Perjalananku sebagai malaikat berlangsung tak henti-hentinya. Setiap sudut kota ini memiliki cerita, memiliki seseorang yang membutuhkan dorongan kecil. Di sebuah persimpangan jalan, aku melihat seorang wanita muda berlari terburu-buru, tampaknya akan terlambat untuk janji penting. Di depannya, seorang pria tua yang berjalan lambat menghalangi jalannya. Dia mendesah frustrasi, berusaha menyalip, namun jalan sempit dan ramai. Aku bisa merasakan kemarahan yang membara di dalam hatinya, dan tahu aku harus bertindak sebelum dia melakukan sesuatu yang mungkin akan disesali.
Aku menggerakkan angin untuk menerbangkan sehelai kertas ke arah kakinya, membuatnya berhenti sejenak dan memungutnya. Saat dia mengangkat kepala, dia melihat pria tua itu lebih dekat. Dia memperhatikan cara pria itu berjalan dengan susah payah, dengan tongkat yang sudah usang. Rasa marahnya perlahan memudar, digantikan oleh simpati. Wanita itu tidak lagi terburu-buru. Dia memperlambat langkahnya, berjalan di belakang pria tua itu dengan lebih sabar, hingga mereka tiba di jalan yang lebih lebar dan ia bisa menyalip dengan tenang.
Namun, tugas ini tidak mudah. Ada kalanya, bahkan dorongan halus sekalipun tidak cukup untuk mengubah hati seseorang. Suatu hari, aku melihat seorang anak kecil yang terjatuh dari sepedanya. Di sekitarnya, orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang berhenti untuk membantunya. Aku mencoba beberapa trik—menjatuhkan benda-benda kecil di sekitar orang-orang, membuat angin bertiup lebih kuat—namun mereka tetap tidak peduli. Pada saat-saat seperti inilah aku merasa seolah-olah misiku sia-sia. Betapa sulitnya membuat manusia membuka mata dan melihat di luar diri mereka sendiri!
Aku duduk di pinggir trotoar, menatap anak itu yang kini sedang berusaha bangkit sendiri. Ada perasaan frustrasi yang mulai mengalir dalam diriku, namun aku tidak bisa menyerah. Aku bangkit lagi, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Aku membuat sebuah ranting kecil jatuh dari pohon dan menyentuh bahu seorang pria yang sedang berjalan cepat. Pria itu berhenti, menoleh ke arah ranting yang jatuh di dekatnya, dan akhirnya melihat anak kecil yang sedang terluka.
Dia mendekat, membungkuk, dan menawarkan bantuan. Perlahan tapi pasti, anak itu tersenyum, merasa diperhatikan.
Di balik setiap aksi kecil, ada harapan. Harapan bahwa suatu hari, manusia tidak lagi membutuhkan dorongan halus dariku. Bahwa suatu hari, mereka akan dengan sendirinya peka terhadap orang-orang di sekeliling mereka.
--
"Jadi?" Eight kembali menatap dengan kebosanan, membuat Kayuza terdiam bingung. "Em... Aduh, gimana ya... Apakah itu cerita yang membosankan? Kupikir aku sudah menceritakannya dengan baik, bahwa itu adalah pekerjaanku..." tatapnya.
Namun, tatapan Eight tetap tajam dan ia menghela napas panjang. "Ah, sudahlah, pekerjaan malaikat memang membosankan..." Ia berbalik dan berjalan pergi, membuat Kayuza terkejut.
"He... Hei... Tunggu! Aku... aku bisa membuatmu berpikir pekerjaanku menarik, meskipun pekerjaanku melelahkan, tapi aku bisa membuat senyuman untuk orang-orang yang aku bantu..." tatapnya.
"Kenapa kau terlalu keras berusaha?" tatap Eight dengan lirikan tajamnya.
Kayuza seketika terdiam mendengar itu. Ia lalu berkata, "Aku sebenarnya sebentar lagi akan pensiun. Pekerjaan terakhirku hanyalah ini yang bisa aku lakukan..."
Mendengar itu membuat Eight terdiam dan menatapnya. "Terakhir?"
"Haha... Iya..." Kayuza tertawa, tapi kemudian kembali merenung. "Karena semakin sedikit manusia yang ingin hidup di dunia ini... Bahkan banyak dari mereka yang tidak percaya bahwa aku itu ada... Aku lahir karena aku dipercaya ada di dunia ini, membantu mereka... Semakin ke sini, mereka hanya menyembah teknologi dan sumber daya manusia semakin berkurang," kata Kayuza dengan sangat sedih.
"Aku benar-benar tidak tahu hal itu, maafkan aku sudah..." Eight menatap dengan penyesalan.
