Malam yang dingin menyelimuti kota Moskow dengan kabut tebal yang menggantung di udara. Jade Malinov, bersembunyi di balik peti-peti kayu tua di dalam pabrik, masih mendengarkan percakapan dua pria bersenjata yang baru saja lewat. Hatinya berdetak kencang, bukan karena ketakutan, tapi karena ketegangan yang menandakan bahwa ia telah memasuki wilayah musuh. Semua langkah yang ia ambil harus dihitung dengan cermat, satu kesalahan saja bisa membuatnya kehilangan segalanya—termasuk nyawanya.
Pria-pria itu akhirnya pergi, suara langkah kaki mereka meredup di kejauhan. Jade menghela napas dalam-dalam, tapi ia tak bisa lama-lama berdiam. Di hadapannya ada peti-peti berlabel, dan instingnya mengatakan ini adalah bagian dari operasi besar yang sedang direncanakan The Black Syndicate. Peti-peti itu terlihat berat, tapi Jade dengan cepat menarik alat kecil dari tasnya—sebuah pemotong laser portabel yang bisa membuka kunci logam tanpa menimbulkan suara bising.
Dengan hati-hati, dia mulai bekerja pada salah satu kunci peti. Cahaya merah laser kecil menyusuri sisi penutup peti, menghasilkan deretan percikan api kecil sebelum akhirnya kunci itu patah. Dengan sekali gerakan, Jade membuka peti tersebut. Matanya segera membelalak melihat apa yang ada di dalamnya—senjata, amunisi, dan beberapa bahan peledak canggih. Ini bukan sekadar pengiriman senjata biasa, ini adalah persiapan untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin berskala global.
Dia segera mengeluarkan kamera kecil dari sakunya dan mulai memotret isi peti tersebut. Foto-foto ini akan menjadi bukti penting yang bisa dia bawa kembali ke markas WPF. Namun, saat dia baru selesai memotret peti pertama, sebuah suara lain terdengar dari arah pintu masuk. Kali ini lebih dari dua orang—langkah kaki yang berat dan suara keras mereka menandakan bahwa tempat ini mulai ramai oleh anggota sindikat.
"Cepat, kita harus memindahkan semua barang ini malam ini," suara pria beraksen tebal terdengar samar-samar. Jade tahu dia harus bergerak cepat. Jika tidak, dia bisa terjebak di dalam sini tanpa jalan keluar.
Jade menutup peti dengan hati-hati dan kembali bersembunyi di balik tumpukan kayu tua. Dari celah sempit, dia mengintip dan melihat beberapa pria berjas hitam masuk ke ruangan. Mereka tampak serius dan profesional, masing-masing memegang senjata otomatis. Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan rambut hitam beruban, tampaknya menjadi pemimpin kelompok ini. Dia memeriksa isi peti satu per satu, memastikan semuanya sesuai dengan rencana.
"Berapa lama lagi sampai kita memindahkannya?" tanya pria itu kepada salah satu bawahannya.
"Kurang dari dua jam. Truk-truk sedang bersiap di luar. Operasi ini akan berjalan mulus. Kami sudah mengamankan jalur keluar."
Mata Jade mengikuti arah pandangan pria-pria itu. Mereka tampaknya akan memindahkan senjata-senjata ini segera, mungkin ke lokasi baru atau langsung ke tangan pihak yang akan menggunakannya. Ini berarti waktu semakin sempit untuk Jade. Dia perlu segera keluar dari sini dengan informasi yang sudah dia dapatkan. Namun, sebelum dia bisa mengambil keputusan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Suara tembakan mendadak memecah keheningan malam. Jade tersentak, matanya langsung terfokus pada arah datangnya suara. Seorang pria, salah satu penjaga sindikat, terjatuh ke tanah dengan peluru menembus dada. Kekacauan langsung terjadi di dalam pabrik. Para pria bersenjata segera mengambil posisi bertahan, dan suara tembakan susulan terdengar menggema di seluruh ruangan.
Dalam hitungan detik, Jade menyadari apa yang terjadi. Tim WPF, tanpa sepengetahuannya, telah melancarkan serangan. Apakah mereka mengetahui keberadaannya di sini? Ataukah ini operasi yang tidak dikoordinasikan dengan dirinya? Bagaimanapun juga, Jade kini berada di tengah baku tembak.
Dia merapatkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan diri. Dia harus berpikir cepat. Di satu sisi, tim WPF mungkin bisa menyelamatkannya, tetapi jika mereka tidak tahu dia ada di sini, kehadirannya bisa membahayakan misi. Di sisi lain, jika sindikat mengetahui bahwa ada agen di dalam, mereka tidak akan ragu untuk membunuhnya.
