Chereads / Vampir Barat: Eight / Chapter 16 - Chapter 16: Malaikat

Chapter 16 - Chapter 16: Malaikat

Nyawa Lebih Pantas Dari Harapan.

Di sebuah rumah kecil dan tua, hidup seorang kakek yang sudah lama tinggal sendiri tanpa keluarga. Kesehariannya dihabiskan dalam kesunyian, dan semakin hari, ia merasa hidupnya tak lagi berarti. Suatu malam, ia memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Dengan tangan gemetar, ia menyiapkan tali gantung di kamarnya. Setelah memastikan segalanya siap, ia naik ke atas kursi, dan perlahan memasangkan tali itu di lehernya. Tapi sebelum sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba sosok misterius muncul di depannya.

Sosok itu mengenakan jubah hitam dengan kapucong menutupi wajahnya, memegang sebuah sabit besar. Tidak salah lagi, itu adalah malaikat pencabut nyawa.

"Yo, manusia tua, kau benar-benar akan bunuh diri, huh?" Suara berat malaikat itu menggema di seluruh ruangan.

Kakek itu tersentak kaget, matanya melebar, dan tubuhnya bergetar. "S-siapa kau?"

Malaikat itu terkekeh. "Hah! Apa penampilanku tidak cukup jelas? Aku ini malaikat pengakhir nyawamu. Aku datang jauh-jauh hanya untuk menjemputmu. Kau pasti sudah siap, kan?"

Si kakek menelan ludah, keringat dingin mengalir di dahinya. "A-aku... aku tidak tahu apa yang harus dilakukan."

"Tenang saja, Kakek," kata malaikat itu dengan nada santai, "Aku akan memastikan kau mati dengan cara yang penuh gaya." Ia merangkul bahu si kakek, dan sekejap saja, mereka berdua sudah berada di sebuah jembatan besar.

"Di mana kita?" Kakek itu berteriak sangat panik, matanya terbelalak. Ia mengenali tempat itu yakni Jembatan Golden Gate yang megah, menghubungkan Samudra Pasifik dengan Teluk San Francisco.

"Kenapa kita ada di sini?!" teriak si kakek, dia benar benar kelihatan sangat panik.

Malaikat itu hanya tersenyum lebar. "Bukankah kau ingin mati? Lompat saja dari sini, dan semuanya akan selesai."

Kakek itu menoleh ke tepi jembatan, melihat ke bawah. "T-tidak... Aku... aku takut."

"Takut?" Malaikat maut itu mendekat, lalu dengan cepat mendorongnya sedikit ke tepi. "Kau bilang ingin mati, kan? Ayo, cepat lompat! Ini adalah cara terbaik untuk menikmati kematian,"

Kakek itu terhuyung, hampir jatuh, tapi tiba-tiba malaikat itu menangkapnya kembali, merangkulnya dengan erat.

"Ah, terlalu mudah ya," kata malaikat itu sambil tertawa kecil. "Oke, mari kita coba yang lebih seru."

Seketika, mereka sudah berada di puncak Menara Eiffel. Angin kencang bertiup, membuat tubuh kakek yang lemah gemetar hebat.

"Ini... Ini terlalu tinggi!" Si kakek berseru dengan suara tercekik, memegang erat besi pagar di puncak menara.

Malaikat itu menyeringai. "Ayo, tinggal lompat saja. Apa susahnya?"

Si kakek menelan ludah lagi, kakinya gemetar. "T-tidak... tidak... Aku tidak bisa!"

Malaikat itu mendesah, "Ah, dasar manusia. Kau ini bilang ingin mati, tapi tidak berani melompat. Haruskah aku membantu?" Tanpa menunggu jawaban, malaikat itu mendorongnya.

"Ahhh!" Kakek itu berteriak, tapi bukannya jatuh ke tanah, ia tiba-tiba mendarat di salju yang empuk.

Kakek itu bangun perlahan, kebingungan. "Antartika?" gumamnya sambil gemetar kedinginan. "Aku akan mati membeku di sini!"

Malaikat pencabut nyawa itu tertawa lagi. "Kurang seru ya? Baiklah, kita coba yang lebih panas!"

Dalam sekejap, mereka berada di puncak gunung berapi yang aktif, dengan lahar panas mendidih di bawah mereka. Suhu yang sangat panas membuat si kakek langsung mundur ketakutan.

"Ini... Ini terlalu panas!" jeritnya.

