Chapter 2 - 1.1

Langit pagi di desa Verdantia selalu memiliki warna biru yang menenangkan, seperti hari-hari tenang yang sudah berulang kali menyelimuti desa itu. Matahari bersinar lembut di balik bukit-bukit rendah, memberikan kehangatan tanpa tergesa-gesa. Di hari yang cerah ini, seorang pemuda bernama Alaric, berusia tujuh belas tahun, melangkah dengan langkah-langkah ringan di jalanan desa. Sebuah tongkat sihir baru menggenggam erat di tangannya, memantulkan kilau keemasan di bawah cahaya pagi.

"Aku akhirnya resmi jadi penyihir petualang," gumamnya pelan, suaranya tak tertahan menembus udara. Ada seulas senyum kecil di bibirnya—campuran kegembiraan dan antisipasi.

Di sekitarnya, anak-anak desa berlarian sambil bersorak, menggoda Alaric dengan impian besar yang mereka anggap lucu. "Alaric, kamu pasti akan jadi penyihir terhebat di dunia!" teriak salah satu anak.

Alaric berhenti sejenak, menatap mereka dengan pandangan serius yang membuat alisnya berkerut. "Tentu saja!" jawabnya mantap, meski ada jejak canggung di sudut bibirnya. "Aku akan menjelajahi dunia, menemukan mantra-mantra hebat, dan... mungkin mengubah batu jadi permen," tambahnya dengan nada berusaha menahan tawa.

Orang-orang dewasa yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum samar, termasuk Nenek Elda yang biasanya tidak terkesan dengan tingkah laku anak-anak muda. Kali ini, bahkan dia tak bisa menahan senyum. "Semangat muda memang selalu membawa harapan," gumamnya pelan, matanya redup mengingat masa-masa yang sudah lewat.

Tanpa peduli akan ejekan kecil, Alaric melambaikan tangannya ke seluruh penjuru pasar. "Baiklah, warga desa Verdantia! Aku akan pergi untuk memulai petualangan besar! Jaga desa ini untukku, ya!"

Beberapa tawa kecil terdengar dari belakangnya, bersama dengan ejekan ringan. "Dan jangan coba-coba mengubah ayam jadi naga lagi!" salah satu anak kecil berseru dengan tawa yang membahana.

Wajah Alaric memerah, mengingat kesalahan mantra yang terjadi beberapa bulan lalu. "Hei, itu cuma sekali! Dan itu karena aku salah baca mantra!" Alaric membela diri, meski tak ada yang mendengarnya dengan sungguh-sungguh.

Di depan pintu rumah yang sederhana, Lyra, kakaknya, berdiri di ambang pintu, menatap adiknya dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Ia tahu, perjalanan Alaric bukanlah sekadar petualangan biasa. Dunia di luar sana penuh bahaya, terutama bagi seseorang seperti Alaric.

"Sudah siap?" Suara Lyra terdengar lembut, namun ada ketegasan yang tersembunyi di baliknya.

Alaric mengangguk, berusaha tersenyum meski dalam hatinya ia merasakan getaran kegugupan. "Aku sudah mengemas semuanya. Buku mantra, kristal sihir, dan tentu saja, bekal roti lapis buatan Kakak."

Namun, senyum Lyra tak muncul. Ia menatap adiknya dengan pandangan penuh harap, seakan ingin memastikan bahwa Alaric benar-benar memahami pesan yang akan ia sampaikan. "Dengarkan aku, Alaric."

Alaric terdiam. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih serius di balik kata-kata kakaknya.

"Di luar sana, jangan pernah mengaku sebagai penyihir."

Alaric mengerutkan kening. Ia tahu, ras penyihir sudah jarang terlihat di dunia. Mereka dianggap berbeda, bahkan oleh sebagian besar orang, dianggap berbahaya. Tapi Alaric selalu berpikir, apa salahnya menjadi penyihir jika ia bisa menggunakan sihir untuk kebaikan?

"Tapi kenapa, Kak?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh gemerisik angin pagi.

"Dunia belum siap menerima kita lagi. Ras penyihir dianggap sebagai ancaman. Banyak dari kita yang telah hilang... dan mereka yang tersisa harus menyembunyikan identitasnya," jawab Lyra, suaranya berubah sedikit lebih pelan. Tatapannya tidak pernah lepas dari Alaric, seolah ingin menekankan setiap kata.

Angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut Alaric yang hitam. Ia menunduk, memandangi tongkat sihir di tangannya. "Tapi... aku ingin menunjukkan pada dunia kalau penyihir juga bisa jadi pahlawan. Aku ingin orang-orang tahu kalau kita tidak jahat."

Lyra tersenyum tipis, tapi ada rasa getir di balik senyum itu. "Suatu hari mungkin. Tapi untuk sekarang, keselamatanmu yang paling penting. Jangan sampai orang lain tahu siapa dirimu sebenarnya."

Alaric terdiam. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, namun semuanya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, kakaknya benar. Dunia masih terlalu keras bagi penyihir seperti mereka.

"Baiklah, Kak. Aku akan hati-hati. Aku janji," ucapnya akhirnya, meski dalam hatinya ada keraguan yang belum bisa ia hilangkan.

Lyra mengangguk, lalu mendekat dan memeluk Alaric dengan erat. "Hati-hati di luar sana."

Alaric membalas pelukan itu, merasakan hangatnya perhatian kakaknya. Tapi ia tahu, ketika ia melangkah keluar desa, dunia yang ia hadapi tidak akan sehangat ini.

Setelah pelukan itu terlepas, Alaric melangkah menjauh. Di balik punggungnya, Lyra tetap berdiri di ambang pintu, memandangi adiknya yang perlahan menghilang di balik bayangan hutan.

"Hutan pertama, dan dari sinilah semua dimulai," bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tenggelam dalam suara angin yang menyapu daun-daun kering di tanah.

Saat malam tiba, Alaric menemukan sebuah gua kecil untuk berlindung. Dia duduk di dekat api unggun yang dibuatnya dengan susah payah, menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Setiap bintang itu seolah menceritakan kisahnya sendiri, namun Alaric hanya terdiam, merasakan rasa sepi yang perlahan merayap dalam keheningan.

"Keesokan harinya pasti lebih baik," gumamnya dengan keyakinan yang hampir memudar. Tapi dia memejamkan matanya, berharap mimpi-mimpi besar masih akan menemaninya.

Keesokan paginya, sinar matahari masuk melalui celah gua, membangunkan Alaric dari tidur yang tak nyaman. Dia mengusap matanya, kemudian bangkit dengan semangat baru. "Ayo, Alaric, petualangan dimulai lagi," ujarnya pelan pada dirinya sendiri, meski ada sedikit keraguan di suaranya.

Namun, saat dia terbang menggunakan mantra terbang ringannya, matanya tertuju pada asap hitam tebal yang membubung di kejauhan. Sesuatu terasa salah. Hatinya berdebar lebih cepat. "Apa itu?" bisiknya, alisnya berkerut. Dia meluncur cepat menuju asap itu, rasa ingin tahunya melawan insting amannya.

Ketika mendekat, pemandangan di bawahnya membuat dadanya semakin sesak. Sebuah kereta kuda terbakar, sementara bandit-bandit dengan wajah kejam menyerang para penumpang. Alaric berhenti di udara, tubuhnya tiba-tiba membeku.

Dia bisa mendengar jeritan wanita yang ditarik keluar dari kereta, mata Alaric melebar dengan ketakutan. "Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya, hatinya diliputi kebingungan dan kecemasan. Tangannya gemetar, memegang tongkat sihirnya erat-erat, tapi langkah kakinya tidak bergerak.

"Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku terluka?" gumamnya pelan, matanya dipenuhi rasa takut. Alaric ingin membantu, tapi kakinya tertambat di tanah seolah dibebani oleh ketakutannya sendiri.

Saat salah satu bandit mengayunkan pedangnya, niat Alaric semakin kabur. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya, tetapi ketakutannya terlalu kuat. Dengan air mata yang menggenang di sudut matanya, dia berbalik dan terbang menjauh.

"Maaf... maaf..." bisiknya, suaranya teredam oleh hembusan angin. Dan di balik rasa bersalah itu, dia hanya bisa melarikan diri dari tanggung jawab yang dia tahu tidak bisa dia emban.