"Lari!" salah satu anggota sindikat berteriak, membuat Jade sadar bahwa mereka mulai menyadari betapa seriusnya situasi ini. Mereka mulai mundur, beberapa dari mereka sudah menyeret peti-peti senjata ke arah pintu belakang. Ini adalah kesempatan bagi Jade untuk keluar, tapi dia harus melakukannya dengan cepat sebelum sindikat berhasil melarikan diri dengan senjata-senjata mereka.
---
Di luar pabrik, agen-agen WPF bergerak cepat, mengambil posisi di sekitar perimeter. Peter memimpin serangan, wajahnya penuh ketegangan dan fokus. Dia tidak tahu bahwa Jade ada di dalam. Informasi yang mereka terima mengatakan bahwa pabrik ini hanyalah gudang kecil, dan mereka tidak mengharapkan perlawanan sebesar ini.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka melarikan diri dengan senjata-senjata itu," Peter berteriak melalui radio. "Tim dua, jaga pintu belakang. Jangan biarkan truk-truk itu pergi!"
Agen-agen WPF dengan cepat mengelilingi bangunan, memastikan tidak ada jalan keluar bagi sindikat. Tapi perlawanan yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Anggota sindikat itu bukan sekadar penjahat jalanan biasa—mereka adalah tentara bayaran yang terlatih dengan baik.
"Berikan aku laporan situasi di dalam!" perintah Peter kepada salah satu agen yang menggunakan drone untuk memantau situasi. Gambar di layar menunjukkan pergerakan sindikat yang berusaha melarikan diri, namun Peter melihat sesuatu yang tidak biasa. Di salah satu sudut ruangan, ada seorang wanita dengan rambut pirang yang mengenakan pakaian hitam, bergerak hati-hati di antara peti-peti. Peter mengenalinya seketika. Itu Jade.
"Apa yang dia lakukan di sana?" Peter bergumam, sebelum segera memanggil agen-agen lain melalui radio. "Jade ada di dalam! Dia terjebak. Jangan sampai tembakannya salah sasaran!"
---
Di dalam, Jade tahu waktunya hampir habis. Dia melihat ke sekeliling, mencari celah untuk melarikan diri. Dia menyelinap dari balik tumpukan peti, berusaha tetap tak terlihat oleh kedua pihak. Namun, situasi semakin kacau ketika sindikat mulai melempar granat ke arah agen WPF yang mencoba menyerbu masuk.
Ledakan mengguncang seluruh pabrik, membuat Jade hampir terjatuh. Serpihan kayu dan logam beterbangan, tetapi dia tetap berusaha bergerak maju. Namun, saat dia mendekati pintu belakang, salah satu anggota sindikat melihatnya.
"Hei! Siapa itu?!" pria itu berteriak sambil mengangkat senjatanya.
Jade tahu dia tak punya waktu lagi untuk bersembunyi. Dengan cepat, dia menarik pistol dari pinggangnya dan menembak ke arah pria itu, mengenai bahunya. Pria itu jatuh ke tanah sambil berteriak kesakitan, namun suara tembakannya menarik perhatian yang lain.
Dalam sekejap, baku tembak kembali terjadi. Kali ini, Jade terjebak di antara dua api. Agen WPF dari luar dan anggota sindikat dari dalam. Dia harus bertindak cepat. Dengan naluri bertahan hidup yang terasah selama bertahun-tahun di lapangan, Jade melompat ke arah salah satu peti besar, menggunakan peti itu sebagai tameng saat dia menembak ke arah musuh.
Tembakan bertubi-tubi menghantam peti di depannya, namun Jade tetap tenang. Satu-satu, dia menargetkan pria-pria bersenjata di hadapannya. Dua jatuh, kemudian yang ketiga. Namun, situasinya masih tidak menguntungkan. Jumlah musuh terlalu banyak, dan dia hanya memiliki beberapa peluru tersisa.
"Jade! Jade, kau mendengarku?!" suara Peter tiba-tiba terdengar dari alat komunikasi di telinganya.
Jade menekan tombol di perangkat kecil di telinganya. "Aku di dalam! Mereka mencoba melarikan diri dengan senjata!"
"Tim kami sudah mengepung bangunan. Berikan aku posisimu, kami akan menjemputmu!"
"Aku berada di dekat pintu belakang, tapi mereka mengamankan jalan keluar dengan truk-truk. Aku akan coba menghalangi mereka."
"Jangan bodoh, Jade! Tunggu bantuan!" suara Peter terdengar penuh tekanan, namun Jade tahu dia tidak bisa hanya menunggu.
