Pagi itu, Ryota bangun dengan perasaan berat di dadanya. Wajah Yukina yang menangis terus menghantuinya. Ia mencoba mengalihkan pikiran sambil bersiap-siap ke sekolah, tapi rasa bersalah itu tetap mengikutinya, seperti bayangan yang tak bisa ia abaikan.
Di sekolah, ia langsung menuju tempat duduknya tanpa sepatah kata. Hiro dan Takumi, sahabatnya, memperhatikan perubahan sikapnya dengan tatapan khawatir. "Hei, kau kenapa? Kau terlihat seperti habis dihajar mimpi buruk," Hiro mencoba bercanda.
Ryota hanya tersenyum tipis. "Tidak ada apa-apa," jawabnya singkat. Tapi mata Hiro dan Takumi menangkap sesuatu yang tak biasa, meskipun mereka memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh.
Pelajaran berlalu dengan lambat. Setiap suara guru di depan kelas terdengar seperti gema jauh di telinga Ryota. Hingga bel istirahat berbunyi, ia merasa seperti sedang terjebak dalam dimensi lain.
Mereka bertiga berkumpul di kantin seperti biasa. Takumi menyantap makanannya dengan semangat, sebelum tiba-tiba bertanya, "Hei, Ryota. Kemana Yukina? Aku tidak melihatnya di sekolah hari ini."
Ryota terdiam sejenak. Pertanyaan itu menusuk hatinya seperti duri yang tertanam dalam. "Aku tidak tahu," jawabnya, berusaha terdengar acuh. "Kami... sudah tidak bersama lagi."
Hiro hampir tersedak mendengar jawaban itu. "Apa? Bukankah kalian baru saja terlihat begitu bahagia kemarin? Apa yang terjadi?"
Ryota mengangkat bahu. "Seperti yang kukatakan kemarin. Hubungan kami memang hanya sementara." Nada suaranya terdengar datar, tapi dalam hati, ia merasa remuk.
Hiro mengernyit. "Tapi kenapa? Kau bahkan tidak terlihat senang dengan keputusan itu. Apa ini soal sesuatu yang lebih besar?"
Ryota menghela napas panjang, lalu tiba-tiba mengangkat wajahnya, mencoba memasang senyum kecil meskipun canggung. "Ngomong-ngomong, Hiro, soal pekerjaan yang kau bicarakan kemarin. Kau bilang restoran cepat saji itu sedang butuh orang, kan?"
Hiro melongo sejenak, tidak menyangka Ryota tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Eh? Iya... Memangnya kenapa?"
"Aku butuh pekerjaan paruh waktu. Kalau masih ada lowongan, aku ingin melamar," ucap Ryota, suaranya lebih stabil dari sebelumnya.
Takumi bersandar ke kursi sambil menatap Ryota dengan curiga. "Tunggu, tunggu. Kau mau menghindari pembicaraan ini, ya?"
Ryota menatap Takumi tajam, meskipun senyum tipisnya masih ada. "Aku cuma ingin menghasilkan uang sendiri. Kau mau mengomel soal itu juga, Takumi?"
Hiro tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Baiklah, baiklah. Kalau kau serius, temui aku setelah sekolah. Aku akan mengenalkanmu pada manajernya."
Ryota mengangguk, merasa lega topik itu tidak diperpanjang lagi.
---
Setelah jam sekolah selesai, Ryota berjalan menuju restoran cepat saji yang dimaksud Hiro. Restoran itu berada di sudut jalan yang cukup ramai. Dari luar, bangunan sederhana dengan jendela besar memperlihatkan beberapa pelanggan yang menikmati makanan mereka. Logo restoran yang berwarna cerah bersinar terang, kontras dengan matahari sore yang mulai tenggelam.
Begitu masuk, aroma khas kentang goreng dan ayam panggang menyambut Ryota, bercampur dengan suara penggorengan dan dentingan piring dari dapur. Ruangan itu dipenuhi kursi dan meja kecil yang sebagian besar sudah ditempati pelanggan. Lampu neon memberikan cahaya hangat, menciptakan suasana yang nyaman.
Di salah satu meja dekat jendela, Hiro melambaikan tangan. Di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan kemeja putih rapi dan dasi yang sedikit longgar. Pria itu terlihat santai, sambil meminum kopi dari gelas kertas.
Ryota berjalan mendekat. "Maaf aku terlambat."
Hiro tersenyum. "Kau tepat waktu, kok. Ryota, kenalkan, ini Pak Sugimoto, manajer restoran ini. Pak Sugimoto, ini temanku yang ingin melamar kerja."
