Aku memperhatikan sepasang kekasih yang duduk di taman. Mereka tidak berbicara, saling membelakangi. Si pria tampak frustrasi, sementara wanitanya duduk dengan ekspresi marah namun terluka. Jelas mereka baru saja bertengkar, namun tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing menunggu yang lain untuk mengambil langkah pertama. "Mengapa begitu sulit bagi mereka untuk mengesampingkan harga diri dan berbicara dari hati ke hati?" pikirku.
"Mungkin jika aku bisa membuat pria itu tersenyum, itu bisa memulai sesuatu?"
Aku melangkah mendekati pria itu dan dengan lembut memberikan ciuman ringan di pipinya. Ia tersentak dan tersenyum, berpikir bahwa kekasihnya yang melakukannya. Pria itu akhirnya berbalik, mendekati wanitanya, dan mencium pipi kekasihnya. Wanita itu, meski awalnya terlihat bingung, akhirnya tersenyum kecil. Aku bisa melihat dinding emosi di antara mereka mulai runtuh, setidaknya untuk saat ini.
"Sederhana sekali, bukan? Sebuah dorongan kecil dan cinta kembali bersemi."
Namun, ini hanya salah satu dari sekian banyak hubungan. Di dunia ini, ada jutaan cinta yang sedang diuji, banyak yang membutuhkan dorongan kecil sepertiku, tetapi aku hanya satu malaikat. "Bagaimana aku bisa berada di mana-mana? Bagaimana caraku membuat mereka sadar tanpa harus turun tangan di setiap hubungan?"
Aku sering kali berpikir tentang hal ini. "Mengapa manusia begitu sulit peka?"
Tugas ini—menjaga cinta manusia tetap hidup—terkadang terasa seperti sebuah beban yang tak berujung. Setiap kali aku memperbaiki satu hubungan, ada ribuan lainnya yang mulai retak. Aku hanya bisa melakukan sedikit, dan pada saat yang sama, aku tidak bisa membiarkan cinta itu mati. Karena cinta, betapapun rapuhnya, adalah hal yang memberi arti pada kehidupan manusia.
"Apa yang mereka butuhkan untuk lebih peka?"
Aku melanjutkan langkahku, melihat ke arah pasangan lain yang duduk tidak jauh dari situ. Mereka tampak tidak sedang bertengkar, namun ada keheningan yang aneh di antara mereka. Si pria asyik dengan ponselnya, sementara wanita itu hanya menatap kosong ke kejauhan. Jelas mereka tidak sedang marah, tapi juga tidak ada koneksi di antara mereka.
"Ini... ini bahkan lebih buruk daripada bertengkar," pikirku. "Mereka tidak berbicara, tidak berinteraksi. Mereka hanya ada di sana, bersama, namun tidak benar-benar hadir satu sama lain."
Aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam di hati wanita itu. Ia merasa kesepian, meskipun pasangannya ada di sampingnya. Dan si pria? Dia tidak menyadari hal ini sama sekali. Pikirannya teralihkan oleh hal-hal sepele di layar ponselnya.
"Bagaimana caraku membuatnya menyadari apa yang sedang terjadi?" pikirku, mencoba mencari cara.
Aku menjatuhkan sebuah bunga dari pohon yang berada di atas mereka. Bunga itu jatuh tepat di tangan wanita itu, membuatnya tersenyum kecil. Pria itu akhirnya menoleh, menyadari keberadaan wanitanya. "Kau terlihat cantik saat tersenyum," katanya dengan lembut.
Wanita itu terkejut, lalu balas tersenyum. "Itu langkah kecil, tapi setidaknya mereka mulai berbicara lagi."
Namun, meskipun mereka mulai berbicara, aku tahu ini hanya permulaan. Manusia sering kali mudah terganggu. Sebentar lagi, pria itu mungkin akan kembali ke ponselnya, dan jarak di antara mereka akan mulai tumbuh lagi. "Apakah harus selalu seperti ini? Haruskah aku selalu campur tangan setiap kali cinta mereka mulai goyah?"
Aku menghela napas panjang, mencoba memahami tugas yang lebih besar di hadapanku. "Manusia... mereka begitu mudah terganggu oleh hal-hal kecil. Mereka sering kali tidak peka terhadap kebutuhan satu sama lain sampai semuanya terlambat. Bagaimana caraku membuat mereka lebih peka, tanpa harus turun tangan setiap saat?"
