Chereads / The Man from The Cult / Chapter 5 - New Relationship

Chapter 5 - New Relationship

Sore hari, di perjalanan pulang bekerja. Langit sudah berubah menjadi semakin gelap, suasana hatinya berubah setelah kalimat terakhir di ruangan meeting tadi masuk secara logika ke otaknya. Kehidupan Irina membaik setelah perceraian, Ya! Dan itu adalah terakhir kalinya Irina menjadi wanita yang baik. Setelah itu, Irina hanya memikirkan mencari pekerjaan dan karir.

Tiba-tiba ia melewati gedung yang dulu sempat ia masuki tanpa tahu isi dari materi yang disampaikan, cukup lama ia tak menoleh ke sana. Kali ini gedung itu masih sama, tapi kendaraan yang terparkir di sana jumlahnya mulai berkurang. Dan Irina mulai kehilangan semangatnya setelah bekerja karena lelah.

Hari ini perasaannya tidak enak, nafasnya terasa sesak padahal ia sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit tertentu. Kepalanya sedikit pusing meski Irina tak pernah melewatkan jam makan, hal ini terjadi setelah Irina keluar dari ruangan meeting tadi. Yang katanya adalah tim audit, tapi Irina merasa ini seperti pengajaran ke arah spiritual.

"Hah...." Irina menghela nafas kasar, setelah memberhentikan kendaraannya di halaman rumah, rasanya ia tak mau masuk ke dalam sana. Ia ingin terus bekerja meski tubuhnya lelah, entah mengapa ia selalu merindukan kantor itu padahal Irina tak mendapatkan bonus apapun atau pun promosi jabatan. Hanya saja, entah mengapa ia ingin terus berada di sana.

Ting...

"Selamat malam!"

Satu pesan singkat masuk saat Irina membuka ponselnya, nomor tidak dikenal yang seperti biasa ia tak mau menanggapi hal-hal seperti itu. Karena semenjak perceraian, ada banyak pria yang menggodanya ketika berbelanja di minimarket atau pun hanya berolahraga lari di sekitar perumahan dimana ia tinggali.

Irina masuk ke dalam rumah..

Menyalakan saklar lampu dan tak lupa mengunci kembali pintu rumahnya.

Tapi setelah ia melepaskan heels dan tas kerjanya, Irina tersentak saat menuju dapur dan mendapati makanan cepat saji lagi-lagi terhidang di meja makannya. Irina menutup kedua matanya sambil menahan amarah.

Seseorang telah mengerjainya..

Namun saat ia membuka kembali kedua matanya dan berharap ini hanyalah halusinasi, nyatanya makanan cepat saji itu masih ada di sana lengkap dengan minuman sodanya.

"Aaaaarrggghhhhhh.....!!!"

Irina berteriak sekencang mungkin, tak perduli jika tetangganya akan mendengar suara teriakannya, ini sudah keterlaluan, pikir Irina. Wanita itu langsung mengambil kantung plastik dan memasukan semua makanan itu ke dalamnya.

Keluar rumah dan menyalakan mobil pergi kembali ke kota, di sepanjang perjalanan Irina menahan amarah sembari memegang setir kemudi dengan kuat. Mental Irina sudah terganggu semenjak perceraian, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. Pekerjaan yang aneh, sampai beberapa pria yang mencoba menggodanya.

Tapi kali ini ia kehabisan kesabaran.

Irina berhenti tepat di restoran cepat saji langganannya, karena hanya ada satu restoran cepat saji di kota yang tidak terlalu besar ini. Dan Irina pun sangat paham rasa dan bentuk makanannya.

"Aku ingin tahu siapa yang memesan makanan baru-baru ini, karena makanan ini masih hangat."

Irina meletakan kantung berisi makanan tadi di meja kasir, kasir yang berjaga pada malam hari itu hanya terdiam sembari melihat kantung makanan berwarna coklat tersebut.

"Miss, kami tidak punya list nama pelanggan. Ini hanya restoran kecil. Lagi pula, bisa saja orang di rumahmu yang membelikannya untukmu." Ucap sang kasir.

"Aku tinggal sendirian di rumah, bagaimana bisa ada yang membelikanku?" Sahut Irina.

"Apa kau yakin bukan tetanggamu yang membelikannya?" Kasir tersebut masih berusaha membujuk Irina agar berpikir positif, tapi Irina hanya memutar malas kedua bola matanya. Irina sama sekali tak bersahabat dengan para tetangganya, mungkin hanya dirinya saja yang terlalu gila dengan membawa makanan itu dan berharap sang kasir tahu siapa yang meletakan makanan itu di rumahnya.

Itu adalah hal yang konyol..

"Baiklah, aku hanya akan memakan ini karena ini adalah makanan terakhir." Irina mengambil kembali kantung makanannya, membuat kasir tadi heran melihat tingkah laku Irina. Belum lagi, tampilan wanita itu nampak berantakan.