"Tidak apa-apa... Meskipun aku sudah hampir pensiun, tapi aku tetap akan berusaha keras untuk melakukan hal terakhir ini..."
"Lalu, ketika kau sudah berhenti, apa kau akan menghilang?"
"Tergantung apa yang atasan bilang padaku. Bisa jadi aku menjadi manusia... atau mungkin menghilang selamanya... Aku tak pernah punya teman sih... Tapi aku berharap ketika aku jadi manusia, aku bisa berteman dengan mereka..."
"Bukankah kau punya malaikat hitam?" tanya Eight.
"Haha... Dia itu sikapnya dingin sekali... Dan ini juga hari terakhirnya. Sekarang malaikat tak perlu bertugas lagi... Karena sudah digantikan oleh orang lain yang bukan malaikat... Sepertinya nama malaikat akan menghilang di sini..." kata Kayuza.
"(Dia benar-benar mencintai pekerjaannya...)" batin Eight yang terdiam.
"Haiz... Baiklah... Aku akan pergi melakukan tugas lagi... Jadi sampai jumpa..." Kayuza melambai, membuat Eight terkejut karena secepat itu, saat ia menoleh, Kayuza sudah tidak ada.
--
"… Hm… Akhirnya sudah selesai." Tampak Kayuza berjalan-jalan di taman dengan senang, tetapi ia berhenti karena di depannya seorang pria berpakaian serba hitam menatapnya.
"Halo… Glaren (pencabut nyawa)." Malaikat putih itu melambai dan menyapa dengan ramah, tapi orang di depannya sama sekali tak membalas apa pun, hanya memasang wajah dinginnya.
Rupanya, malaikat maut yang digambarkan di sini adalah lelaki tampan berambut hitam, dengan pakaian serba hitam dan wajah yang dingin.
"Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali… Malaikat terakhir… Kau tidak perlu melakukan ini," tatapnya.
"E… Maksudmu?"
"Cih… Kau membuat pekerjaanku sulit… Aku ingin mencabut nyawa Pak Tua tadi, dan kau malah membatalkannya. Lebih baik jangan urusi campuranku… Dan jangan berlagak seperti aku lagi. Malaikat maut tak seperti yang kau buatkan," kata Glaren dengan aura kesal, lalu berjalan pergi.
"Oh… Ayolah… Aku hanya bosan, tak ada pekerjaan… Memang benar aku akan dicabut, tapi paling tidak bolehkah aku bersenang-senang dulu?"
"Tanya pada atasan!" balas Glaren dengan berteriak dari jauh.
"Haiz… ini membosankan… Waktuku hanya beberapa hari lagi… lebih baik aku langsung tanya ke atasan." Kayuza memunculkan sayapnya dan terbang ke langit.
Di dunia langit, dia berjalan di lantai awan dan dinding langit tak terbatas. Ia berhenti di depan cermin cahaya besar.
"Atasan… aku kembali," dia menundukkan badan di depan cermin cahaya itu.
"Kenapa kau masih saja mengganggu yang lain… Bukankah kau seharusnya merenung sekarang karena masa berlakumu di sini akan dicabut?" cermin itu berbicara padanya.
"Maafkan aku… Aku hanya ingin… Menjalankan tugas terakhir sebelum aku pergi dari dunia langit."
"Kalau begitu, aku punya satu misi, tapi ini akan bertahap untukmu."
"Apa itu… Aku akan menerimanya dengan senang hati."
"Dekatilah wanita bernama Rafaika."
"Rafaika?"
"Ya… Itu saja… Kau bisa pergi. Saat misi ini selesai, aku akan mencabutmu. Tak ada batas waktu di sini, jadi kau bebas mampir di dunia langit ini," kata cermin cahaya itu.
"Tapi, untuk apa?" tatap Kayuza dengan bingung.
Lalu suara besar itu muncul lagi menjawabnya. "Buat wanita itu percaya bahwa malaikat memang ada. Semakin banyak orang percaya bahwa kehidupan dan kematian itu memang ada, maka kau juga tidak akan pensiun bersama Glaren..." tatapnya.
"Oh, gampang sekali. Hanya wanita kan... Aku tahu itu..." Kayuza kemudian tersenyum.
Menjalankan misi untuk terakhir kalinya hanya untuk bertemu dengan seorang wanita bernama Rafaika. Apa misi ini akan mudah atau malah sulit? Memangnya, misi ini memintanya untuk apa? Setelah menemukan Rafaika, dia mau apa? Benar-benar penasaran siapa Rafaika yang terpilih ini. Apa dia wanita yang cantik, sempurna, atau jago dalam apapun? Yang pastinya, cukup jalani perintah ini, Kazuya.