Dengan sisa tenaganya, Jade merayap menuju salah satu truk yang sedang dipersiapkan oleh anggota sindikat. Mereka tidak menyadarinya karena terlalu fokus pada pertempuran dengan WPF di luar. Jade menahan napas, berusaha tetap tersembunyi. Saat salah satu pria bersenjata berbalik, dia langsung melompat ke depan, menyerangnya dari belakang. Dengan gerakan cepat,Jade mengunci pria itu dengan satu gerakan, tangan kirinya menutupi mulutnya agar tidak berteriak. Dengan tangan kanan, dia meraih pistolnya dan menodongkan ke arah pria itu. "Bantu aku dan aku tidak akan membunuhmu," bisiknya, matanya menyala penuh determinasi.
Pria itu menatapnya, ketakutan, sebelum mengangguk dengan cepat. "O-oke, aku akan membantumu," jawabnya terbata-bata.
"Di mana kalian menyimpan senjata lainnya?" tanya Jade, memastikan untuk tetap menahan pria itu dengan kuat. Dia bisa mendengar suara tembakan yang terus berdentam di luar, dan waktu semakin menipis.
"S-senjatanya ada di truk itu," jawabnya sambil menunjuk ke arah truk besar yang diparkir di samping bangunan. "Kami sedang menunggu untuk pergi, tapi kami belum menyelesaikan semua barang."
"Bagus. Kita harus segera keluar dari sini," jawab Jade sambil mendorong pria itu maju. Dia harus menemukan cara untuk mengalihkan perhatian agar bisa mengamankan jalur keluar.
Mereka berdua merayap ke arah truk, berusaha tetap tidak terlihat. Suara baku tembak di luar semakin keras, dan Jade merasakan tekanan meningkat. Sekali lagi, dia harus bertindak cepat. Dengan cepat, dia membuka pintu truk dan melompat masuk, mengarahkan pistolnya ke arah sopir yang terkejut.
"Jangan bergerak!" teriak Jade. Sopir itu, seorang pria muda dengan wajah cemas, mengangkat tangannya dengan ketakutan. "T-tunggu, saya tidak akan melawan!"
"Berhenti di sini dan tidak ada yang terluka," perintah Jade, lalu menoleh ke pria yang ditangkapnya. "Kau! Naik ke kursi penumpang!"
Pria itu segera mematuhi perintah, naik ke kursi penumpang dengan gelisah. "Apa yang kau rencanakan?" tanyanya, suara bergetar.
"Aku akan membawa mobil ini keluar. Jika kau berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan menembakmu," Jade menjawab dengan tegas, sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke sopir. "Sekarang, jalankan mobil ini dan pergi ke pintu belakang."
Sopir itu mengangguk, wajahnya pucat. Dia mulai menggerakkan truk dan melaju perlahan menuju pintu belakang pabrik, di mana suara baku tembak masih terdengar.
"Jangan biarkan mereka melihat kita!" seru Jade, menekankan agar sopir bergerak lebih cepat. Dia tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya.
Saat truk mendekati pintu belakang, Jade melihat beberapa anggota WPF terlibat baku tembak dengan anggota sindikat. "Berhenti di sini!" teriaknya, membuat sopir itu menginjak rem secara mendadak. Truk berhenti tepat di tepi pintu belakang, dan Jade cepat-cepat melompat keluar.
Dia tahu harus cepat. Dengan pistol masih terarah, dia berlari menuju arah tembakan, bergabung dengan tim WPF yang masih bertempur melawan sindikat. "Peter!" teriaknya, mencari-cari sosok asistennya di tengah kerumunan.
"Jade!" teriak Peter, dengan ekspresi campur aduk antara senang dan terkejut saat melihatnya. "Apa kau baik-baik saja?!"
"Aku baik-baik saja, tapi kita harus menghentikan mereka!" kata Jade, berusaha membangun semangat. "Mereka sudah mempersiapkan senjata untuk dijual. Kita tidak bisa membiarkan mereka melarikan diri!"
Peter mengangguk, cepat meraih walkie-talkie. "Semua tim, fokus pada penembak di sisi barat! Kita tidak bisa membiarkan satu pun dari mereka lolos!"
Jade dan Peter bekerja sama, menembak para anggota sindikat satu per satu. Dalam kekacauan itu, Jade dapat merasakan adrenalinnya meningkat, setiap detik terasa lebih berharga. Dia berusaha tidak memikirkan risiko yang dia ambil dengan datang ke sini sendirian. Dia tahu bahwa jika mereka berhasil mengamankan tempat ini, semua yang mereka lakukan selama ini akan sepadan.
Setelah beberapa menit baku tembak yang intens, Jade menyadari bahwa beberapa anggota sindikat mulai mundur. "Mereka kalah jumlah!" teriak Jade. "Jangan biarkan mereka melarikan diri!"
