Ryota berjalan bersama Yukina di jalan setapak. Suasana sore terasa sepi, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Yukina tersenyum dengan ceria, tetapi Ryota merasa seolah bebannya semakin berat.
"Ryota-kun, apa kau baik-baik saja?" tanya Yukina dengan khawatir.
Ryota sedikit terkejut, sejenak menatap Yukina. "Eh? Tidak, tidak ada apa-apa, aku cuma… merasa lelah belakangan ini."
"Jangan terlalu memaksakan dirimu, Ryota-kun," jawab Yukina dengan lembut, lalu berhenti sebentar. "Kalau ada yang mengganggumu, ceritakan saja. Aku akan mendengarkan."
Ryota menatapnya, hatinya terasa tersentuh, namun rasa bersalahnya semakin mengganggu. Dia tak bisa mengatakan yang sebenarnya, tak bisa memberitahu Yukina tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Terima kasih, Yukina, aku… aku baik-baik saja," jawabnya ragu-ragu.
Yukina mengangguk, meski wajahnya sedikit menunjukkan keraguan. Mereka melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di perempatan jalan yang biasa mereka lewati. Yukina berhenti sejenak dan menatap Ryota dengan senyum tulus.
"Kalau begitu, aku harus pergi dulu. Sampai jumpa lagi!" Yukina melambaikan tangan dengan semangat.
Ryota tersenyum paksa, meski hatinya terasa berat. "Iya, sampai nanti."
Setelah Yukina berjalan menjauh, Ryota berdiri beberapa saat di tempat yang sama, menatap punggung Yukina yang semakin jauh. "Kenapa aku harus melakukan ini?" gumamnya pada diri sendiri.
---
Setelah sampai di rumah, Ryota langsung menuju kamarnya dan mengunci pintu. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Rasa bersalah semakin menggerogoti dirinya. Ia merasa seolah telah mengkhianati Yukina, meski semuanya berawal dari keinginan bodohnya.
Dengan cemas, Ryota memanggil Yumeko, berharap bisa mendapatkan jawaban yang jelas. "Yumeko! Apa kau ada disini? Jawab aku!"
Tiba-tiba, dari belakang, suara Yumeko terdengar dengan nada mengejek, "jika keluargamu mendengar mu, mereka pasti menganggap mu gila karena berteriak sendiri"
Ryota terkejut dan langsung berbalik. "Kau… dari mana datangnya?" tanyanya, merasa seolah Yumeko selalu bisa muncul begitu saja.
Yumeko mendekat, duduk santai di kursi Ryota tanpa izin. "aku bisa datang kapan saja, dan kau tak perlu berteriak seperti orang gila untuk memanggilku. Jadi, apa yang membuatmu memanggilku malam ini?"
Ryota menatap Yumeko dengan serius, suara rendah dan penuh tekad. "Aku ingin tahu, bagaimana cara mengakhiri kontrak ini? Aku tidak bisa membiarkan Yukina terus seperti ini."
Yumeko mengerlingkan matanya, lalu mendesah. "sudah ku katakan padamu, kau hanya perlu melakukan hubungan seks. Setelah itu, keinginanmu telah terkabul dan kontrakmu denganku akan berakhir, simpel, bukan?"
Ryota merenung sejenak, merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. "Jadi, aku harus melakukannya dengan… siapa? Aku tidak bisa begitu saja melakukannya dengan sembarang orang!"
Yumeko menatap Ryota dengan tatapan sinis. "Itu terserah padamu. Jika kau merasa keberatan, kau bisa mencari seorang wanita penghibur. Mereka melakukannya setiap hari. Kau tidak akan merasa bersalah, bukan?"
Ryota mengabaikan Yumeko selagi ia tenggelam dalam pikirannya mencari cara untuk mengakhiri kontrak nya. "Tunggu sebentar, Yumeko, aku sedang berpikir. Aku tau! Bagaimana jika aku melakukannya dengan wanita penghibur, jadi aku tak perlu merasa bersalah karena itu memang pekerjaan mereka, bagaimana? Aku cukup cerdas, bukan?"
Yumeko meliriknya dengan tatapan tidak peduli lagi. "Terserah kau saja, aku hanya ingin menyelesaikan kontrak ini secepat mungkin. Jangan membuatnya lebih rumit. Kau sudah membuat kesalahan, jadi kau harus selesaikan itu."
