Chapter 6 - 3.2

Alaric ternganga, mulutnya terbuka lebar, menyaksikan gunung di hadapannya hancur berkeping-keping. "Baru saja tiba dan sudah disambut kekacauan besar?!" pikirnya, bulu kuduknya meremang.

Roh danau segera melindungi Alaric dengan perisai air, mengangkatnya tinggi dari area pertempuran. Dalam sekejap, sosok misterius muncul dari bayangan. Berjubah hitam dengan wajah tersembunyi di balik topi lebar, pria itu menyeringai.

"Wah, kalian ternyata masih hidup," ucapnya dingin. "Namaku Zai."

Tanpa membalas ucapan Zai, roh danau segera meluncurkan tombak-tombak air, serangan pertama yang bergetar penuh energi. Zai, dengan ketenangan yang mematikan, menangkis serangan itu dengan sihir api, mengeluarkan gelombang panas yang menguapkan sebagian dari tombak air tersebut, namun sisanya mengenai tubuhnya, menimbulkan luka-luka kecil yang ia abaikan.

Zai menyeringai. "Hebat juga, wanita air. Tapi aku tidak di sini untuk bermain-main. Di mana sarung pedang raja itu?"

Roh danau menatap tajam. "Aku tidak punya kewajiban untuk memberitahumu."

Zai tidak menunggu jawaban lebih lanjut. Dengan sebuah gerakan tangan, ia mengeluarkan serangkaian mantra api yang dilontarkan secara brutal, bola-bola api yang meledak di udara, berusaha menembus perisai air milik roh danau. "Sia!" seru Zai dengan nada penuh kebencian di setiap serangan, membuat tanah bergetar dan terbakar.

Roh danau melawan dengan serangan bertubi-tubi, menciptakan pusaran air besar yang menggulung api dan menyerbu Zai. Serangan air tersebut berbentuk naga yang bergerak cepat, membelit Zai, mencoba menghancurkan pertahanannya. Namun, Zai tidak gentar. Dengan satu mantra, ia menciptakan pilar api yang menembus pusaran tersebut, memecahkannya menjadi pecahan-pecahan air yang berjatuhan seperti hujan.

Kedua kekuatan itu bertabrakan dengan kekuatan dahsyat, menciptakan ledakan besar yang menyelimuti langit dengan warna merah dan biru. Udara berdesis akibat panas, dan kilatan petir muncul di langit, menambah ketegangan suasana.

Mereka berdua berhenti sejenak, saling mengukur kekuatan. Dengan satu gerakan cepat, Zai mengangkat tangannya ke langit, lalu melafalkan mantra besar, "Inferno Divino, Raggio di Luce!" Bola api raksasa muncul di tangannya, menyalakan udara di sekitarnya dengan kilatan merah menyala.

Roh danau, tidak tinggal diam, membalas dengan mantra suci, "Tempesta di Mare, Protezione della Luna!" Gelombang air berkilauan muncul dari danau, membentuk dinding besar yang berlapis-lapis untuk melindungi sekitarnya. Setiap lapisan air bersinar lembut di bawah cahaya bulan, memberikan perlindungan sekaligus kekuatan yang luar biasa.

Ketika Zai meluncurkan bola api raksasanya, sihir tersebut bergerak dengan kecepatan petir, menghantam perisai air yang telah dipersiapkan roh danau. Saat kedua kekuatan bertemu, ledakan yang tak terhindarkan terjadi, menciptakan tekanan besar yang memaksa pohon-pohon tumbang dan batu-batu besar berguling jauh ke belakang.

Di tengah ledakan tersebut, Zai mendadak muncul dari belakang roh danau, menggunakan kecepatan supranaturalnya. Ia meluncurkan serangan mendadak dengan semburan api yang mengarah langsung ke titik kelemahan perisai airnya. Roh danau menghindar dengan lincah, namun sebagian dari semburan api Zai sempat menyambar tubuhnya, meninggalkan bekas luka bakar.

Roh danau kemudian membalas dengan mengangkat tangannya, menciptakan puluhan tombak es yang tajam dan bersinar. Dengan satu gerakan, ia meluncurkannya ke arah Zai dari berbagai sisi. Zai melangkah mundur, menciptakan perisai api untuk memblokir tombak-tombak tersebut, namun beberapa di antaranya berhasil menembus pertahanannya, mengenai bahunya dan menyisakan luka dalam.

Zai meringis, tetapi senyum sinisnya tetap tak pudar. "Kau cukup tangguh, tapi ini belum cukup," katanya, sambil kembali melafalkan mantra tingkat tinggi, "Incendio Maledictus!" Api berwarna hitam pekat muncul dari telapak tangannya, menyebar seperti ular, mengitari roh danau dan menghancurkan perisai airnya dalam sekejap.

Roh danau, dengan luka parah, mengeluarkan sihir terakhirnya. "Ombra Celestiale," ucapnya lemah, tetapi penuh harapan. Ombak besar meluncur dari danau, menyelimuti Zai dan sekitarnya dalam kabut dingin. Namun, Zai melompat keluar dari lingkaran serangan dengan sekali gerakan, menghindari ombak tersebut.

Alaric yang sejak awal hanya menyaksikan dari kejauhan, tak mampu berkata apa-apa. Hatinya bergemuruh. "Apakah roh-chan selamat?" pikirnya, merasa gemetar melihat kehancuran di sekelilingnya.

Pertarungan berlanjut, dan langit dipenuhi dengan petir serta api, menghantam hutan di sekitar mereka. Gelombang energi memecahkan tanah, mengguncang wilayah sekitar dengan keras.

Saat sihir Zai dan roh danau mencapai puncaknya, mereka meluncurkan serangan terakhir dengan kekuatan penuh. Zai melafalkan mantra pamungkas, "Inferno Eternum!" Bola api yang sangat besar muncul di atas kepalanya, panasnya terasa bahkan dari jarak yang jauh.

Roh danau, dalam kondisi terluka, mengumpulkan kekuatan terakhirnya dan meluncurkan serangan final, "Mare di Serenità!" Air dan cahaya menyatu dalam bentuk naga yang berputar cepat, menerjang ke arah Zai.

Kedua serangan pamungkas itu bertabrakan, menciptakan ledakan yang membelah langit dan melubangi area hutan. Gelombang kejut besar menghempaskan semua yang ada di sekitarnya, menyebabkan tanah retak dan pegunungan berguncang.

Ketika ledakan itu mereda, Zai berdiri tegak, sedangkan roh danau terjatuh ke tanah, tubuhnya melemah dan terluka parah. Zai berjalan mendekati Alaric, yang berdiri terdiam, matanya dipenuhi ketakutan dan kebencian.

Zai tertawa kecil, menatap Alaric dengan sinis. "Jadi, ini temanmu?" ujarnya meremehkan. "Kau benar-benar pecundang. Hanya berdiri dan menonton, sementara temanmu mati."

Zai meludah ke tanah di dekat Alaric, menghina, sementara Alaric hanya bisa berdiri diam, dipenuhi kemarahan yang tertahan.