin berusaha untuk tetap terjaga. Tiba-tiba, petir merah yang menyambarnya terlihat mulai berhenti.
Ssssst…
Suara desis lembut terdengar saat petir itu perlahan-lahan mereda. Hal itu juga di susul oleh akar hitam berduri yang sebelumnya melilit tubuhnya juga mulai melepaskan cengkeramannya. Mereka perlahan menarik diri, dan kembali ke dalam lingkaran sihir yang terus memancarkan aura gelap.
Setelah ikatan dari akar berduri tersebut hilang, Kevin terjatuh di atas lingkaran sihir dengan tubuh yang penuh banyak luka. Aura hitam pekat masih menyelimuti tubuhnya, membuatnya sulit terlihat dengan jelas.
Kevin, yang kini sudah tergeletak tak berdaya, telah mengalami siksaan yang mengerikan, namun semangat juangnya tetap ada, meski hanya tersisa dalam kesadaran yang hampir lenyap.
*****
Di kerajaan Berovia yang jauh, sebuah pemanggilan pahlawan dilakukan, tak seperti kerajaan lain yang hanya mampu memanggil satu pahlawan, Berovia berhasil menghadirkan enam pahlawan sekaligus. Hal itu dicapai karena adanya seorang penyihir legendaris bernama Penyihir Merah.
Meski dia telah berusia lebih dari seratus tahun, wajahnya tetap segar dan muda, seolah hanya berusia dua puluhan. Awalnya, Penyihir Merah datang ke Berovia hanya untuk bertemu anaknya, namun ia justru terlibat dalam pertarungan sengit melawan kawanan wyvern dan seekor naga emperor yang menyerang kerajaan Berovia. Setelah mengalahkan mereka, Penyihir Merah dipanggil ke istana oleh komandan kesatria Magnus. Di sanalah Raja Darius Berovia memohon bantuannya untuk memanggil para pahlawan, demi persiapan melawan ancaman Raja Iblis yang kabarnya akan segera bangkit.
Namun, setelah pemanggilan itu, kabar buruk menyebar ke seluruh istana. Ratu Melan Berovia yang merupakan istri Raja Darius, tiba-tiba jatuh sakit akibat keracunan yang misterius. Raja Darius yang biasanya tegar terlihat gelisah dan cemas, memikirkan nasib istrinya yang semakin melemah seiring berjalannya waktu. Para tabib mencoba berbagai ramuan, tetapi racun tersebut seolah menolak semua usaha penyembuhan, meninggalkan raja dalam ketidakberdayaan dan kecemasan yang mendalam.
Di tengah situasi genting itu, Penyihir Merah yang juga ibu dari Ratu Melan, bertekad menyelamatkan putrinya. Dengan keberanian dan tekad yang bulat, ia memutuskan untuk mencari Kristal Hitam yang berada di dalam dungeon di Hutan Kabut, sebuah tempat yang begitu berbahaya hingga hanya Penyihir Merah saja yang bisa memasukinya. Hutan ini diselimuti kabut abadi yang menghalangi siapa pun dari melihat jalan di dalamnya, dan dihuni oleh makhluk-makhluk langka yang terjaga oleh kabut pekat itu.
Di bawah langit pagi, empat sosok berkuda melaju cepat dengan tekad bulat. Di barisan depan ada Nelius Iris yang merupakan Penyihir Merah yang penuh wibawa, dia sekarang sedang memimpin jalan dengan mantelnya yang berwarna merah pekat, berkelebat di belakang punggungnya setiap kali angin berembus.
Di sampingnya ada Magnus Stormshield, sang komandan kesatria yang kokoh dengan baju zirah yang bersinar di bawah cahaya pagi. Di belakang mereka ada dua kesatria setia, Ren dan Tom yang terlihat sedang mengatur langkah kuda mereka, untuk menyeimbangkan diri mereka dalam mengikuti gerakan pemimpin mereka.
