Chapter 8 - 4.2

Perubahan itu mengalir dengan kecepatan yang tak terduga. Dengan tongkat sihirnya yang kini seolah menyatu dengan jiwanya, Alaric merasakan kekuatan sihir mengalir melalui tubuhnya, mengubahnya menjadi senjata yang siap menghadapi apa pun. Seketika, ia mengangkat tanganya tinggi dan memanggil perisai dari es dan angin, bahkan Alaric pun sekarang mampu membuat sihir hanya dengan apa yang ia pikirkan. Dinding energi itu muncul, menahan serangan Zai yang meluncur dengan ganas seperti badai yang mengamuk.

Perisai itu retak dan bergetar di bawah tekanan, tetapi cukup untuk memberikan Alaric waktu berharga untuk merencanakan langkah berikutnya. Zai, terkejut oleh ketahanan Alaric, mengumpulkan energi untuk melancarkan serangan kedua. Sebuah senyum tipis menyungging di wajah Alaric saat ia merasa semangatnya terbangkitkan oleh tantangan ini.

Dengan gerakan cepat, Alaric meluncur maju, menggunakan kombinasi sihir angin dan petir. Ia berkelit dan menyerang, mengelilingi Zai dengan serangan-serangan kilat. Serangan-serangan kecil itu menyerang dengan kecepatan luar biasa, masing-masing menghantam dengan ketepatan yang mengesankan, meski dampaknya terasa minim.

"Tak mungkin…" gumam Zai, hatinya bergetar oleh rasa kagum sekaligus kemarahan. "Dia semakin kuat."

Zai, meski terdesak, masih memiliki kekuatan yang mendalam. Dengan ketegasan, ia meluncurkan serangan baru yang mengguncang. Sekali lagi, Alaric menahan diri, bersiap untuk langkah selanjutnya. Namun, saat Zai mengerahkan seluruh tenaganya, aura kegelapan menyelimuti mereka. Sayap hitam yang megah terbentang lebar, menciptakan bayang-bayang yang menakutkan di tanah.

Alaric, meskipun hatinya bergetar oleh ketakutan, berdiri teguh. "Aku tidak akan mundur," ucapnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Zai meluncur ke arahnya, kecepatan luar biasa menjadikannya sosok blur dalam pandangan. Serangan demi serangan menghantam Alaric, seolah-olah dunia terpecah belah di sekelilingnya. Setiap dampak terasa seakan mengguncang jiwanya.

Namun, Alaric merasakan kekuatan yang baru terbangun dalam dirinya. Dalam sekejap, ia merangkum semua yang telah ia pelajari, memadukan keberanian dengan strategi. Saat Zai melancarkan serangan terakhirnya, waktu seolah-olah melambat. Dengan naluri yang tajam, Alaric membayangkan gerhana—cahaya dan kegelapan bersatu dalam satu momen magis.

"Gerhana Matahari dan Bulan…" bisiknya, semangatnya menyala. "Aku akan menggabungkan keduanya!"

Menggunakan sisa energi yang ada, Alaric menciptakan serangan luar biasa. Energi bersinar keluar dari tubuhnya, berputar dalam harmoni antara terang dan gelap. Dalam sekejap, sinar itu membentuk proyektil yang melesat dengan kecepatan tak terduga, menembus udara dan langsung menghantam Zai.

Zai, meskipun berusaha menghindar, tidak bisa mengelak tepat waktu. Sinar itu menghantamnya dengan kekuatan tak terhingga, menembus pertahanan gelapnya dan membuat tubuhnya terbelah. Namun, Zai bukanlah lawan yang mudah dijatuhkan. Meski terhempas, ia masih mengumpulkan sisa energi, meluncurkan mantra pamungkas yang memekakkan telinga.

Namun, meskipun tubuhnya hancur, Zai masih memiliki kekuatan untuk bangkit. "Kau tidak akan menang!" teriaknya, menyiapkan mantra terakhirnya, mengumpulkan seluruh energi kegelapan yang tersisa di sekitarnya. Dalam keputusasaannya, ia berteriak, "Necessitas Obscuritas Omnium: Invocatio Umbrae Eternam!"

Dalam momen itu, waktu seolah terhenti. Alaric menyaksikan dengan ketakutan ketika kegelapan berkumpul, menciptakan gelombang energi yang mengguncang realitas. Semua harapan terasa memudar.

Tiba-tiba, sosok wanita berambut keemasan muncul di tengah kegelapan, berpedang bercahaya di tangannya. Dengan gerakan yang anggun namun tegas, ia melangkah maju, menantang Zai dengan tatapan penuh keberanian. Dalam satu tebasan, wanita itu menyerang, dan dalam sekejap, realitas di sekeliling mereka terbelah dan mengkerut. Kegelapan Zai tertebas, dan cahaya menyebar seperti bunga yang mekar di antara bayangan.

Zai terhuyung, kehilangan kendali atas kekuatannya. "Tidak! Ini tidak mungkin!" teriaknya, tetapi sudah terlambat.

Sementara itu, Alaric terjatuh ke tanah, tubuhnya lemah dan tak berdaya. Sirkuit sihir di dalamnya hancur, mengirimkan rasa sakit yang luar biasa ke seluruh tubuhnya. Ia merasakan energi mengalir keluar, meninggalkan dirinya dalam keadaan lemah tak berdaya. Dalam keadaan setengah sadar, ia hanya bisa melihat wanita itu, sosok pelindung yang menyelamatkannya dari ancaman yang tak terbayangkan.

"Bersikaplah tenang," suara lembut wanita itu mengalun, menembus kesadaran Alaric yang berantakan. "Kau tidak sendirian." Dalam sekejap, harapan mulai bangkit di dalam diri Alaric, meski ia terkulai di tanah. Ia tahu, pertarungan ini belum berakhir—dan di hadapannya, masa depan masih terbuka.