Chereads / Heartstrings under Hypnosis / Chapter 8 - Chapter 8: Kebenaran

Chapter 8 - Chapter 8: Kebenaran

Ryota dan Yukina berjalan bersama menuju sekolah, dengan mata-mata penuh rasa ingin tahu dari para siswa yang berkumpul di dekat gerbang. Para gadis berbisik-bisik, tatapan mereka tajam seolah tak percaya melihat Yukina—yang biasanya begitu dingin—berjalan santai dengan Ryota.

"Kenapa sih Yukina mau sama dia?" bisik seorang gadis dengan tatapan heran.

Sementara itu, beberapa anak laki-laki memandang Ryota dengan rasa iri yang mencolok. Di balik senyum mereka, jelas ada pertanyaan yang sama: Bagaimana Ryota bisa dekat dengan gadis seperti Yukina?

Ryota menghela napas dalam hati, merasa situasi ini hampir tak tertahankan. "Apa aku bisa melewati semua ini?" batinnya, mencoba untuk tak terlalu peduli. Yukina sendiri tampak tidak terpengaruh sama sekali, bahkan sempat melambaikan tangan pada Ryota sebelum mereka berpisah di depan kelas masing-masing.

Sesampainya di kelas, Ryota segera melihat dua sahabatnya, Takumi dan Hiro, yang sudah duduk dengan ekspresi penasaran menunggu. Takumi, yang biasanya santai, sekarang menatap Ryota dengan mata tajam, sementara Hiro memasang wajah penuh tanya. Begitu Ryota mendekat, Takumi langsung melontarkan sapaan.

"Hei, Ryota! Wah, akhirnya datang juga," katanya dengan nada setengah meledek. "Gimana tuh, bisa jalan bareng Yukina si Ratu Es? Ada kejadian apa semalam?"

Hiro menimpali dengan senyum usil, "Iya, Ryota, coba jelasin! Apa yang terjadi? Kok tiba-tiba Yukina dekat sama kamu?"

Ryota tertawa kecil, mencoba mengalihkan rasa gugupnya. "Ah, cuma kebetulan aja, nggak ada yang spesial. Sungguh."

Takumi menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban Ryota. "Hah, masa kebetulan? Jangan main aman, bro! Kalau cuma kebetulan, nggak mungkin sampai jalan bareng begitu! Ayo, jujur aja, kita sahabat, kan?"

Ryota menggaruk belakang kepalanya, mencoba tetap tenang. "Ya, kurasa hubungan kami tak akan berlangsung lama, ini seperti hubungan sementara..." ucapnya pelan, mencoba mencari alasan yang aman.

Takumi tertawa pendek. "Hubungan sementara, ya? Jangan-jangan kamu cuma dijadiin mainan sama Yukina? Kalau begitu, harusnya kamu sudah tahu resikonya."

Hiro menepuk bahu Ryota sambil tertawa, "Nggak usah stres gitu! Siapa tahu hubungan 'sementara' itu malah berubah jadi serius."

Ryota tertawa lemah, lega mendengar mereka tidak terlalu mencurigainya. Mereka bertiga pun mulai berbincang seperti biasa, melupakan sejenak rasa canggung tadi. Percakapan mereka bergulir santai, mengisi waktu sebelum pelajaran dimulai. Takumi dan Hiro bergantian meledek Ryota, tapi tetap dengan tawa bersahabat yang membuat Ryota merasa nyaman. Dalam hati, ia bersyukur mereka tidak mengajukan pertanyaan lebih jauh.

Waktu istirahat pun tiba, dan Ryota serta teman-temannya berjalan ke kantin, melewati lorong-lorong sekolah yang dipenuhi siswa lainnya. Di sepanjang dinding koridor, hiasan poster acara festival sekolah yang akan datang tampak mulai dipasang. Sekelompok siswa tampak sibuk menempelkan poster baru, sementara yang lain berkumpul membicarakan rencana mereka untuk festival itu.

Setibanya di kantin, aroma harum makanan menguar dari balik meja-meja kantin yang ramai. Murid-murid tampak berbaris untuk membeli makanan, dan beberapa bahkan menaruh buku pelajaran mereka di meja agar tidak kehilangan tempat duduk. Ryota, Takumi, dan Hiro mengambil nampan mereka masing-masing, kemudian menuju ke pojok kantin yang biasanya mereka jadikan tempat berkumpul. Sambil makan, Ryota memikirkan rencananya untuk mencari pekerjaan paruh waktu dan akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Hiro, Takumi, kalian tahu nggak tempat yang lagi cari pekerja paruh waktu?"

Takumi mengangkat bahu, tapi Hiro mengangguk. "Oh, ada kok! Di dekat taman kota, ada restoran cepat saji yang lagi butuh pekerja kasir. Gajinya lumayan buat ukuran anak SMA."

"Serius?" Ryota bertanya, mulai merasa harapan kecil tumbuh di hatinya.

"Yup," Hiro mengangguk. "Aku punya kenalan di sana, nanti bisa kutanyain juga kalau kamu tertarik."

Percakapan mereka berlangsung santai hingga bel masuk kembali berbunyi. Mereka kembali ke kelas masing-masing, menjalani sisa pelajaran dengan tenang hingga akhirnya jam sekolah berakhir.

Begitu sampai di loker sepatu, Ryota mendapati Yukina sudah berdiri di sana, bersandar di loker dengan tatapan serius. Ketika Yukina melihatnya, ekspresinya berubah, dan ia langsung memeluk Ryota dengan spontan. Wajahnya terlihat sedikit cemberut.

"Ke mana saja kamu tadi siang? Aku mencarimu, tahu," katanya dengan nada menggemaskan yang membuat Ryota bingung harus merespons bagaimana.

"Eh… aku pergi sama teman-temanku. Maaf nggak bilang." Ryota tertawa canggung, sambil berpikir betapa tidak biasanya melihat Yukina, si gadis dingin ini, menunjukkan ekspresi seperti itu.

"Ya sudah, yang penting sekarang kamu di sini," jawab Yukina, tangannya masih erat menggenggam tangan Ryota. "Ayo pulang bareng!"

Ryota mengangguk, tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka berjalan dalam keheningan, hanya diiringi suara langkah kaki mereka di trotoar dan suara lembut angin yang berhembus di sekitar taman kecil dekat rumah mereka. Di kejauhan, sinar matahari mulai meredup, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.

Di bawah pepohonan yang rimbun, Ryota akhirnya mengumpulkan keberanian. "Yukina-san, ada yang ingin ku tanyakan, apa kau luang akhir pekan ini? Jika ya, maukah kau pergi ketaman bersamaku?"

Yukina menatapnya penasaran. "Eh, kenapa? Apa kau mengajaku berkencan?"

Ryota tersenyum kecil dan mengangguk. "Ya, begitulah, bagaimana menurutmu?."

"Tentu" jawab Yukina, ekspresinya berubah, wajahnya merona senang, membuat Ryota semakin merasa bersalah. Mereka tiba di taman, di mana daun-daun berguguran, menciptakan suasana tenang di sore hari. Ryota memandang Yukina sejenak, menyadari betapa beratnya mengucapkan yang sebenarnya. Tapi, tekadnya mulai tumbuh.

Setelah momen yang terasa panjang, mereka berpisah di perempatan jalan seperti biasa, meninggalkan Ryota dengan hati yang semakin berat, terjebak antara cinta yang ia tahu palsu dan keinginan untuk memperbaiki kesalahan yang ia buat.