Chapter 7 - 4.1

Alaric berlari ketakutan, tak sanggup melawan Zai yang mengancamnya. Zai melemparkan hinaan kepada Alaric, namun Alaric tetap melanjutkan pelariannya, terpicu oleh penyebutan roh air, yang langsung membangkitkan kemarahan dalam dirinya.

Saat itu, Alaric merasakan amarahnya memuncak, hingga tanah di sekelilingnya bergetar hebat akibat benturan aura sihir antara dirinya dan Zai. Tiba-tiba, semangat baru mengalir dalam diri Alaric. Ia mengangkat tangannya ke langit dan dengan cepat merapal rentetan mantra es.

"¡Tormenta de Hielo! ¡Escudo de Nieve! ¡Lanza del Invierno!" Alaric berseru, suaranya dipenuhi tekad yang membara.

Dari udara, serpihan es mulai berkumpul, membentuk badai salju yang sangat dingin di sekitar Zai. Es-es tajam melesat menuju Zai dengan kecepatan tinggi, namun Zai segera mengangkat tangannya dan menciptakan perisai api untuk menangkis serangan itu.

"Scudo di Fuoco!" Zai membalas dengan percaya diri.

Pertarungan antara es dan api berlangsung dengan intensitas yang tinggi. Ketika badai salju yang diciptakan Alaric berbenturan dengan perisai api Zai, sebuah ledakan besar terjadi, membuat tanah di sekitar mereka semakin retak dan bergetar hebat.

Tak mau berhenti, Alaric melanjutkan serangannya. Dengan konsentrasi penuh, ia merapal sihir es yang lebih kuat. Sebuah pedang besar dari es terbentuk di tangannya, berkilauan di bawah cahaya bulan yang redup.

"¡Espada de Hielo Eterna!" teriaknya, mengangkat pedang es tersebut tinggi-tinggi, siap untuk menyerang Zai dengan segala kekuatan yang ia miliki. Namun, saat ia ingin mengayunkan pedangnya, sesuatu yang aneh terjadi. Kesadarannya tiba-tiba memudar, dan dunia di sekelilingnya mulai berputar sebelum semuanya menjadi gelap.

Ketika Alaric membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di siang hari, duduk dengan napas terengah-engah. Ia berada di dalam tenda, kembali ke dunia asalnya. Bram dan Liora, yang tidur tak jauh darinya, terbangun mendengar teriakan Alaric.

"Sialan! Sialan! Sialan! Aku ingin kembali!" Alaric berteriak dengan panik.

Ia segera keluar dari tendanya dan berlari menuju danau terdekat. Tanpa berpikir panjang, ia melompat ke dalam air danau, berharap bisa kembali ke dunia sebelumnya. Namun, usahanya sia-sia. Air danau tetap tenang, tidak memberikan respons apapun.

"Kenapa tidak bisa? Kenapa aku tidak bisa kembali?!" teriak Alaric, suaranya menggema di siang yang sunyi.

Ia kembali ke tepi danau, memukul-mukul pohon dengan penuh amarah. Suara pukulannya memecah keheningan siang.

Liora, yang mengikuti Alaric, melihat apa yang terjadi dan segera mengelus kepalanya untuk menghentikan aksi tersebut. "Alaric! Kamu kenapa? Coba bilang, ada apa sebenarnya?" tanya Liora, nada suaranya dipenuhi keprihatinan.

Dengan napas terengah-engah, Alaric menjelaskan apa yang baru saja terjadi—tentang dunia yang berbeda dan pertarungannya dengan Zai. Namun, penjelasan Alaric terdengar mustahil bagi Bram dan Liora, sehingga mereka sulit mempercayainya.

"Alaric, mungkin itu hanya mimpi buruk. Kamu perlu tenang," Bram berusaha menenangkan.

Saat hari mulai fajar, meskipun bingung dan ragu, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka naik ke kereta kuda dan mulai bergerak. Alaric mengikuti mereka dengan perasaan yang masih terguncang, pikirannya terus berputar, memikirkan cara untuk kembali ke dunia itu. Ia tertidur di dalam kereta, kelelahan oleh emosi dan pikiran yang bercampur aduk.

Dalam tidurnya, Alaric bermimpi tentang masa lalunya bersama kakak dan teman masa kecilnya. Dalam mimpi itu, teman masa kecilnya berkata serius, "Jika kamu ingin melakukan sesuatu yang besar, kamu harus bersedia mengorbankan dirimu. Itulah yang dilakukan di dunia ini."

Kata-kata itu terngiang-ngiang di benaknya saat ia terbangun tiba-tiba. Alaric langsung bangkit, matanya dipenuhi tekad baru. Tanpa berpikir panjang, ia melompat keluar dari kereta kuda dan mulai mengaktifkan sihirnya. Sayap-sayap besar yang terbuat dari energi es muncul di punggungnya, memancarkan cahaya biru yang dingin di siang yang cerah.

"¡Ala de Hielo, Llévame al Destino!" Alaric berseru dengan penuh keyakinan.

