Malam telah menjelma menjadi selimut hitam yang pekat, membungkus Alaric, Bram, dan Liora di tepi danau yang tenang. Mereka duduk mengelilingi api unggun kecil yang berkobar hangat, memercikkan cahaya lembut di tengah dinginnya udara malam. Suasana di sekitar mereka sunyi, hanya suara gelegak api dan desau angin yang berbisik di antara pepohonan. Namun, malam itu, seakan ada sesuatu yang tidak terduga, yang bersemayam dalam keheningan.
Bram mengangkat kepalanya dari api, pandangannya menerobos jauh ke dalam kegelapan. Dengan nada berat, ia membuka suara, "Kalian tahu, ada legenda tentang danau ini. Konon, di dasarnya tersimpan roh kuno yang menjaga sebuah pedang legendaris." Kata-katanya seakan membawa angin yang lebih dingin, menggantung di udara malam yang beku.
Alaric, masih mengunyah makanannya dengan santai, melirik dari balik nyala api. "Pedang legendaris? Seperti dongeng kuno? Jangan-jangan kita sedang berada di dalam kisah malam yang penuh teka-teki." Senyuman kecil tersungging, namun matanya memantulkan keraguan yang samar.
Bram mengangguk dengan sungguh-sungguh, seakan sedang memanggul beratnya kebenaran legenda itu. "Ya, katanya hanya mereka yang layak yang bisa menemukannya. Pedang itu konon memiliki kekuatan yang tak terukur."
Liora mendengus pelan, sendok sup di tangannya bergerak perlahan. "Cerita seperti ini hanya bagus untuk mengisi waktu sebelum tidur. Tapi... mungkin saja ada sebutir kebenaran yang tersembunyi di baliknya."
Malam semakin berat; keheningan di sekitar mereka berubah menjadi sesuatu yang kelam, seperti tirai gelap yang menutupi rahasia danau. Nyala api tak lagi hangat, melainkan memantulkan bayangan yang terasa seakan ingin berbisik tentang misteri yang mengintai.
Setelah makan malam, mereka kembali ke tenda masing-masing, namun Alaric tetap terjaga. Pikirannya melayang ke cerita Bram, membayangkan segala kemungkinan yang tersirat. Ketakutan kecil merayap, menggigit kesadarannya seperti bayangan di tepi mimpi.
Dalam tidurnya yang tak tenang, bayangan masa kecilnya muncul: ia melihat dirinya bermain di ladang edelweiss bersama ibu, kakak, dan seorang teman kecil. Mereka tertawa, berlari di tengah kelopak bunga putih yang melambai, hingga mimpi itu meluntur dan digantikan oleh bayangan lain yang lebih kelam.
Suara lembut namun menyeramkan membelah keheningan malam, memanggil namanya dari arah danau. Alaric terbangun, jantungnya berdegup tak beraturan. Di tengah danau yang kelam, seberkas cahaya dari lentera tampak berpendar samar, mengundangnya dengan keheningan yang mengancam.
Dengan tekad dan rasa penasaran yang membara, Alaric melangkah mendekati cahaya itu. Setiap langkahnya di atas permukaan air meninggalkan jejak es yang berkilauan, dingin merasuk ke tulangnya. Saat ia tiba di tengah danau, cahaya lentera tiba-tiba padam, menyisakan kegelapan yang pekat.
Dari dalam air, tangan-tangan dingin muncul, meraih dan menariknya ke bawah. Alaric berusaha meronta, tetapi cengkeraman itu semakin kuat, semakin banyak, seperti belenggu yang tak terlihat. Di dalam benaknya, ia berteriak, "Tidak! Apa ini?!"
Air dingin menyelubunginya, menekan setiap tarikan napasnya, membuatnya tenggelam ke dalam kegelapan yang meresap, seolah-olah malam telah menelannya tanpa ampun. Rasa takut menjalari tubuhnya, mencekik kesadarannya hingga perlahan redup.
Ia terbangun dengan kepala berat di atas tanah yang lembut, diselimuti sinar pagi yang tak dikenalnya. Di sekelilingnya, makhluk-makhluk aneh bergerak pelan di tepi danau, seakan-akan ia telah masuk ke dalam dunia lain. Ia memanggil, "Bram! Liora!" suaranya parau, memantul di antara keanehan sekitarnya.
Sebuah suara lembut yang misterius memanggilnya dari belakang. Alaric berbalik, mendapati seorang wanita berbusana berkilau berdiri di sana, wajahnya tampak bingung namun penuh keagungan.
"Ah, kamu bisa melihatku?" tanyanya lembut. "Aku adalah roh penjaga danau ini. Dan kamu... siapa?"
"Namaku Alaric," jawabnya, bingung, "Di mana aku? Kenapa aku ada di sini?"
Roh itu tersenyum kecil, namun tatapannya tak kalah serius. "Aku pun tak sepenuhnya tahu. Aku menjaga tempat ini dan sesekali menolong yang membutuhkan. Tapi tentang bagaimana kamu sampai di sini atau apa yang harus kamu lakukan, aku pun tak memiliki jawaban."
Alaric menghela napas, merasa terjebak di tengah mimpi yang tak berujung. "Jadi ini nyata... cerita Bram tentang danau dan roh kuno...?"
Roh itu tampak tersinggung, matanya memancarkan kilatan kemarahan. "Kamu menganggap ini sekadar dongeng? Aku menjaga wilayah ini dari ancaman yang tak terlihat. Jika kamu datang sebagai musuh, aku tak segan menghancurkanmu!"
Alaric tersentak, segera mengangkat tangan. "Whoa, tunggu! Aku tak bermaksud menantangmu. Aku hanya tak mengerti apa yang terjadi di sini."
Roh itu menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Baiklah. Jika bukan musuh, mungkin aku bisa membantumu. Tapi ingat, ini bukan cerita. Ini kenyataan yang pahit."
Alaric mengangguk perlahan, menunduk penuh rasa syukur. "Terima kasih, roh. Aku akan berusaha memahami dan menghormati wilayahmu."
Namun, sebelum roh itu sempat menjelaskan lebih jauh, sebuah ledakan mengguncang tanah. Di langit, api besar melesat seperti meteor, menghujam danau dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Roh itu dengan sigap mengangkat tangannya, menciptakan perisai air yang memblokir serangan, membelokkan api yang menebas gunung di kejauhan hingga terbelah.
Alaric menatap pemandangan itu, tubuhnya bergidik. Ia sadar, kisah ini jauh lebih nyata, dan lebih menakutkan, dari yang pernah dibayangkannya.