Tapi besok sorenya, ketika Simba kembali dari meditasi, dia mendapati lagi bahwa Leor tak ada.
"Bocah nakal, aku sudah bilang, dia benar-benar tidak menghargai pertolonganku untuk nyawanya," ia kesal sendiri.
Tapi tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, membuat Simba menoleh. Rupanya Leor membawa sesuatu.
"Nona, aku sudah membawa buruan lagi," di pundaknya ada kambing gunung mati.
"(Hah!!!! Bagaimana bisa dia berburu dengan tubuh kecilnya!!!) Da... dari mana kau mendapatkan itu!!! Bagaimana caramu melakukannya!!" Simba menatap panik sekaligus terkejut tak percaya.
"Aku ingin memenuhi permintaan Nona," Leor menatap memohon, membuat Simba menghela napas panjang. "Sudah kuduga, kau pasti bukan manusia... Kalau begitu, aku akan memasaknya."
"Nona... Bagaimana jika aku yang memasak?" Leor menatap memohon.
"Hm... Kenapa... Anjing kecil mau memasak... Nanti tidak enak makanannya," Simba meremehkan.
"(Sudah jelas masakannya yang seperti ramuan mati malah meremehkan masakan orang lain.) Aku bisa membuatnya, nona penyihir hanya perlu menunggu," kata Leor yang berjalan masuk.
Beberapa jam kemudian, perut Simba sudah keroncongan. "Akh... Anjing kecil, kenapa kau begitu lama memasaknya sih?!"
"Ini sudah selesai," Leor menyajikan beberapa masakan yang membuat Simba terpukau. Ia mencoba satu dan seketika terkejut akan rasanya yang sangat enak.
"Ini sangat enak... Mulai sekarang kau juga harus memasak... Anjing pelayan," tatapnya.
Leor hanya tersenyum palsu menerima. "(Yah, ini baik baik saja jika aku harus menjadi bagian dari hal yang dikatakan... Aku juga menganggap diriku anjing kecil yang tak berguna, aku hanya bisa melakukan hal ini dalam hidup ku yang tidak berguna....)"
"Tapi, aku masih bertanya-tanya," tatap Simba membuat Leor terdiam, juga menatap dengan rasa gemetar.
"Kau benar-benar bukan manusia rupanya, kira-kira apakah kau semacam sesuatu yang tidak bisa dikalahkan, buas dan pandai berburu, bahkan kau kuat dari kecil, padahal kau bilang kau dari keluarga di kota," Simba mengamati semakin detail.
"Um... Aku memang bukan manusia, tapi aku mungkin lain kali akan memberitahukannya padamu, karena aku masih sangat takut dan trauma," Leor menatap khawatir.
"(Dia benar-benar bukan manusia, makanya aku bisa menyadari dari awal bahwa dia bukan manusia, benar-benar sangat aneh sekali... Kira-kira dia ini makhluk apa...)" Simba berpikir keras. "Hm... Apakah ibumu juga bukan manusia?" tatap Simba, lalu Leor mengangguk, membuat Simba semakin berpikir keras.
"Um... Jangan berpikir terlalu keras, kapan-kapan saja bagaimana aku memberitahunya," Leor menatap panik.
"Hm... Baiklah deh..." Simba menyetujui, membuat Leor menghela napas panjang.
---
Beberapa hari terus berlalu, Leor selalu membawa kambing gunung sebagai hasil buruan, tapi kali ini dia membawa sesuatu yang sangat mengerikan.
"Nona, aku sudah membawa buruan," kata Leor sambil membuka pintu.
"Hm... Di mana?" Simba kebingungan, tak menemukan buruan yang dipegang Leor.
"Ini..." Leor menunjukkan harimau hutan yang ia bawa di belakang.
"Kya... Apa kau bodoh... Dia bisa menyerang kita!!!" Simba menjadi sangat ketakutan.
"Tapi di hutan sudah tak ada lagi kambing gunung, sudah habis, jadi aku membawa ini..."
"Cih... Hm... Mungkin aku akan mengakhiri meditasi ini, sudah beberapa bulan aku di sini."
"Apakah Nona akan meninggalkanku sendirian di sini?" Leor menatap sedih.
"Tidak juga, aku akan membawamu ke kota saja deh..." kata Simba seketika, membuat Leor senang.