Pria itu menatap Ryota dengan ramah. "Ah, Ryota, ya? Duduklah. Hiro sudah cerita sedikit tentangmu."
Ryota duduk, berusaha terlihat sopan meskipun sedikit gugup. "Terima kasih telah meluangkan waktu, Pak Sugimoto."
"Tak masalah," jawab Sugimoto sambil tersenyum. "Kami memang sedang butuh tambahan tenaga. Kerjanya sederhana, tapi kau harus siap bekerja keras. Apa kau yakin bisa mengatur waktu antara sekolah dan pekerjaan?"
Ryota mengangguk tegas. "Saya yakin, Pak. Saya ingin mencoba mengurus diri saya sendiri."
Sugimoto tertawa kecil. "Bagus. Semangat seperti itu yang kami cari. Kalau begitu, kau bisa mulai besok sore. Hiro akan memberimu seragam dan menjelaskan tugas-tugasnya. Selamat bergabung."
Ryota menghela napas lega, lalu membungkuk hormat. "Terima kasih, Pak Sugimoto."
Setelah pertemuan selesai, Hiro dan Ryota keluar restoran. Matahari telah tenggelam, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Suasana malam yang dingin mulai terasa, tapi Ryota merasa sedikit hangat.
"Jadi, kenapa tiba-tiba kau ingin kerja, huh?" tanya Hiro sambil melipat tangan di belakang kepala.
Ryota hanya tersenyum samar. "Ada hal-hal yang ingin aku selesaikan dan aku butuh uang untuk melakukannya."
Hiro mengerutkan kening, tapi tidak bertanya lebih jauh. "Baiklah, semoga berhasil. Tapi ingat, jangan lupa istirahat."
Ryota mengangguk, lalu berpisah jalan dengan Hiro. Ia menatap langit malam sambil memasukkan tangannya ke saku. Angin dingin menyentuh wajahnya, tapi ia merasa sedikit lebih ringan.
---
Keesokan paginya, Ryota berjalan menuju gerbang sekolah seperti biasa. Tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di sana. Yukina.
Dia terlihat seperti biasanya—senyumnya lembut, matanya bercahaya, seolah tidak ada yang pernah terjadi.
"Selamat pagi, Ryota-kun," sapa Yukina, suaranya ceria seperti biasa.
Ryota bingung. Ia mencoba membaca ekspresinya, mencari tanda-tanda kesedihan atau kemarahan, tapi yang ia temukan hanyalah kehangatan. "Pagi..." balasnya ragu.
Mereka berjalan bersama menuju kelas, berbicara ringan seperti dulu. Tapi tiba-tiba, Yukina menghentikan langkahnya. Tatapannya berubah serius, dan senyumnya memudar.
"Ryota-kun," ucapnya pelan, tapi ada kekuatan dalam nada suaranya. "Aku tahu apa yang kau lakukan itu karena kau ingin melindungiku. Tapi kau salah. Ini... lebih menyakitkan daripada kau bisa bayangkan."
Ryota terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Yukina melanjutkan, suaranya bergetar, "Aku tahu... perasaanku padamu mungkin hasil dari sihir. Tapi kehangatan yang aku rasakan saat bersamamu, senyumanmu... semua itu nyata bagiku. Dan aku ingin itu terus berlanjut, setidaknya sampai kontrakmu dengan Yumeko berakhir."
Mata Ryota melebar. "Yukina, kau tidak mengerti—"
"Aku mengerti, Ryota!" potong Yukina, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi... jika aku harus memilih antara hidup tanpa dirimu atau menjalani cinta yang kau sebut palsu ini, aku akan tetap memilih bersamamu."
Ryota hanya bisa terdiam, terpaku pada tekad Yukina yang begitu kuat. Ia merasakan dadanya sesak, tidak tahu apakah ini rasa bersalah, rasa lega, atau sesuatu yang lain.
"Jadi, kumohon," lanjut Yukina, suaranya melembut. "Biarkan aku tetap di sisimu... meski hanya untuk sementara."
Ryota menatap Yukina dalam-dalam. Di balik semua kebimbangan dan rasa bersalahnya, ia melihat kejujuran yang tulus. "Baiklah," gumamnya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
Yukina tersenyum lembut meski air matanya mengalir. "Terima kasih, Ryota-kun."
Langit pagi yang cerah tampak seolah ikut bersinar lebih terang, mengiringi langkah mereka memasuki sekolah. Namun di dalam hati Ryota, badai yang lebih besar baru saja mulai terbentuk.