Berikut pengembangan cerita dengan deskripsi yang lebih panjang tanpa melanjutkan alur ceritanya:
---
Hari ini, Eight duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponselnya. Posisinya terlihat santai, dengan kaki yang disandarkan di meja kopi, dan sesekali alisnya terangkat menandakan ketertarikan atau keheranan pada apa yang sedang ia lihat. Ruangan di sekitarnya terkesan sederhana namun nyaman, dihiasi dengan perabotan minimalis yang berwarna netral. Cahaya matahari yang lembut masuk melalui celah tirai, menambah suasana damai di dalam rumahnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Langkah kaki terdengar semakin dekat, lalu muncul sosok Leor dengan tas ransel di punggungnya.
Leor menatap ke arah Eight dengan ekspresi sedikit ragu sebelum akhirnya menyapa, "Tuan Eight, aku pergi dulu," ucapnya dengan nada sopan namun tegas. Di wajahnya tampak ketegasan seorang anak muda yang penuh semangat, namun juga tersirat rasa hormat terhadap Eight.
Eight menurunkan ponselnya sejenak, menatap Leor dengan mata yang tajam namun penuh perhatian. "Ah, ya... Nikmati harimu. Jangan memukul orang, jika dibully, lawan saja dengan seimbang." Nada bicaranya terdengar tenang, namun pesan tersebut tersampaikan dengan mantap. Kata-kata Eight menggantung di udara, membuat Leor sesaat terpaku, terlihat bingung. Ia menundukkan kepala sedikit, tampak mempertimbangkan kata-kata itu dalam-dalam, sebelum akhirnya berjalan pergi, meninggalkan Eight sendirian lagi di ruangan itu.
Sesaat kemudian, Simba datang dengan langkah tenang namun mantap. Dia mengamati Eight dengan ekspresi sedikit khawatir, seolah ada sesuatu yang menggantung di pikirannya. Simba berhenti di dekat sofa, melirik pintu di mana Leor baru saja pergi. "Bukankah ini hari pertama dia masuk sekolah? Kau yakin itu akan baik-baik saja untuknya?" Suaranya lembut namun terdengar jelas, menunjukkan perhatian yang tulus.
Eight menoleh dengan pandangan yang tenang namun penuh keyakinan. "Ini baik-baik saja... Dia pasti bisa berbaur..." katanya. Wajahnya memancarkan kepercayaan yang kuat, seolah-olah dia tahu Leor mampu menghadapi dunia luar dengan keberanian. Simba hanya bisa menghela napas panjang, rasa khawatirnya belum sepenuhnya hilang. Perlahan, ia mengambil tasnya sendiri yang sudah siap di sudut ruangan.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku ada syuting hari ini di studio, jangan mencariku," katanya dengan senyum kecil, mencoba mengusir keraguan yang mungkin masih tersisa dalam pikirannya.
Eight mengangkat alis, sedikit bingung. "Kupikir kau sudah keluar dari pekerjaanmu karena terakhir kali kau bersembahyang di hutan," jawabnya sambil memandang Simba, seolah mencari kepastian.
Simba tertawa kecil, menyeberangkan tangannya di dada. "Aku bosan jika harus di sini. Kau seperti pengangguran saja... Paling tidak, ajak aku jalan-jalan atau apapun itu," balasnya dengan sedikit senyuman penuh godaan. Ucapannya sedikit menggoda, namun di balik kata-kata itu tersirat harapan sederhana untuk menghabiskan waktu bersama.
Eight meletakkan ponselnya, menghela napas pendek, lalu bangkit dari sofa. "Oke, baiklah... Ayo, bukankah aku sudah meluangkan waktuku hanya untuk menemanimu, huh?" katanya sambil menatap Simba dengan tatapan serius namun penuh rasa sayang yang tersembunyi.
Simba mengibaskan tangannya, seolah enggan. "Ah, lupakan, tidak usah. Kemarin aku sudah menyatakan jadwal dengan sutradara, jadi sampai jumpa," katanya, sambil berlalu tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Eight yang tertegun dan sedikit kesal, namun mencoba menahan emosinya. Ia menghela napas panjang, matanya sedikit memicing seolah berpikir keras. "(Dasar wanita...)" gumamnya pelan, hanya untuk dirinya sendiri.