Aku merenung lebih dalam. "Jika aku bisa menanamkan sesuatu dalam diri mereka—sebuah perasaan bahwa mereka harus peduli lebih sering, sebuah pengingat bahwa cinta bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja—mungkin itu akan membuat perbedaan. Tapi bagaimana?"
Aku berpikir kembali pada asal mula mereka, bagaimana mereka diciptakan dengan kapasitas besar untuk mencintai, tetapi juga dengan kemampuan untuk mengabaikan cinta itu. "Apakah ada cara untuk membangkitkan kembali kesadaran mereka tentang pentingnya cinta tanpa mengganggu kebebasan mereka?"
Aku ingat salah satu tugas pertamaku. Ada seorang pria yang begitu keras kepala, begitu terfokus pada pekerjaannya, hingga ia hampir kehilangan keluarganya. Hari demi hari, ia bekerja, mengabaikan istri dan anak-anaknya, sampai pada titik di mana mereka mulai merasa seperti orang asing di rumah mereka sendiri. Aku tidak bisa berdiri diam dan membiarkan hal itu terjadi.
Jadi, suatu malam, aku membisikkannya dalam mimpinya. "Lihat keluargamu. Mereka merindukanmu." Dia terbangun dengan perasaan aneh—sebuah dorongan kecil untuk meluangkan lebih banyak waktu bersama mereka. Dan itu berhasil, setidaknya untuk sementara. Tapi beberapa bulan kemudian, dia kembali ke kebiasaannya, tenggelam dalam pekerjaannya lagi.
"Apa gunanya jika mereka terus-menerus lupa?" pikirku dengan frustrasi. "Apakah manusia selalu butuh diingatkan untuk peduli?"
Aku mulai memahami bahwa membuat manusia peka bukan hanya soal momen-momen kecil. Itu adalah proses yang terus menerus. Cinta tidak bisa dipertahankan hanya dengan satu dorongan kecil. Mereka perlu belajar bahwa cinta butuh perawatan, perhatian, dan—yang paling penting—kehadiran.
"Haruskah aku terus-menerus hadir untuk mereka? Haruskah aku selalu memberikan dorongan di saat-saat krusial?"
Namun, aku tahu aku tidak bisa berada di mana-mana. Aku hanya satu malaikat. "Mungkin tugas ini lebih besar daripada diriku sendiri," pikirku. "Mungkin mereka harus menemukan sendiri bagaimana menjadi peka. Mungkin aku hanya bisa memberikan dorongan-dorongan kecil, dan sisanya adalah perjalanan mereka sendiri."
Aku melihat kembali pada pasangan-pasangan di taman itu. Beberapa dari mereka tersenyum, yang lain masih terdiam. "Setiap hubungan memiliki tantangannya sendiri. Setiap cinta membutuhkan dorongan yang berbeda. Aku hanya bisa melakukan sebatas yang aku bisa."
Dan meski tugas ini tampak berat, aku tahu satu hal yang pasti. "Cinta itu layak diperjuangkan. Bahkan jika aku harus turun tangan seribu kali, aku akan melakukannya, karena tanpa cinta, dunia ini akan kehilangan maknanya."
--
"Jadi?" Eight menatap dengan tatapan membosankan sambil menyilang tangan. Malaikat putih bernama Kayuza itu menatap bingung ingin menjelaskan apa.
"Emm... Yeah, begitulah bagaimana aku melakukan nya...." tatapnya.
"Itu membosankan..." Eight menatap bosan menguat Kayuza terkejut.
"Aku punya hal lain lagi...." tatapnya menjelaskan.
--
Terkadang, manusia tidak peka... Bahkan ketika aku berjalan-jalan di tengah hujan menunggu lampu merah, aku hanya bisa terdiam. Di sampingku, seorang pria memegang payung, berdiri nyaman di bawah perlindungannya. Sementara itu, hanya beberapa langkah darinya, seorang anak kecil basah kuyup, menggigil di bawah derasnya hujan. Begitu dekat, namun terabaikan.
Aku mengamati mereka dengan seksama, berharap pria itu akan melihat anak tersebut. Namun, tidak ada tanda-tanda kesadaran dari dirinya. Dalam pikiranku, aku tahu ini saatnya untuk bertindak. Dengan langkah ringan, aku mendekati genangan air di dekat kakinya, lalu dengan sengaja aku injak genangan itu, membuat air terciprat ke arah pria tersebut.
