Alaric terbang semakin jauh, angin dingin menerpa wajahnya hingga ia mendarat di tepi sebuah sungai yang jernih. Langit senja mewarnai air sungai dengan semburat merah muda yang lembut, namun hatinya tidak serupa. Alaric menatap bayangan dirinya yang terpantul di permukaan air, wajah yang penuh dengan kegelisahan dan keputusasaan.
"Betapa pengecutnya aku," gumamnya pelan, suara itu tenggelam bersama dengan air mata yang perlahan mengalir di pipinya. Dalam keheningan, ia menenggelamkan kepalanya ke dalam air dingin, berharap sensasi sejuk itu bisa meredakan gejolak di dalam hatinya. Air sungai mengalir tenang, namun di dalam dirinya, badai terus berkecamuk.
Ketika kepalanya masih berada di bawah air, pikiran Alaric perlahan-lahan menjadi lebih jernih. Ia merasakan denyut hatinya yang berdegup pelan, seolah-olah memberitahunya bahwa ia tak bisa terus lari. "Aku tidak bisa seperti ini selamanya..." pikirnya dengan getir. Tarikan napas dalam-dalam mengisi paru-parunya saat ia menarik kepalanya keluar dari air, tetesan air jatuh dari rambutnya yang basah. "Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan mereka menderita."
Dengan tekad yang baru, Alaric mulai merapalkan mantra, tangannya perlahan bergerak di atas permukaan air, memanipulasinya. Sungai yang tenang mulai bergerak di bawah kendali sihirnya, membentuk bola air raksasa yang melayang di atasnya. Cahaya fajar memantul pada bola air itu, menciptakan kilauan yang memukau. "Semoga ini berhasil," bisiknya, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, Alaric terbang kembali menuju tempat kereta kuda yang masih terbakar. Di kejauhan, dia bisa melihat bandit-bandit itu masih menyerang penumpang yang tersisa. Hatinya berdegup cepat, rasa takut masih menguasai dirinya, namun dia tahu dia tak punya waktu untuk ragu lagi.
Dengan satu gerakan cepat, Alaric melemparkan bola air raksasa ke arah para bandit. Air itu menghantam mereka dengan keras, membuat mereka terjatuh dan kebingungan. "Inilah saatnya!" gumamnya, berusaha mengatasi ketakutannya sendiri.
"Apa ini? Mandi gratis untuk kalian!" teriaknya, mencoba menutupi ketegangan dengan nada canda, meski dalam hatinya, ia masih meragukan keberaniannya. Para bandit yang basah kuyup mencoba bangkit, namun Alaric tak memberi mereka kesempatan. Dia segera merapalkan mantra lain, menciptakan gelombang air yang menyapu tubuh mereka lebih jauh, menjauhkan mereka dari kereta yang terbakar.
"Hehe, lebih cocok kalian jadi bebek daripada bandit," gumamnya sambil terkekeh kecil, meskipun keringat dingin mengalir di pelipisnya. Salah satu bandit, yang tampak paling tangguh, terpeleset di tengah lumpur, jatuh terduduk dengan ekspresi marah. Alaric hampir tertawa melihat itu, meski rasa takut masih menggantung di dadanya.
Ketika bandit-bandit itu mulai berlari ke arahnya, Alaric tersenyum tipis, mencoba mempertahankan keyakinannya. "Jika ini yang kalian inginkan, aku sudah siap."
Salah satu bandit berlari paling cepat, mengayunkan pedangnya ke arah Alaric dengan penuh amarah. Namun, Alaric sudah siap. Dengan gerakan sigap, ia mengangkat tongkat sihirnya dan menciptakan jebakan, membuat bandit itu terperosok ke dalam tanah yang dipenuhi air. "Ups, sepertinya kau terlalu bersemangat!" Alaric tertawa geli melihat bandit yang terjebak, mulutnya terisi air sampai pingsan.
Melihat temannya terjerat, bandit kedua mencoba menyerang Alaric dari belakang, tetapi sama sekali tidak beruntung. Alaric merapalkan mantra gravitasi, dan bandit itu terangkat, terbalik, menggantung di udara dengan kakinya di atas dan kepala di bawah. "Hei, ingin melihat dunia dari sudut pandang baru?" Alaric berseru, geli melihat kebingungan bandit tersebut. Dengan cepat, ia mengangkat sebuah batu besar dan menghantamnya, menjatuhkannya ke tanah tanpa daya.
Melihat ini, lima bandit lainnya maju bersamaan, bertekad untuk menghentikan Alaric. "Wah, pesta bandit di sini! Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk bersosialisasi," katanya sambil melambaikan tongkat sihirnya. Gelombang air besar muncul, menghantam tiga bandit dan menjatuhkan mereka.
Dua bandit yang tersisa mencoba menyerang Alaric dari dua arah berbeda. "Serangan ganda, ya? Kalian benar-benar serius kali ini," ujarnya dengan nada santai. Dengan cepat, Alaric merapalkan mantra lain, menciptakan dinding batu yang menahan salah satu bandit yang menabrak dinding dengan keras. "Aduh, sakit ya? Mungkin kalian perlu helm lain kali," ejeknya, melihat bandit itu terkapar di tanah.
Bandit terakhir, tampaknya pemimpin mereka, mengayunkan pedangnya ke arah Alaric dengan penuh percaya diri. Namun, Alaric dengan gesit menghindar, tertawa dalam hati. "Wah, ayunanmu benar-benar jelek. Kau belajar dari mana? Sekolah bandit malam minggu?" Dengan cepat, ia menembakkan bola api kecil yang mengenai sepatu bandit itu. Si pemimpin itu melompat-lompat, berusaha memadamkan api kecil yang menyala.
Melihat teman-teman mereka yang kalah, tiga bandit yang tersisa merasa panik dan memilih untuk melarikan diri. "Lari! Jangan lupa bilang pada teman-teman kalian bahwa kalian dikalahkan oleh seorang penyihir pemula!" Alaric berteriak sambil tertawa terbahak-bahak, merasa bangga dengan keberaniannya yang baru ditemukan.
Setelah semua bandit pergi, Alaric menarik napas dalam-dalam, mengusap keringat di dahi yang sudah mulai mengering. "Wah, itu seru sekali. Siapa bilang menjadi pahlawan itu sulit?" Ia melihat sekeliling, memastikan semua penumpang kereta kuda telah aman.
Seorang pria dan wanita menatap Alaric dengan mata penuh kekaguman dan terima kasih. "Kau luar biasa! Terima kasih telah menyelamatkan kami!" seru mereka dengan suara yang penuh haru.
Alaric tersenyum, merasakan kehangatan di dalam hatinya. "Ah, tidak perlu berterima kasih. Itu hanya latihan pagi untukku," jawabnya sambil mengangkat bahu, berusaha tampil percaya diri meskipun ada rasa lega yang mengalir di dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah, meski kecil, langkahnya kali ini adalah sesuatu yang berarti.