Chereads / Vampir Barat: Eight / Chapter 20 - Chapter 20: Intuisi

Chapter 20 - Chapter 20: Intuisi

Terpaksa, Eight merawat bayi naga itu hampir seharian penuh. Si bayi naga, dengan sisik merah menyala dan mata bulat yang penuh rasa ingin tahu, terus membuat kekacauan. Meski tubuhnya kecil, keberadaannya membawa masalah besar. Dari benda-benda yang terbakar hingga suara gaduh di seluruh apartemen, semuanya membuat Eight merasa seperti berada di medan perang kecil.

Dia mencoba segalanya, mulai dari memberinya makanan, mengalihkan perhatian dengan mainan, hingga menjauhkan bayi itu dari benda-benda berbahaya, tetapi sia-sia. Bayi naga itu memiliki energi tak terbatas, seperti api yang terus menyala tanpa henti. Bahkan, saat Eight sudah mencoba segalanya, naga kecil itu tetap mengamuk, seolah keberadaannya di dunia ini adalah untuk membuat segalanya kacau.

Hingga akhirnya, Eight kelelahan. Tubuhnya terasa berat, seolah energi yang ia miliki sudah terkuras habis. "Ha... Ha..." napasnya tersengal-sengal saat ia menjatuhkan diri ke sofa. Di hadapannya, bayi naga itu memegang sebuah alat dapur dengan cakar kecilnya. Sisiknya yang bersinar di bawah cahaya lampu apartemen terlihat seperti bara api yang belum padam. Bayi itu terduduk di bawah sofa, bermain-main dengan alat dapur itu hingga akhirnya membakarnya. Bau hangus memenuhi ruangan.

Eight hanya bisa menghela napas panjang, menatap dengan mata lelah. "Sudahlah, biarkan saja Simba marah... Aku lelah..." katanya pelan, mencoba memejamkan mata di sofa. Namun, ketika ia hampir tertidur, matanya menangkap sesuatu yang aneh di atap apartemennya.

Itu seperti kertas. Ujungnya terbakar dan menempel pada dinding. Warnanya kecokelatan, tetapi entah bagaimana masih utuh, seolah api hanya menyentuhnya tanpa melahapnya sepenuhnya. Kertas itu tampak kuno, dengan tulisan yang samar namun cukup jelas terbaca dari kejauhan. Rasa penasaran membuat Eight langsung melompat dari sofa. Ia menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk mengambil kertas itu dari dinding.

Begitu ia memegangnya, ada aura aneh yang mengalir dari kertas tersebut. Seolah benda itu bukanlah kertas biasa, tetapi sesuatu yang membawa rahasia besar. Eight membacanya dengan hati-hati, matanya menyipit untuk memastikan setiap kata terbaca dengan jelas. "Bayi naga? Musuh dari bayi naga yang baru saja lahir di dunia ini menjadi legenda kuno..." gumamnya pelan. Tulisannya terasa berat, seperti membawa beban sejarah yang tidak ia pahami sepenuhnya.

Matanya terus bergerak mengikuti setiap kalimat. "Naga api adalah salah satu musuh terbesar kaum es, salju, maupun musim dingin. Entitas yang hidup berdampingan dengan musim dingin akan terganggu dan selalu memburu naga api untuk dibunuh. Sebab, jika sudah besar, naga api memiliki intuisi misi sendiri, yaitu menghancurkan negeri es, musim dingin, bahkan salju yang lembut sekalipun..."

Rasa penasaran berubah menjadi keterkejutan. Ia mengernyitkan dahi, mencoba mencerna informasi tersebut. "Apa?! Kenapa ini kontroversial sekali?! Naga api diburu oleh entitas musim dingin? Apakah ini termasuk Els?" gumamnya. Tangannya yang memegang kertas terasa gemetar, tetapi ia segera sadar akan situasi di apartemennya. Bayi naga itu sudah tidak ada di tempatnya.

"Hah?! Bayi naga!!!" serunya. Ia memandang ke bawah sofa, berharap bayi itu masih di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah debu hitam yang bertebaran di lantai. Ia memutar tubuhnya cepat, mencari ke setiap sudut ruangan. Matanya menangkap jejak terbakar yang memanjang, seolah ular api telah meninggalkan jejaknya menuju jendela.

"Oh tidak!!!" Ia bergegas ke jendela, membuka lebar-lebar, dan memandang ke luar. Jejak itu terus memanjang, berliku-liku menuju suatu tempat yang tidak ia kenali. Sudah jelas, bayi naga itu pergi entah ke mana.

"Oh tidak!! Jangan sampai dia ke negeri musim dingin!! Dia akan dibunuh!!" kata Eight dengan nada panik. Ia segera melompat keluar dari jendela tanpa ragu, mengikuti jejak yang sudah jauh. Angin malam menerpa wajahnya, dan di bawah cahaya bulan, jejak terbakar itu terlihat semakin jelas. Namun, anehnya, bayi naga yang masih kecil itu sudah melaju sangat jauh, seperti dipandu oleh takdir yang kuat.