Ryota merasa seperti ada sebuah batu besar yang menghimpit dadanya. "Kau benar, aku tidak seharusnya membuat Yukina terluka lebih lama lagi…"
"kata-kata tidak akan mengubah apapun, dan jika kau tak mengakhiri kontrak ini, sihir itu tidak akan hilang. Jadi, apa yang akan kau lakukan?" Yumeko berkata dengan nada menggoda, seolah menunggu keputusan Ryota.
Ryota berpikir mencari cara untuk menjalankan rencananya. "Aku akan mencari uang dengan bekerja part time untuk menyewa pelacur, aku tak ingin menyusahkan orang tuaku untuk kesalah yang kubuat."
Ryota akhirnya memutuskan. "jadi, bisa kau batalkan sihir yang kau gunakan padanya?"
Yumeko menatapnya dengan tajam. "Aku sudah bilang, itu tidak mungkin sebelum kontrak ini berakhir."
Ryota merasakan kecewa yang mendalam. Ia merasa semakin terperangkap dalam situasi ini, tak tahu harus kemana lagi.
---
Saat pagi menjelang, Ryota merapikan seragamnya dengan canggung. Perasaannya masih kalut memikirkan cara mengakhiri kontrak dengan Yumeko dan menyingkirkan sihir yang membuat Yukina jatuh cinta padanya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat dan berjalan menuju ruang makan.
"Ryota! Cepat sini! Kau nggak mau kenalan lagi dengan Yukina-chan, kan?" Ibunya menggoda dengan tatapan penuh arti. Ryota yang belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, menatap Yukina dan menyapanya.
"Selamat pagi, Yukina... sepertinya aku merasa deja vu... tunggu sebentar! Yukina-san?! Apa yang kau lakukan dirumahku?" Ryota berusaha menutupi keterkejutannya, menggosok tengkuknya dengan gugup.
"pagi, Ryota-kun" Yukina tersenyum kecil, wajahnya agak merona. "Aku ingin berangkat ke sekolah bersamamu, jadi aku datang lebih awal kerumahmu. ibumu sangat baik, aku diundang sarapan di sini."
Ayahnya, yang duduk sambil menyesap kopi, ikut angkat bicara dengan nada bercanda, "Wah, tak kusangka anak kami ada yang menyukainya juga! Nggak sia-sia kami membesarkanmu."
"Apa maksudmu, ayah?" Ryota memprotes. Tapi itu hanya membuat ibunya makin semangat menimpali.
"Ah, Ryota, tenang saja! Ibu selalu yakin kok, kalau anak ibu ini bakal ada yang suka juga." Ia mengedipkan mata pada Yukina sambil terkekeh. "Yukina-chan, jaga anak kami, ya. Kadang dia memang berperilaku aneh, tapi dia adalah anak yang baik."
Yukina menutup mulutnya dengan tangan, tertawa kecil. "Ryota-kun memang suka bertingkah, ya?" godanya, yang membuat Ryota semakin panik.
"bukan itu yang kumaksudkan! Dan juga, aku tak seperti itu" keluh Ryota, berusaha menegakkan martabatnya, meskipun usahanya tampak sia-sia.
Adiknya tiba-tiba masuk membawa roti yang digigit setengah, ikut nimbrung tanpa tahu apa yang terjadi, "Kak Ryota punya pacar, ya? Kakak malu-maluin aja! Masa' nggak bilang-bilang?"
Ryota memutar matanya, tidak menyangka keluarganya bisa kompak menggodanya begini. "Sudah, sudah! Ayo Yukina, kita ke sekolah saja sebelum mereka tambah parah!" serunya, menggandeng tangan Yukina dan buru-buru berjalan ke pintu.
"hati-hati di jalan, Ryota! Jangan tinggalkan anak orang di tengah jalan, ya!" Ibunya masih berteriak dari ruang makan, diikuti gelak tawa ayahnya.
Ryota hanya bisa menghela napas, wajahnya panas karena malu, dan Yukina ikut tertawa sambil menggenggam tangannya. "Ryota-kun, keluargamu sangat... bersemangat, ya?" ujar Yukina dengan senyum lembut di wajahnya.
"Iya, mereka memang aneh" Ryota mengerang pelan. "maaf karena keluargaku memperlihatkanmu hal seperti ini."
"Kenapa meminta maaf? Aku malah suka, kok. Itu... menyenangkan," ucap Yukina sambil tersenyum.
Mendengar itu, Ryota hanya bisa tersenyum kecil, meskipun rasa bersalah kembali menggelayut. Di tengah semua keceriaan ini, ia semakin sadar bahwa ia tak bisa membiarkan semua ini berlanjut terlalu lama.