Seketika, pria itu tersentak dan bergeser, tanpa sengaja menyenggol anak di sampingnya. Dia menoleh, akhirnya memperhatikan anak yang menggigil di sampingnya. Aku menahan senyum saat pria itu, dengan sedikit rasa bersalah, memiringkan payungnya untuk berbagi dengan anak kecil itu. Mereka berjalan bersama di bawah payung yang sama, dan aku melihat sekilas perubahan di dalam hatinya. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah sedikit dorongan.
Namun, tugas malaikat seperti diriku tidak selesai hanya dengan satu tindakan kecil. Dunia penuh dengan keacuhan, dan tidak hanya dari orang-orang muda. Orang-orang tua pun kerap diabaikan.
Suatu hari, aku melihat seorang nenek tua berjalan dengan gemetaran, membawa kantong belanja yang berat. Di belakangnya, seorang pria muda dengan langkah cepat mendahuluinya tanpa berpikir dua kali. Aku memandangi punggung pria itu dan berpikir, "Dia benar-benar membutuhkan sedikit arahan."
Aku melihat sebuah apel jatuh dari kantong belanja nenek itu. Dengan cepat, aku menggunakan sedikit kekuatanku untuk membuat apel itu bergulir dengan sempurna ke arah kaki pria muda itu. Apel itu berhenti tepat di depan sepatunya, membuatnya berhenti mendadak. Dengan rasa penasaran, dia membungkuk, mengambil apel itu, dan saat itulah dia melihat nenek tua yang berjuang dengan belanjaannya. Ada jeda sejenak sebelum kesadaran muncul di wajahnya. Dia berbalik dan dengan langkah cepat kembali, menawarkan untuk membawakan belanjaan nenek itu.
Aku tersenyum, senang bahwa sekali lagi, misi kecilku berhasil. Terkadang manusia butuh sebuah dorongan untuk menjadi peka, entah tua atau muda.
Hari demi hari, aku menyaksikan lebih banyak situasi serupa. Di sebuah halte bus, seorang pria dengan jas rapi duduk nyaman, sibuk dengan ponselnya, sementara seorang wanita hamil berdiri di depannya, terlihat lelah. Orang-orang di sekitarnya juga tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri, tidak ada yang memperhatikan wanita itu. Aku mendekat dan meniupkan angin sejuk ke arah pria itu, membuat ponselnya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah. Ketika dia membungkuk untuk mengambilnya, pandangannya bertemu dengan mata wanita hamil tersebut. Wajahnya seketika berubah, dan dia segera bangkit, menawarkan kursinya.
Namun ada kalanya, situasi tidak sesederhana itu. Beberapa orang membutuhkan lebih dari sekadar dorongan kecil. Ada hari ketika aku menemukan seorang pria tua duduk di bangku taman, memandangi langit dengan tatapan hampa. Aku bisa merasakan beban di hatinya—kesepian, keputusasaan. Seorang remaja duduk tak jauh darinya, sibuk dengan musik di telinganya. Di antara mereka, ada jarak yang sangat jelas: remaja itu tenggelam dalam dunianya sendiri, sementara pria tua itu tenggelam dalam kesepiannya.
Aku mengamati mereka sebentar, merasakan waktu yang berjalan lambat. Pria tua itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah foto lama. Senyum tipis melintas di bibirnya, namun senyuman itu hanya bertahan sesaat sebelum digantikan oleh ekspresi sedih. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Angin sepoi-sepoi menghembuskan daun-daun kering di sekitar taman. Aku membuat salah satu daun itu terbang tepat ke arah wajah remaja tersebut, membuatnya tersentak dan membuka matanya. Pandangannya jatuh pada pria tua yang duduk di bangku dekatnya. Awalnya, hanya tatapan singkat, namun kemudian, remaja itu melepas earphonenya dan berjalan mendekat. Dia duduk di samping pria tua itu, meskipun mereka tidak langsung berbicara. Kehadiran si remaja sudah cukup membuat pria tua itu merasa tidak lagi sendirian.
Terkadang, manusia tidak membutuhkan kata-kata. Kehadiran orang lain, bahkan dalam keheningan, bisa menjadi penghiburan yang tak ternilai.