Dengan mantra itu, Alaric melesat ke langit, terbang dengan kecepatan luar biasa menuju danau yang ia lihat sebelumnya. Angin siang menyapu wajahnya, namun tekadnya tetap teguh. Ia tahu ia harus kembali ke dunia itu, tidak peduli apa yang harus ia korbankan.

Sesampainya di danau, ia mendarat dengan lembut di tepinya. Danau itu tampak tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Alaric berdiri di tepi air, menghunuskan belatinya dan menyayat telapak tangannya dengan tegas.

"¡Sangre de mi ser, conéctame al otro mundo! ¡A través de este sacrificio, abro las puertas entre dimensiones!" teriaknya dengan semangat membara.

Darah segar menetes dari tangannya, jatuh ke dalam air danau yang tenang. Dengan konsentrasi penuh, ia mengulurkan tangannya yang berdarah ke arah permukaan danau, menyebarkan mana-nya ke dalam air.

Air danau yang tadinya tenang mulai bergelombang, berpendar dengan cahaya biru yang aneh. Alaric merasakan energi kuat yang bergetar di sekitarnya, semakin kuat seiring dengan banyaknya mana yang ia alirkan ke dalam danau.

"¡Permítanme cruzar este abismo y regresar a donde pertenezco! ¡Que las sombras y la luz se unan para abrir el portal!" Alaric melanjutkan mantra, semangatnya membara.

Permukaan danau berubah menjadi cermin yang memantulkan bayangan dari dunia lain, dunia di mana pertarungannya dengan Zai terjadi. Bayangan itu semakin jelas, dan dengan keberanian yang kuat, Alaric melompat ke dalam danau, menembus permukaan air yang dingin.

Ketika Alaric membuka matanya, dunia yang pernah ia tinggalkan menyambutnya kembali, namun kali ini, dalam nuansa yang mencengkeram hati. Ia berdiri di tepi danau yang berbeda, pemandangan mengerikan menjelma di depan matanya. Di tengah danau, yang kini terwarnai merah pekat, Zai berdiri angkuh, pedangnya menancap di perut Roh Air yang terbaring lemah, menampakkan derita yang tak terperi.

"Zai! Apa yang kau lakukan?!" teriak Alaric, suaranya dipenuhi kemarahan yang membara, merobek keheningan yang menyelimuti tempat itu.

Melihat tindakan keji Zai, kemarahan Alaric meluap seperti lava yang siap membakar segalanya. "Sialan kau!" teriaknya, suaranya dipenuhi kebencian yang membara di dalam dada.

Dengan kecepatan yang tak tertandingi, ia merapalkan sihir, mengarahkan tongkatnya ke arah Zai dengan keteguhan hati. "¡Flechas de Hielo!" Panah-panang es meluncur dengan cepat, menyusuri angkasa, namun Zai, laksana burung elang, terbang tinggi menghindari serangan yang diluncurkan.

Alaric tak mau kalah. Dalam sekejap, ia memanggil kekuatan baru dan memunculkan sayap es yang megah di punggungnya. "¡Alas de Hielo!" serunya, saat energi dingin berputar di sekelilingnya, menciptakan aura yang memukau sekaligus menakutkan.

Dengan sayap es itu, Alaric melesat ke udara, mengikuti gerakan Zai yang begitu gesit. Sementara Zai tertawa dingin, sebuah senyuman sinis tergambar di wajahnya, merapalkan mantra dengan tenang. "Lancia di Fuoco!"

Dalam sekejap, tombak api melesat dari tangan Zai, menghantam ke arah Alaric dengan kecepatan yang mengerikan. Alaric, meski cepat, merasakan panasnya menghampiri. Ia berhasil menghindar, namun sebagian sayap esnya meleleh, seolah menjadi saksi dari kekuatan yang tak terduga itu. Dalam kebingungan, ia merapalkan sihir baru, berusaha mengimbanginya. "¡Rafaga de Viento y Trueno!" teriaknya, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang tersisa.

Angin dan petir berpadu dalam simfoni alam yang dahsyat, melesat menuju Zai dalam formasi serangan yang cepat dan bertubi-tubi. Meskipun tidak sekuat serangan sebelumnya, kecepatan adalah senjata utamanya untuk menghadapi lawan yang semakin meningkatkan kecepatan dan ketangkasannya.

Zai, dengan keahlian luar biasa, tampak menanggapi serangan itu dengan tenang. Ia mampu menangkis setiap panah dan petir yang diluncurkan Alaric dengan gesit, seolah bermain-main di tengah badai. Meskipun serangan Alaric semakin melimpah dan cepat, Zai tidak menunjukkan tanda-tanda kewalahan. Sebaliknya, Alaric mulai merasakan staminanya menurun drastis, lelah terjepit di antara amarah dan harapan.

Mengetahui bahwa tak mungkin ia dapat terus berjuang dalam kondisi ini, Alaric memutuskan untuk mengubah strateginya. Dengan napas yang terengah-engah dan tubuh yang mulai lelah, ia mengangkat tongkatnya ke langit, berusaha menggabungkan kekuatan sihirnya dengan jiwanya, berharap menemukan jalan untuk menyalakan kembali semangat yang membara dalam diri.