---
Sementara itu, di jalanan luas kota besar, seorang gadis kecil berjalan di antara cuaca yang cerah. Ia lalu berhenti berjalan dan melihat ke langit, menatap salah satu bagian langit dengan pupil mata berwarna hijaunya. Lalu tiba-tiba, mata berwarnanya itu menyala redup dan seketika dengan pelan, awan mendung mulai muncul menutupi matahari, semuanya gelap dan memunculkan hujan. Tatapan matanya kosong, tapi kemudian, dia hampir menangis dan sangat kedinginan di sana.
Semua orang berlarian menutupi kepala mereka agar tak terkena air hujan yang dingin, dan hanya satu yang diam di tempatnya, yakni gadis tadi.
Ada payung yang menutupi kepala gadis itu, membuat gadis itu menoleh padanya. Seorang lelaki yang menatap dengan wajah penasaran padanya, dan rupanya itu adalah Eggy, dia yang kehujanan karena memberikan payungnya pada gadis itu.
Lalu dia berlutut, menatap gadis dengan tatapan kosong itu. Dia yang menatap kesedihan dalam gadis itu mencoba menghiburnya dengan tersenyum lembut.
Tapi mendadak ada yang memanggil. "Eggy! Eggy, di mana kau!" rupanya Eight berlarian sambil menggunakan payungnya. Tapi ia berhenti menatap Eggy yang rupanya di bawah berlutut dengan gadis.
"Ooo... Di sini kau rupanya, kau seharusnya bilang padaku! Langsung pergi begitu saja, aku membawamu ke kota untuk melihat-lihat, bukan untuk bebas berkeliaran, kau mengerti itu!" Eight menatap kesal.
Tapi tatapan Eggy tampak kasihan pada gadis di sampingnya yang juga menatap Eight. "Gadis kecil? Ada apa?" Eight menatap bingung.
"Siapa kamu?" gadis itu menatap ketakutan padanya.
Tapi mendadak Eight merasakan bahwa gadis itu bukan manusia. "(Dia bukan manusia? Apakah dia sedang dalam masalah?) Tak apa, katakan saja padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu," dia berlutut, membuat gadis itu nyaman padanya. Lalu langit menjadi cerah dan kembali menyingkirkan mendung itu.
Ini terjadi ketika dia lahir di dunia ini. Di rumah sakit Chua, Seoul, Korea Selatan.
Proses persalinan berlangsung sangat lama dan disusul hujan yang menyaksikan itu, dan ketika petir menyambar sangat besar, lahirlah bayi mungil yang manis itu.
"Akhirnya, dia bayi perempuan yang manis," kata dokter lelaki yang masih muda yang mengambil bayi itu, tapi yang terjadi adalah bayi itu tidak menangis.
"Apa yang terjadi, Dokter?" perawat lain datang.
"Bayinya tidak menangis, cepat berikan alat pemeriksa jantungnya!" Dokter itu memeriksa jantung bayi itu, dan yang terjadi adalah bayi itu hanya membuka matanya yang lebar, pupil matanya berwarna hijau sangat terang.
Dokter yang menyaksikan itu terdiam menatapnya. "Jantungnya baik-baik saja."
Lalu berjalan ke ibu yang melahirkan tadi, tapi siapa sangka, perawat di sana panik. "Dokter, sang ibu tidak bisa bernapas!"
Seketika petir kembali menyambar, kali ini lebih kecil dari yang tadi, dan di saat itu juga, sang ibu meninggal, tak sempat melihat bayinya.
Belum diketahui bagaimana perasaan ibu melihat putrinya yang cantik lahir di dunia ini.
". . . Jam 15.59 bayi lahir, dan 16.00 sang ibu meninggal, catat itu," kata dokter.
"Lalu bagaimana dengan bayi itu, Dokter? Pasien kemari sendirian sebelum terjadi kontraksi dan dia tidak mengatakan apa pun soal keluarganya," tatap perawat itu. Lalu dokter menunjukkan bayi itu pada perawat itu.
Bayi itu bermata hijau, dan hal itu membuat perawat itu terkejut. "Apa itu?"
"Ini keajaiban, gen bayi ini benar-benar sangatlah unik, dia tidak menangis di awal, kesehatannya baik dan juga peredaran darahnya begitu cepat mengalir, jantungnya stabil dan tenang, tak ada setetes air mata pun yang keluar dan mata ini sangatlah unik."