Di kejauhan, bayi naga itu tampak terbang rendah. Sayap kecilnya mengepak perlahan, mengangkat tubuh mungilnya dari tanah. Sisiknya memantulkan cahaya merah seperti bara api yang menyala di kegelapan. Dengan ceroboh, ia menyemburkan api ke arah mana saja, seperti anak kecil yang bermain tanpa peduli bahaya. Intuisi naganya seolah membawanya ke satu tujuan pasti: negeri musim dingin.

Sementara itu, di negeri musim dingin, Ratu Els berdiri di atas balkon istananya. Angin dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak merasakan apa-apa. Salju yang turun perlahan seperti selimut putih yang menutupi seluruh kerajaannya. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh sesuatu. Perasaan tidak nyaman merayap masuk ke dalam dirinya, seperti kabut gelap yang tidak bisa ia hindari.

"Tunggu... Ini... Perasaan ini... Apakah ada ancaman?! Bayi naga api baru saja lahir?!" gumamnya. Els memegang dadanya, merasakan intuisi yang kuat, seolah jiwanya sedang bertarung dengan intuisi lain yang tidak kalah kuat.

"Tak bisa dibiarkan..." Els akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia mengangkat kedua tangannya, dan dari ujung jari-jarinya, energi dingin keluar seperti embun beku yang membentuk sebuah wujud. Dalam beberapa detik, monster es raksasa berdiri di hadapannya. Tubuhnya terbuat dari bongkahan es yang besar dan tajam, dengan mata biru yang bersinar menyeramkan.

"Pergi! Bunuh naga itu!" perintah Els dengan tegas. Monster itu mengaum keras, suaranya menggema di seluruh negeri musim dingin. Tanpa ragu, ia mulai berjalan cepat menuju arah yang sudah ditentukan oleh intuisinya.

Setelah monster itu pergi, Els menghela napas. Meski terlihat tenang, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kekhawatirannya. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia kembali ke dalam istana, tetapi langkah itu terhenti ketika seseorang datang menghampirinya. Adiknya, Xie, muncul dengan mantel tebal yang melindungi tubuhnya dari suhu dingin.

"Kakak?" panggil Xie dengan nada penasaran.

"Xie?" Els menoleh ke arahnya.

"Apa yang terjadi?"

"Sepertinya akan ada masalah. Bayi naga yang lahir akan menghancurkan tempat ini..." jawab Els, suaranya terdengar khawatir meski ia mencoba menyembunyikannya.

"Apa? Eh, tapi kenapa tidak meminta bantuan Tuan Eight?" saran Xie dengan nada polos.

Els terdiam, seolah baru menyadari sesuatu. "Benar juga, eh, tapi... bagaimana caraku meminta bantuan? Sepertinya kita harus menghadapi ini sendiri nanti..."

Sementara Eight berhenti berjalan di depan hutan lebat, tempat jalan menuju hutan musim dingin, udara terasa semakin dingin. Hutan di depannya tampak gelap, dengan pepohonan yang tinggi menjulang, cabang-cabangnya seolah menyatu membentuk kanopi tebal yang menutupi sinar matahari. Butiran salju jatuh perlahan, membungkus tanah dengan selimut putih yang dingin. Eight berdiri diam di sana, membiarkan tatapannya menyapu sekeliling, mencari jejak naga api kecil yang ia ikuti sejak tadi. Namun, jejak itu menghilang di tengah tumpukan salju, seolah-olah naga itu berhenti meninggalkan tanda apa pun.

"Astaga... Bagaimana ini? Pasti ada di sekitar sini. Apa ini memang benar jalan menuju tempat Els...?" gumamnya, nada suaranya terdengar penuh keraguan. Matanya menyipit, mencoba menemukan sesuatu yang bisa meyakinkan dirinya bahwa dia masih di jalur yang tepat.

Angin dingin tiba-tiba berembus, membawa butiran salju yang menggigit kulitnya. Langkah Eight terhenti ketika salju yang melayang itu mendadak berkumpul di depannya. Angin semakin kencang, membuat salju beterbangan dan membentuk sosok besar yang perlahan menjadi lebih jelas. Sebuah monster salju muncul, tubuhnya masif, dengan es mencuat dari punggungnya seperti duri tajam. Monster itu mengaum keras, suaranya menggema di seluruh hutan. Eight terpaku melihat sosok itu, tubuhnya membeku sejenak di bawah bayangan raksasa monster tersebut.

Auman itu disertai semburan angin dingin yang membawa pecahan es tajam. Pecahan-pecahan itu melesat ke arah Eight, memaksa dirinya untuk menunduk dengan cepat dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Es tajam itu menghantam batang pohon di belakangnya, meninggalkan jejak retakan yang dalam.