--
"Hei, kamu..." terlihat malaikat hitam yang bernama Glaren menatap ke arah Eight yang masih berjalan santai, dan langkahnya terhenti saat melihat ada orang menghalanginya.
Glaren terdiam dengan tatapan tajam, membuat Eight terdiam bingung. Lalu, Glaren mengatakan sesuatu. "Bantu kami..." tatapnya.
Seketika, Eight terkejut sekaligus bingung. "Bantu? Kalian?"
"Yeah..." tatap Glaren, tatapannya tidak menunjukkan bahwa dia memohon atau meminta, melainkan hanya tatapan dingin itu.
"Membantu apa?" Eight masih tidak mengerti.
"Aku dan Kayuza akan menghilang. Tapi kami belum tahu, apakah yang hilang adalah pekerjaan kita, atau malah kita yang akan menghilang... Kita tak punya kesempatan untuk hidup sebagai manusia biasa. Tapi sebagai malaikat, aku tahu Kayuza sangat tidak ingin lepas dari pekerjaannya. Karena itulah dia berusaha untuk membantu mempertahankan pekerjaan kami, bahkan aku sendiri. Kadang aku bingung, setiap hari dia selalu direndahkan oleh manusia, tapi dia tetap melakukan pekerjaannya dengan senyuman aneh yang tertempel... Dan itu pasti menunjukkan bahwa dia ingin pekerjaannya tetap berjalan," kata Glaren.
Eight mulai memahami hal itu. "Aku paham... Aku bahkan sangat paham bagaimana kalian tidak ingin kehilangan tugas kalian... Haiz, baiklah jika begitu... Aku akan berusaha saja..."
Eight menerima permintaan tolong itu, membuat Glaren tersenyum kecil. Tapi siapa yang menyangka, dia langsung pergi menghilang, menyisakan asap hitam saja, membuat Eight terdiam dengan wajah kesal. "Dasar, malaikat perginya gak sopan banget..."
--
Eight berdiri sejenak, memikirkan cara untuk memenuhi permintaan Glaren dan Kayuza. Sebagai vampir, kekuatannya memang cukup mengesankan, namun untuk membuat orang percaya pada malaikat, dia butuh lebih dari sekadar kekuatan yang mengintimidasi. Dia perlu menunjukkan keajaiban, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika manusia.
"Kalau orang-orang percaya vampir itu nyata, pasti mereka juga bisa percaya pada malaikat," gumamnya, menyusun rencana di pikirannya.
Malamnya, Eight memutuskan untuk memulai aksinya di pusat kota, tempat orang-orang berkumpul. Ia memilih tampak misterius, memunculkan auranya yang menakutkan namun tetap karismatik. Dengan satu gerakan, dia menggunakan kecepatannya yang luar biasa untuk melompat dari satu gedung ke gedung lain, menciptakan ilusi bayangan yang bergerak cepat, hingga orang-orang mulai memperhatikan.
Beberapa orang di kerumunan melihat ke atas dan terkejut, sebagian berbisik-bisik ketakutan. Namun, saat salah satu orang mulai mengeluarkan ponsel untuk merekam, Eight muncul di hadapannya dengan senyum misterius. Dalam sekejap, dia menyentuh ponsel itu, membuat layar menjadi putih terang sejenak, menampilkan bayangan malaikat bersayap.
"Malaikat ada di antara kalian," suara Eight terdengar, berat dan penuh misteri. "Mereka melindungi kalian, bahkan ketika kalian tak menyadarinya."
Orang-orang di sekitar mulai gempar, beberapa ada yang tercengang, dan ada juga yang tampak mulai percaya pada kehadiran malaikat. Merasa momentum semakin kuat, Eight melanjutkan, memanfaatkan kekuatan telekinesisnya untuk mengangkat beberapa benda kecil di sekitar, menciptakan ilusi bahwa ada kekuatan tak kasat mata yang melindungi mereka.
Kemudian, dia muncul di dekat anak kecil yang terjatuh. Dengan lembut, Eight mengangkat anak itu dan menempatkannya kembali pada orang tuanya sambil berbisik, "Jangan takut. Malaikat selalu melindungi."
Orang-orang yang menyaksikan mulai terpana. Sebagian besar dari mereka berusaha mencari jawaban atas apa yang mereka lihat, tetapi tampaknya lebih banyak yang memilih percaya pada keajaiban yang terjadi.
Saat fajar mulai menyingsing, Eight merasa misinya hampir selesai. Dengan cara yang lembut dan penuh keajaiban, ia telah menanamkan kepercayaan pada mereka yang menyaksikan. Ia berbisik dalam hatinya, berharap usahanya cukup untuk menyelamatkan Glaren dan Kayuza dari ancaman menghilang.