"Ini mungkin adalah perjalanan yang panjang," gumam Ren sambil melirik ke arah Nelius. "Tapi, bagaimana kita bisa menempuh jarak sejauh itu dalam waktu singkat seperti ini?"
Mendengar hal itu, Nelius hanya tersenyum tipis dan sedikit menoleh kearahnya. "Kita hanya perlu fokus dan tidak terlalu memikirkan jarak, Ren. Ada tujuan yang lebih besar dari sekadar mencapai hutan kabut itu," katanya dengan lembut namun tegas. Kata-katanya bergema di antara suara langkah kuda yang mantap.
Tuk... tuk... tuk...
Sementara itu, Magnus saat ini terus mengamati medan yang ada di depan mereka yang mulai terlihat berbatu dan terjal. "Perjalanan ini akan semakin sulit. Di sini tidak ada lagi jalan yang rata," ujarnya sambil menahan kendali dari kudanya.
Kemudian Tom yang sudah terbiasa dengan medan seperti ini langsung mengangguk. "Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati lagi. Apalagi dengan kerikil yang licin ini," ujarnya sembari menatap kakinya sambil mengantisipasi setiap gerakan kuda di bawahnya.
Setelah beberapa jam berlalu, mereka akhirnya tiba di sebuah sungai besar yang alirannya begitu deras. Riak-riak air yang deras menghempas karena tertabrak bebatuan dan menghasilkan suara yang bergemuruh.
BYURR! BYURR! BYURR!
Kemudian, Nelius mengangkat tangannya untuk memberi isyarat kepada ketiga kesatria untuk berhenti. Lalu, dia turun dari kudanya dan menatap sungai itu dengan penuh keyakinan.
"Sungai ini terlalu deras untuk dilalui oleh kuda kita," katanya sambil berjalan ke tepi.
"Lalu, bagaimana kita menyeberang, Nelius?" tanya Magnus sambil mengernyitkan dahinya.
Dengan senyuman penuh keyakinan, Nelius kemudian merapalkan mantra sihir tanahnya. Perlahan, bebatuan besar muncul dari bawah air dan menyusun diri menjadi jembatan kokoh yang membentang di atas arus deras sungai.
"Kita bisa menyeberangi jembatan ini," ucap Nelius dengan tenang.
Saat setelah melihat sihir yang di gunakan oleh Nelius, Ren langsung menatapnya dengan kagum. "Kekuatan sihir yang luar biasa..."
Setelah itu semuanya memacu kudanya satu per satu melewati jembatan dari tanah tersebut dengan hati-hati. Setelah semuanya berhasil melewati jembatan tersebut, Nelius menggerakkan tongkat sihirnya kembali, dan seketika jembatan itu hancur dalam sekejap, menjadi bebatuan kecil dan kembali tersapu oleh derasnya arus sungai.
Brakkk!
Ketika Magnus melirik Nelius, rasa kagumnya terpancar dari matanya. "Kau selalu tahu apa yang harus dilakukan, Nelius."
"Ini bukan tentang tahu, Magnus," jawabnya sambil menahan senyuman. "Ini tentang memahami apa yang diperlukan di saat seperti ini."
Kemudian, perjalanan mereka pun berlanjut lagi untuk menuju pegunungan terjal yang membentang di depan. Mereka melewati bebatuan besar dan kecil yang kadang bergoyang di bawah langkah kuda yang mereka naiki. Tanpa peringatan apapun, Magnus yang sekarang ada di depan, tiba-tiba menarik tali kudanya.
"Hati-hati, di sini pijakan sangat licin," ujarnya.
"Jangan khawatir, kami akan mengikuti jejakmu, Komandan." ucap Tom yang berada di belakangnya.
Namun saat mereka melintasi tebing yang curam, tiba-tiba bebatuan yang menjadi pijakan Ren mulai bergoyang dan roboh seketika.
Krakk!
Pada akhirnya hal itu membuat Ren kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh dari kudanya dan hampir terperosok ke jurang. Tapi untungnya, Magnus dengan cepat mengulurkan tangannya dan dengan cepat pula dia menggenggam tangannya Ren yang mengakibatkan Ren tak jadi jatuh kebawah.