Eight kembali duduk di sofa, mencoba kembali fokus pada ponselnya. Tangannya sesekali menggulir layar, tetapi pikirannya tampak melayang, seolah memikirkan sesuatu yang tidak ia ungkapkan. Waktu berlalu, dan ruangan itu pun kembali sunyi. Namun, ketenangan itu lagi-lagi terpecah ketika ketukan pelan terdengar di pintu. Eight mengangkat kepalanya, kebingungan, lalu dengan langkah malas namun penasaran, ia bangkit dan berjalan menuju pintu.
Saat ia membukanya, tak ada siapa pun di sana. Eight menatap kosong ke luar, lalu perlahan menunduk. Matanya terhenti pada sesuatu yang tak biasa – sebuah keranjang rotan kecil yang diletakkan di depan pintu. Ia terkejut, memiringkan kepala sambil mencoba memahami situasi yang tampak ganjil ini.
"(Kenapa ada keranjang bayi di sini? Apa jangan-jangan ada yang menelantarkannya... Waduh... Gawat jika punya bayi... Sebaiknya aku mengeceknya.)" Pikirannya dipenuhi dengan spekulasi. Perlahan, ia berlutut dan mengangkat selimut tipis yang menutupi isi keranjang itu. Namun, apa yang ditemukannya jauh dari dugaan. Matanya melebar, ekspresi terkejut tak bisa ia sembunyikan. Bukan bayi manusia yang terbaring di dalamnya, melainkan seekor bayi naga kecil dengan kulit bersisik halus dan mata bulat yang memelas, menatapnya.
Eight hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia menoleh ke sekeliling, berharap menemukan seseorang yang mungkin sedang mengawasi atau sekedar memberikan petunjuk. Namun, jalanan sepi, tak ada tanda-tanda siapa pun yang berada di dekat sana.
Dilematis, Eight bimbang. Jika ia membiarkan naga kecil itu, siapa yang tahu nasib apa yang menunggunya? Akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil keranjang itu beserta isinya, mengangkat bayi naga tersebut ke dalam rumah. Namun, begitu ia menutup pintu, bayi naga itu membuka mulut kecilnya seperti hendak menangis. Seketika, api kecil menyembur dari mulutnya, langsung mengenai kepala Eight yang membuatnya terpaku. Wajahnya berubah gosong, menghitam akibat kobaran api kecil yang tiba-tiba itu. Ia menatap bayi naga tersebut dengan pandangan yang terkejut sekaligus kesal, sementara naga kecil itu menatapnya dengan mata memelas, seolah tak menyadari apa yang baru saja terjadi.
"Ck... Kau hampir membunuhku tadi..." gerutu Eight sambil menurunkan keranjang itu ke kursi. Tapi bayi naga itu belum selesai berulah. Dia memegang kakinya sendiri, dan tanpa sengaja menyemburkan api lagi. Kali ini, Eight hanya bisa tertegun, menahan rasa panas yang muncul seiring dengan ulah si bayi naga yang kini juga mulai menangis sendiri.
"Astaga, kecil-kecil sudah bisa mengeluarkan api," ucap Eight, sambil mengamati bayi naga itu dengan tatapan yang penuh heran.
Tak disangka, bayi naga itu bangkit dan mulai berjalan keluar dari keranjangnya dengan langkah gontai, membuat Eight hampir tersentak dari tempatnya. "(Astaga! A... Apa yang terjadi... Ke... Kenapa bisa...)" pikir Eight yang kini terpaku tak percaya. Bayi naga itu terus melangkah, mendekati meja makan dengan langkah-langkah kecil namun penuh rasa ingin tahu. Dengan mata bulatnya yang cerah, ia memandang makanan yang tersaji di atas meja, lalu dengan cepat melahapnya – termasuk piring di atas meja yang tak luput dari gigitannya.
"Hm... Sepertinya kau harus menutup mulutmu itu," ujar Eight sambil menarik kain panjang, mengikatnya perlahan pada mulut si naga yang kini terdiam dan menatap polos.
Eight menghela napas, berpikir keras. "Hm... Bagaimana caraku merawatmu..." gumamnya, sambil mengeluarkan sebatang jagung mentah dari dapurnya, lalu mengulurkannya dengan hati-hati menggunakan garpu. Bayi naga itu membuka mulutnya lagi, dan seketika, api kecil kembali menyembur ke arah jagung, membuatnya berubah menjadi popcorn yang meletup di udara, berjatuhan ke segala arah.