"Astaga! Kenapa ada monster es?!" seru Eight, suaranya bercampur rasa panik dan bingung. *"Padahal aku bukan musuhnya!"* pikirnya dengan frustrasi.

Monster itu tidak memberi Eight waktu untuk berpikir. Tubuh raksasanya bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga, membuat tanah bergetar setiap kali ia melangkah. Eight segera berlari menjauh, menghindari serangan berikutnya. Ia melihat pagar besar di kejauhan, harapannya untuk menghalangi monster itu. Dengan seluruh tenaga, dia melompati pagar tersebut, napasnya terengah-engah karena dinginnya udara dan ketegangan yang melingkupi dirinya. Namun, monster itu melompat dengan mudah, melewati pagar besar seperti itu hanyalah permainan baginya.

"(Sial, sampai kapan dia akan mengejarku? Dan kenapa dia melakukan itu?)" pikir Eight sambil terus berlari, kakinya menjejak salju yang semakin tebal. Dia tahu melawan monster itu dengan tangan kosong adalah keputusan bodoh, tetapi dia juga tidak bisa terus berlari tanpa akhir.

Tiba-tiba, monster itu kembali mengaum, semburannya kali ini lebih besar, memancarkan lebih banyak es tajam yang melesat ke segala arah. Eight segera berusaha menghindar, namun kakinya tersandung akar pohon yang tersembunyi di bawah salju.

"Akh!" jeritnya saat tubuhnya terjatuh ke tanah, terguling-guling di permukaan yang licin dan menurun. Rasa dingin menusuk tubuhnya, dan salju menempel di pakaian dan rambutnya.

Monster itu semakin mendekat, bayangan tubuhnya yang besar menutupi Eight. Ia mengangkat salah satu tangannya, bersiap untuk menghancurkan Eight dengan pukulan maut. Eight yang terbaring di tanah segera memaksakan diri bangkit, melesat ke arah lain dengan gerakan yang gesit. Dia melompat ke bahu monster itu, berusaha memanfaatkan ketinggiannya untuk menghindari serangan. Namun, monster tersebut menyerang dengan refleks cepat, tetapi pukulannya malah mengenai bahunya sendiri, menghancurkan salah satu tangannya.

Eight berdiri di tanah, menatap patahan tangan monster itu dengan tatapan serius. Pikirannya berputar, mencoba memahami kelemahan lawannya. "Jadi dia...?" bisiknya pelan, matanya menyiratkan keraguan dan kecemasan yang mendalam.

Namun, monster itu tidak memberi waktu untuk berpikir. Dengan sisa tangannya, ia kembali melayangkan pukulan ke arah Eight. Kali ini, Eight menutup matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Ketika dia membuka matanya, warna matanya telah berubah menjadi emas, berkilauan seperti cahaya matahari yang memantul di atas permukaan logam.

Seketika, waktu di sekitarnya terhenti. Segala sesuatu membeku dalam diam, termasuk monster yang sedang menyerangnya. Eight tersenyum tipis, berjalan santai ke samping, keluar dari jalur pukulan monster itu. Ketika waktu kembali berjalan, pukulan itu mengenai tanah dengan kekuatan besar, membuat tangan monster tersebut hancur menjadi serpihan es.

"Haha... Kau tak bisa memukul!" seru Eight, nadanya penuh ejekan.

Namun, monster itu tidak menyerah. Ia mengangkat satu kakinya, bersiap menginjak Eight yang berdiri di bawahnya. Eight terkejut, melesat menjauh untuk menghindari serangan itu. Udara di sekitarnya semakin dingin, tapi dia tidak punya pilihan selain terus bertarung.

"Haiz... Waktunya mengakhiri ini," gumam Eight, menutup matanya lagi. Ketika dia membukanya kembali, warna matanya kini berubah menjadi merah, menyala seperti api yang membara di tengah salju. Dia meraih tangannya sendiri, menggigitnya hingga darah mengalir keluar. Darah tersebut tidak jatuh ke tanah, melainkan melayang di udara, berkumpul dan membentuk sebuah pedang sabit berwarna merah tua yang tampak mistis dan mematikan.

"Legenda Vampir Delapan, lahir pada bulan sabit!" serunya lantang. Dengan satu kibasan, pedang sabit itu memotong monster salju menjadi serpihan kecil. Teriakan terakhir monster itu menggema di udara sebelum tubuhnya hancur menjadi butiran salju yang beterbangan. Pedang sabit di tangan Eight juga menghilang, larut bersama angin dingin.

Eight mendarat perlahan di atas tanah, tubuhnya sedikit gemetar karena kelelahan. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "(Fyuh... Aku sudah lama tak menggunakan kemampuan mata merah dan mata emas secara bersamaan. Itu mungkin mempengaruhi energiku,)" pikirnya. Namun, bayangan tentang naga api kecil itu kembali terlintas di benaknya.

"Eh iya... Kemana dia tadi?!" ujarnya bingung, matanya kembali menyapu sekeliling, mencari jejak yang telah hilang.