"Ayo, lompat saja! Selesai sudah!" Malaikat itu mendorongnya sekali lagi.

Kakek itu gemetar, tubuhnya tak bisa bergerak. "Aku... aku tak bisa!" teriaknya.

"Baiklah," kata malaikat maut itu sambil mendesah. "Kau butuh sedikit bantuan, ya?" Lalu ia menendang kakek itu dengan keras.

"Akh!" Kakek itu jatuh, tapi bukannya jatuh ke lahar, ia terjatuh ke jurang air yang dalam. Ia terhuyung-huyung mencoba berenang, tapi air itu begitu dingin dan arusnya kuat.

"T-tolong! Hentikan ini!" teriaknya putus asa.

Malaikat itu tertawa keras. "Hah! Kau benar-benar manusia yang aneh! Kau bilang ingin mati, tapi begitu banyak protes. Baiklah, kita coba lagi." Dan sekali lagi, mereka berpindah tempat.

Kali ini, kakek itu terbaring di rel kereta api. Ia membuka matanya dan melihat ke sekeliling, merasa sedikit lega. Namun, detik berikutnya ia mendengar suara keras dari kejauhan. Sebuah kereta melaju cepat ke arahnya.

"Tidak! Aku tidak mau mati! Aku tidak siap!" teriak kakek itu sekuat tenaga.

Namun, tepat saat kereta hampir menabraknya, semuanya berubah. Si kakek terbangun kembali di kamarnya, tepat di tempat ia memulai semuanya. Ia melihat ke sekeliling, terengah-engah, lalu menyadari tali gantung yang tadi disiapkannya telah dilepas.

"Apakah semua itu mimpi?" gumamnya.

Di sudut kamar, malaikat pencabut nyawa duduk santai di kursi, tersenyum kecil sambil memainkan tali gantung yang telah ia lepas. "Jadi, Kakek... Apa kau masih ingin mati?"

Si kakek terdiam sejenak, merenung dalam-dalam. Lalu, ia tersenyum tipis. "Tidak... tidak. Terima kasih. Aku akan lebih sering menghargai hidupku mulai sekarang."

Malaikat itu tersenyum. "Bagus. Itu yang ingin kudengar."

Namun, rasa penasaran membuat si kakek bertanya lagi. "Tapi... kenapa kau melakukannya? Bukankah kau malaikat maut? Seharusnya kau mengambil nyawaku, bukan menyelamatkanku."

Malaikat itu tertawa kecil. "Ah, kau berpikir begitu karena penampilanku? Hanya karena aku mengenakan jubah hitam dan membawa sabit besar, kau pikir aku hanya ingin mencabut nyawa?"

Si kakek mengangguk, bingung. "Jadi... siapa kau sebenarnya?"

Malaikat itu berdiri, lalu menarik jubah hitamnya. Seketika, jubah itu menghilang menjadi abu, dan sabitnya lenyap. Di hadapan si kakek kini berdiri malaikat berpakaian putih bersih dengan sayap yang berkilauan.

"Aku malaikat baik. Tugasku bukan hanya mencabut nyawa, tapi juga mengingatkan bahwa hidup masih berharga. Senang bertemu denganmu, Kakek."

Kakek itu tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Sebelum ia sempat berkata lebih jauh, malaikat itu mengepakkan sayapnya dan terbang keluar jendela, menghilang di malam yang gelap.

Si kakek duduk terdiam, masih tidak percaya dengan semua yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang pasti, ia telah menemukan kembali alasan untuk hidup.

---

"(Perkenalkan, aku adalah Malaikat Putih. Aku satu-satunya di dunia ini yang mengatur kebaikan orang-orang, lebih tepatnya manusia yang memiliki banyak dosa tapi tidak mau mengakuinya. Sejak aku menjaga dunia ini selama beribu-ribu abad, semakin tahun, aku semakin ketakutan akan hari yang akan datang. Karena berkurangnya jumlah manusia, entitas tak diketahui mulai muncul, dan fakta mengerikannya, beberapa entitas itu memiliki waktu hidup yang bahkan hampir sama denganku... Aku, sebagai makhluk yang tidak akan mati di bumi, menjadi sangat khawatir akan keberadaanku. Sebenarnya ini dunia manusia atau bukan?)" Malaikat itu terus berpikir dengan keras bahkan saat ini berjalan terus di taman tanpa dilihat orang-orang karena mereka sibuk pada ponsel maupun mode pesawat mereka.