Tiba-tiba, bayi naga itu menangis lagi, suara kecilnya menggema di ruangan. Eight mengangkatnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan makhluk kecil itu. Ia menepuk-nepuk punggung naga tersebut dengan lembut, namun belum selesai Eight berpikir bagaimana cara menenangkannya, bayi naga itu kembali menyemburkan api, dan kali ini, dinding rumah Eight yang terkena.
Eight hanya bisa menghela napas panjang, memandangi dinding rumahnya yang gosong dan hitam akibat keusilan makhluk kecil yang tak terduga ini.
Lalu, tiba-tiba saja bayi naga itu menangis lagi.
"Cup, cup... Astaga... kenapa kau menangis..." Eight menggendong naga tersebut dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Namun, siapa sangka, naga itu kembali menyemburkan api hingga dinding rumah Eight gosong. Eight terkejut melihat dinding rumahnya.
"A... Apa itu tadi?!" ia bahkan menatap tak percaya membuatnya tampak ketakutan memegang naga itu, dia bahkan langsung meletakan naga itu di bawah.
Eight masih terdiam, kebingungan dari mana asal bayi naga itu. Baru saja ia hendak berpikir lebih jauh, tetapi masalah lain muncul dengan cepat. Bayi naga itu meronta-ronta, membuat udara di sekitar ruangan memanas, membuatnya semakin sulit dikendalikan. Eight langsung panik ketika melihat barang-barangnya mulai hangus satu per satu.
"Hei! Jangan sembur-sembur lagi, nanti rumah ini habis jadi abu!" seru Eight sambil berusaha mengarahkan naga kecil itu menjauh dari barang-barangnya. Sayangnya, naga itu terus beraksi—napasnya yang panas bahkan membuat tanaman hias di pojok ruangan layu dan pakaian Eight yang tergantung di dekatnya mulai berasap.
Belum selesai Eight menyelamatkan barang-barangnya, ia mendengar suara benda pecah di belakang. Ketika berbalik, ia melihat pot tanaman kesayangan Simba yang sudah hancur berkeping-keping. "Oh, tidak... Itu favorit Simba..." gumam Eight, panik. Ia tahu Simba akan marah besar melihat ini. Dengan cepat, Eight mencoba membungkus naga itu dengan selimut basah, berharap agar panasnya bisa sedikit diredam.
Namun, bayi naga itu justru makin gelisah, seolah tidak nyaman dengan selimut yang dingin dan basah. Eight menarik napas panjang, berpikir keras. "Baiklah, kalau begini, aku harus mencari cara agar kau bisa merasa nyaman tanpa membakar semuanya."
Eight mencoba menenangkan diri, berpikir keras mencari cara agar naga kecil itu berhenti membuat masalah. Setelah beberapa saat, ia teringat cerita lama tentang naga yang pernah ia dengar dari Simba. Dalam cerita itu, naga kecil biasanya merasa nyaman di tempat terbuka dengan suhu yang lebih rendah dan sedikit air mengalir.
"Baiklah, mungkin aku bisa membawamu ke luar sebentar. Mungkin kamu cuma merasa pengap di sini," gumam Eight, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menggendong bayi naga itu dengan hati-hati, memastikan selimut basah masih melindungi tubuh kecil yang panas itu.
Saat mereka keluar, naga kecil itu langsung berhenti meronta, matanya yang besar dan berkilau tampak tertarik oleh pemandangan di sekitar. Eight berjalan pelan ke taman kecil di depan rumah, membiarkan naga kecil itu menghirup udara segar.
Ternyata dugaannya benar—naga itu perlahan tenang. Eight tersenyum lega, tapi kebahagiaannya tak bertahan lama. Naga kecil itu menatap rerumputan hijau di bawahnya dan... sekali lagi menyemburkan api! Kali ini, rumput di taman pun mulai hangus.
"Oh, ayolah... tidak lagi!" seru Eight, bingung dan putus asa. Di satu sisi, ia mulai menyadari bahwa naga ini jelas bukan hewan biasa. Namun, di sisi lain, ia merasa kasihan karena bayi naga itu tampak belum bisa mengendalikan kekuatannya. Dengan sedikit kebingungan, Eight hanya bisa berkata pelan, "Aku harus cari tahu bagaimana cara merawatmu... sebelum kau bakar habis seluruh tempat ini."