"Dokter, apa itu akan diambil pihak hukum, untuk diteliti?" Perawat menatap khawatir. Lalu dokter itu terdiam. "Aku akan merawatnya," balasnya. Seketika perawat itu terkejut.
"Dokter, apa kau yakin?"
"Ya."
"Anda merawatnya sebagai apa?"
"Sebagai apa lagi, sebagai putriku," balas dokter itu.
Hingga di saat itu, ia menjadi gadis miliknya. Tapi sekarang dia tersesat.
---
"Hiks... Aku kehilangannya..."
"Jangan menangis, tunggulah sebentar, dia pasti akan datang," tatap Eight.
"Dari mana kamu tahu?" gadis itu menatap tak percaya dengan wajah yang sangat sedih.
Eight terdiam sebentar, lalu mengatakan sesuatu. "Aku juga sedang kehilangan seseorang yang paling berharga," tatapnya, membuat gadis itu terdiam menatap dan mendengarkan.
"Dia kekasihku, dia lebih memilih mengembangkan kekuatannya dan malah tidak berada di sisiku. Seharusnya jika ada aku, dia pasti akan dilindungi, karena dia wanita, seharusnya aku saja yang melindungi dan menggunakan kekuatanku... Aku bahkan tak rela dia pergi, tapi aku yakin, dia pasti kembali lagi," kata Eight, membuat gadis itu terdiam dan tanpa sadar, Eight membuat gadis itu sedikit merasa lebih baik.
"Jadi, aku akan di cari?" Tatapnya membuat Eight mengangguk pelan. Eggy yang melihat itu menjadi ikut tersenyum.
--
Eight tampak duduk di samping gadis kecil itu yang masih gemetar ketakutan. Langit sudah cerah kembali, tapi ketakutan di mata gadis itu belum menghilang.
"Kamu masih khawatir tentang orang yang terpisah darimu, ya?" tanya Eight lembut.
Gadis itu mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku takut... kalau dia tidak akan kembali."
Eight menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari cara untuk menenangkannya. Dia menoleh ke Eggy, yang tetap bisu di samping mereka. Meskipun Eggy tak pernah berbicara, kehadirannya selalu memberikan rasa aman.
"Dia pasti kembali," kata Eight, berusaha terdengar yakin. "Tapi sementara itu, kamu tidak sendirian. Ada aku dan Eggy di sini."
Gadis itu melirik Eggy, lalu kembali menatap Eight. "Tapi... bagaimana kalau dia tidak kembali? Aku tidak tahu harus apa."
Eight terdiam sejenak, berpikir keras. Dia tahu memberikan janji palsu tidak akan membantu. "Kalau pun itu terjadi," jawabnya hati-hati, "kau harus percaya kalau dia ingin kau tetap kuat. Kita akan mencarinya bersama-sama, oke?"
Gadis itu mengangguk pelan, meski masih terlihat cemas. Eight tahu bahwa rasa takutnya tak akan hilang begitu saja, tapi setidaknya gadis itu merasa lebih nyaman dengan keberadaan mereka.
"Selama kita bersama," lanjut Eight, "kita bisa melalui ini. Eggy juga akan membantu, meski dia tidak banyak bicara."
Eggy berdiri di belakang mereka, tak bereaksi seperti biasa. Namun, gadis itu tampak sedikit lebih tenang dengan kehadiran mereka berdua.
"Ayo kita terus berusaha," kata Eight dengan senyum kecil, mencoba memberi harapan pada gadis yang masih berjuang melawan ketakutannya.
Lalu ada yang terdengar memanggil dengan panik. "Anya! Anya! Dimana kamu!" seorang Pria dengan suara yang berat, lalu dia berhenti di antara mereka.
Gadis itu menatap. "Ayah!!" dia langsung menangis membuka tangan nya untuk di peluk.
"Anya!" Pria itu berlutut di samping Eight dan langsung memeluk Gadis itu, itu suatu kebetulan. "Maafkan aku, kau tersesat..." dia mengelus pelan punggung Gadis itu. Rupanya nama gadis itu adalah Anya, nama yang imut juga.
Tapi Eight merasa aneh dengan Pria itu, dia lalu semakin melihat tapi ia merasa Eggy memegang bahunya membuat nya menoleh. Eggy meminta nya pulang, tapi Eight masih penasaran. "Anu..." dia memanggil membuat Pria itu menoleh. Seketika wajah mereka terkejut bersamaan.
". . . Eight?"
Eight terdiam dan juga memanggil nama nya. "One?"