"Pegang yang erat, Ren!" seru Magnus dengan tegas.
Sambil terus berpegang erat, Ren juga berusaha keras untuk menarik dirinya, hingga membuatnya berkeringat dan menahan napas untuk sejenak. "Terima kasih, Komandan. Tanpa bantuanmu, aku mungkin sudah jatuh ke jurang ini. Dan maaf aku sudah merepotkan mu."
"Tidak apa-apa. Yang terpenting saat ini adalah kau baik-baik saja." sahut Magnus.
Setelah itu, Nelius menghela napas lega karena melihat Ren berhasil naik kembali. "Inilah pentingnya bekerja sama. Tidak semua hal bisa kita lakukan sendirian," ujarnya sambil tersenyum lembut.
Saat setelah mengalami kejadian itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih hati-hati lagi. Setiap pijakan diperiksa dengan seksama, dan mereka bergantian memimpin untuk memastikan tidak ada yang mengalami bahaya lagi. Akhirnya, ketika senja hampir tiba, mereka keluar dari jalur pegunungan dan tiba di sebuah padang rumput yang luas. Hanya beberapa pohon besar yang terlihat berdiri di sana, bayangannya memanjang ke arah timur, seolah-olah memberikan kesan tenang di tengah-tengah hari yang akan berakhir.
"Kita berkemah di sini malam ini," ujar Magnus sambil turun dari kudanya dan menyiapkan perlengkapan.
Ren dan Tom mengangguk lalu dengan segera menurunkan persediaan dari kuda mereka. Sedangkan untuk Nelius, dia nampaknya tengah memperhatikan langit yang mulai gelap dan berkata, "Besok kita akan memasuki Hutan Kabut. Kita perlu beristirahat sebaik mungkin malam ini."
"Ya, kau benar. Kita belum tahu tentang apa yang ada di dalam hutan kabut itu dan apalagi dungeon yang ada di dalamnya." sahut Magnus.
Sambil menyalakan api unggun, Ren mendekat ke arah Nelius. "Menurutmu, Nelius, apakah kita benar-benar bisa menemukan Kristal Hitam itu di sana, di dalam dungeon yang belum pernah di jelajahi oleh manusia?"
"Kalau kita yakin, kita pasti akan mendapatnya, dan kita akan kembali ke kerajaan Berovia bersama kristal hitam itu." jawab Nelius dengan tatapan lembut ke arah kobaran api yang tengah menyala.
"Sebenarnya aku selalu memikirkan ini semenjak kita semua ingin pergi ke hutan kabut itu." ucap Tom sambil menatap kearah bekalnya. " Apakah sebenarnya hutan kabut itu berbahaya? Atau ada hal lain membuat manusia mewaspadai untuk datang ke hutan kabut ini?"
"Kalau di bilang berbahaya… mungkin tidak. Soalnya aku pernah masuk kedalamnya untuk beberapa kali dan berhasil selamat." jawab Nelius.
Lalu bagaimana dengan perkataan orang-orang mengenai hutan kabut yang selalu memakan makanan korban itu? Apakah itu hanya kebohongan?" tanya Ren yang kelihatan sangat penasaran.
"Sudah pasti itu adalah sebuah kebohongan yang di sebar luaskan oleh orang-orang dengan alasan yang kurang jelas. Dan bukankah Nelius sudah berkata kalau dia pernah masuk kedalam sana dan kembali tanpa terkena apapun." ujar Magnus.
Nelius mengangguk. "Ya, seperti apa yang di katakan oleh Magnus, itu sepertinya adalah kebohongan."
"Oh begitu ya." sahut Ren sambil menyantap makanannya.
Di depan mereka, api berkobar dengan lembut sambil terus memancarkan cahaya hangat yang menyelimuti mereka semua di bawah langit yang perlahan-lahan dipenuhi bintang.