Dari jauh, Jade melihat pria beruban yang sempat dia lihat sebelumnya, bergerak menuju pintu depan, berusaha melarikan diri. "Dia! Dia harus dihentikan!" serunya, mengarahkan pistolnya dan menembak.
Satu peluru tepat mengenai bahunya, dan pria itu terjatuh. Namun, dia masih berusaha bangkit dan berlari. Tanpa pikir panjang, Jade mengejar.
"Jade! Jangan!" teriak Peter, tetapi suara itu sudah terlambat.
Jade melesat ke arah pintu keluar, melintasi area yang terbakar sisa-sisa pertempuran. Dia berlari secepat yang dia bisa, dan saat hampir mendekati pria itu, dia meraih tas yang berisi barang-barang sindikat yang ada di sampingnya. Pria itu terjatuh, dan Jade bisa mendengar suara napasnya yang berat.
"Kau tidak akan bisa kabur!" seru Jade, mengarahkan pistolnya. Pria itu terengah-engah, melihat Jade dengan mata penuh kemarahan dan ketakutan.
"Aku tidak akan memberitahumu apa pun!" katanya, berusaha berdiri meskipun terluka. "Kau tidak akan bisa menghentikan kami! Kami lebih besar dari yang kau kira!"
"Yang bisa aku lakukan adalah membawa informasimu ke pihak berwenang!" jawab Jade, menekan pelatuk pistolnya sedikit lebih keras. "Sekarang, siapa yang mengatur semua ini?"
Pria itu tersenyum sinis. "Kau pikir ini hanya tentang uang? Ini tentang kekuasaan, dan kami akan selalu ada. Kami sudah memiliki rencana cadangan."
Sebelum Jade bisa menyadari, pria itu bergerak, meraih pistol yang tersembunyi di pinggangnya dan menembakkan dua peluru ke arah Jade. Untungnya, dia cukup cepat menghindar dan melompat ke samping, namun satu peluru melesat dan mengenai pahanya.
"Ugh!" teriak Jade, merasakan nyeri yang tajam. Dia jatuh ke tanah, terhuyung, namun tidak kehilangan kendali. Dengan sisa tenaganya, dia menembak ke arah pria itu, kali ini mengenai tepat di dadanya.
Pria itu terjatuh ke tanah, tak berdaya. Hati Jade berdegup kencang, nyeri di pahanya hampir membuatnya pingsan. Namun dia tahu dia tidak bisa membiarkan ini menghentikannya. Dia harus kembali ke Peter dan timnya.
Saat Jade berusaha bangkit, rasa sakit mulai menyengat. Dia mengerang pelan, tetapi tekadnya tidak pudar. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatannya sebelum berlari kembali ke arah suara tembakan.
Jade akhirnya berhasil mencapai tempat di mana Peter dan timnya sedang bertempur. Dia melihat Peter bertempur dengan dua anggota sindikat yang tersisa. "Peter!" serunya, berusaha menarik perhatian.
Peter melihat ke arah Jade dan secepatnya meraih radio. "Semua tim, fokus pada dua orang di depan! Mereka sudah dikepung!"
Jade melangkah lebih dekat, menembak salah satu anggota sindikat yang berusaha mengalihkan perhatian Peter. Dengan satu peluru lagi, sindikat itu jatuh ke tanah. "Satu lagi," seru Jade, berusaha berlari ke arah Peter, meskipun rasa sakit di pahanya semakin parah.
"Jade, apa kau baik-baik saja?" tanya Peter, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Kau terluka!"
"Aku bisa bertahan!" jawab Jade, menahan napas. Dia menargetkan pria terakhir dan menembak. Tembakannya tepat sasaran, membuat pria itu terjatuh dengan suara mengerikan. "Sudah selesai."
Suasana tiba-tiba hening. Jade merasa beban berat di pundaknya terangkat, tetapi rasa sakit di pahanya semakin terasa. Peter mendekatinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kau harus mendapat bantuan medis. Ayo, kita pergi dari sini."
Jade mengangguk, tetapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, dia merasakan pusing. Dia hampir jatuh, tetapi Peter menangkapnya. "Jade, jangan paksakan dirimu. Kita perlu mendapatkanmu keluar dari sini."
Akhirnya, tim medis WPF datang dan membantu membawa Jade ke ambulan. Dia bisa mendengar Peter berbicara dengan para agen lainnya, menjelaskan situasi yang terjadi.
"Semua informasi yang kita butuhkan ada di sini," kata Peter sambil menunjukkan tas yang dibawa Jade. "Ini bisa menjadi titik balik bagi kita."
Jade tersenyum lemah, meskipun rasa sakit masih menyengat. Dia tahu bahwa keberaniannya telah membawa mereka satu langkah lebih dekat untuk menghentikan The Black Syndicate. "Kita harus terus berjuang," bisiknya, merasakan bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.
---