Di saat itu juga, malaikat tersebut terdiam merasakan sesuatu yang ada di hadapannya. Ketika dia melihat, siapa yang menyangka bahwa itu adalah Eight yang sedang meminum susu kotak stroberi, menatap dengan tatapan lurus.

"(Eh....?)" malaikat itu terdiam. "(Apa dia melihat keberadaanku? Kupikir manusia hanya bisa melihat keberadaanku saat mereka ingin bunuh diri karena ketika rasa ingin bunuh diri mereka tinggi, mereka bisa kuhasut untuk tidak mati terlalu cepat.... Dan apakah pria itu akan mati karena melihatku?)" Ia terdiam dan mereka masih saling memandang.

Sementara itu, di pikiran Eight berpikir masalah sendiri. "(Aku baru saja kembali dari makam Six.... Lalu membeli darah khusus dari seorang teman... Kemudian iseng-iseng lewat taman ini dan menemukan entitas baru.... Yakni Malaikat Putih... Konon katanya, malaikat itu benar-benar sibuk dalam hidupnya, apa yang harus aku lakukan.... Mungkin aku akan menyapanya saja...) Yo..." Eight menyapa dengan sok akrab.

Seketika malaikat itu terkejut karena dia berpikir Eight benar-benar melihatnya dan karena itulah dia berpikir Eight akan mati cepat. "Tu... Tunggu!! Kau manusia dan kau melihatku! Apa kau ingin bunuh diri? Mari aku tuntun ke kehidupan yang lebih baik agar kau tidak cepat mati... Sadarkan dirimu..." dia malah histeris membuat Eight bingung lalu Eight mengatakan sesuatu.

"Aku bukan manusia, Btw... Aku vampir...." tatapnya membuat Malaikat itu terdiam.

"(Eh... Vampir...? Oh... Vampir toh...)" dia tampak lebih tenang. "(Wajar jika vampir tahu keberadaanku...) Halo... Salam kenal, aku Malaikat Putih... Senang bertemu seorang vampir...." tatapnya mencoba ramah.

Lalu Eight tertarik untuk mengobrol juga. "Apa yang dilakukan Malaikat Putih di sini? Apa kau baru saja melakukan pekerjaanmu?"

"Ah, yeah, begitulah... Semakin ke sini semakin banyak orang-orang yang mau mati... Itu karena Malaikat Hitam... Dia pasti menghasut mereka, dan karena itulah aku mencoba untuk menghentikan mereka yang mau mati... Ini sangat sibuk sekali..." kata Malaikat Putih yang tampaknya mulai curhat.

"Oh, kelihatan menyenangkan, bagaimana jika ajak aku bagaimana caramu bekerja? Apalagi soal cinta...." tatap Eight.

"(Hm... Jarang sekali entitas abadi ingin mengetahui hal ini...) Hm... Baiklah... Ayo ikuti aku..." Malaikat Putih itu dengan semangat menunjukkan jalannya membuat Eight juga tertarik mengikuti.

"Kamu tadi bicara soal cinta kan?" tatap Malaikat putih itu.

"Yeah, kau tahu sesuatu soal itu?" Eight berjalan di samping nya meskipun manusia di sana melihat Eight hanya berjalan sendirian.

"Cinta itu tidak selamanya bisa rusak, aku bisa memperbaikinya. Namun, semakin lama aku mengamati manusia, semakin aku menyadari bahwa mereka sering kali tersesat dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri. Mereka sering kali begitu terjebak dalam ego mereka sehingga lupa bahwa cinta adalah tentang memberi dan menerima," kata malaikat itu lalu menambah. "Mengapa mereka selalu menunggu hingga segalanya terlambat?"

"Karena mereka merasakan sesuatu dulu, jika kecewa ya sudah, jika bahagia ya teruskan...." balas Eight spontan membuat Malaikat putih itu tertawa kecil.

"Hahah.... Kau ini... Oh iya, ngomong ngomong siapa nama mu?" tatapnya mencoba akrab dengan Eight.

"Aku Eight, vampir ke delapan... Bagaimana dengan mu? Apakah malaikat punya nama? Atau mereka hanya di panggil malaikat putih dan hitam?" tatap Eight.

"Panggil saja aku Kayuza.... Aku membuat nama itu sendiri karena aku bosan dengan panggilan itu..." kata Malaikat putih yang mengaku bernama Kayuza.

"Hahah.... Nama yang lucu.... Baiklah... Kayuza..."