Kemeja kerja yang lusuh dan hanya mengenakan sendal flat karena terburu-buru.

Dengan lesu Irina ingin pergi, namun ia melihat ada satu orang sedang menyantap makanannya di meja biasa ia duduk dengan Lucy. Dan sepertinya ia mengenal orang itu.

"Hai!" Pria itu melambai ke arah Irina, Irina yang bingung lalu menoleh ke kanan dan kiri serta ke belakang memastikan dirinya yang disapa.

Tapi restoran ini terlihat sepi dan hanya ada dua pelanggan yaitu dirinya dan pria yang tengah makan itu.

Disapa seperti itu membuat Irina merasa tidak enak dan membalasnya dengan senyuman.

"Mau makan malam?" Seru pria itu.

Entah mengapa Irina mengangguk dan malah melangkahkan kakinya menuju ke arah pria itu, dengan sigap pria itu menarik kursi untuk Irina dan mereka duduj berhadapan.

"Ku lihat kau membawa kantung makanan?" Pria itu melihat ke arah tangan Irina, bagaimana pria itu bisa tahu isi kantung makanan itu adalah makanan? Tentu saja karena aromanya.

"Mau makan bersama?" Tawar pria itu lagi, dan lagi-lagi Irina seolah menurutinya saja dengan mengangguk. Membuka kantung makanan tersebut dan meletakannya di atas meja, namun burgernya terlihat sudah tidak beraturan begitu pun dengan kentang gorengnya. Hanya sodanya saja yang masih utuh tapi sudah tidak dingin.

Irina menghela nafas, "mau ku pesankan untukmu?" Pria itu terus menawarinya, namun kali ini Irina menolak. Dan baru menyadari mengapa ia mau duduk di sini dengan seseorang yang baru ia lihat hari ini.

"Tidak usah, terimakasih. Sepertinya aku harus pulang-" baru saja Irina ingin bangkit dari duduknya, pria itu langsung memesan makanan.

"Duduklah, sudah ku pesankan! Kau pasti lapar." Katanya, seolah terhipnotis, Irina kembali duduk layaknya gadis pintar. Tak lama makanan pun datang, meski makanan pria itu sudah habis, pria itu tetap menyuruh Irina makan.

Gigitan pertama entah mengapa terasa lezat, seperti hari-hari biasanya burger di sini memang selalu lezat.

"Ehem!" Irina berdeham, memperbaiki duduknya dan pakaiannya yang sudah tidak serapih di kantor tadi.

"Kau tim audit di kantor?" Tanya Irina berbasa-basi agar tidak terlalu canggung dengan kesunyian di restoran tersebut.

"Ya." Jawabnya singkat, kedua tangannya bersidekap di depan dada sembari melihat Irina makan.

"Tapi, proses auditnya tidak seperti audit pada umumnya." Balas Irina, sampai detik ini pun ia masih bertanya-tanya.

Pria yang pertama kali tiba di kantornya itu dan sempat melirik Irina sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan Deborah itu, hanya menaikan sebelah alisnya sembari menyunggingkan senyum.

"Semua orang yang bekerja di sana, adalah orang-orang yang cerdas." Kata pria itu, jawaban yang sangat tidak masuk akan bagi Irina.

"Lalu?"

"Bagaimana kau tahu semua orang itu tidak akan curang dalam pekerjaannya meski mereka adalah orang yang cerdas?" Tanya Irina.

"Itulah sebabnya kami menanyakan tentang pegangan hidup. Orang-orang yang memiliki pegangan hidup sepertimu hanya fokus pada karir dan pekerjaan, itu sebabnya kami percaya." Jelas pria yang sampai detik ini tidak Irina ketahui namanya.

"Sepertiku?" Irina menyentuh dadanya sendiri.

"Tidak taat." Sambung pria itu.

"Bagaimana mungkin?" Irina mengerutkan keningnya bingung, pria itu menghembuskan nafas panjang sembari perlahan meletakan kedua tangannya di atas meja mendekati Irina.

"Karena orang-orang yang tidak taat adalah orang-orang yang mementingkan harta duniawi, sehingga mereka akan giat bekerja. Mengutamanan karir di atas segalanya, sampai mereka lupa kepada Tuhan mereka dan mengabaikannya." Bisik pria itu, Irina terdiam seketika. Tanpa terasa bulu kuduknya berdiri karena merinding mendengar pernyataan pria itu.

"Apa semua pekerjaan seperti itu?" Tanya Irina yang sama sekali tidak tahu karena ini adalah pekerjaan pertamanya.

Atau 'kah pihak perusahaan hanya kebetulan melakukan hal sedemikian rupa agar mengetahui bagaimana kondisi psikologis karyawannya?

Namun pria itu tak menjawab.

Irina yang semakin lama pikirannya semakin tak karuan, memijit pangkal hidungnya sendiri. Ia mungkin terlalu lelah hari ini, maka dari itu ia berpikir yang tidak-tidak.

"Baiklah, rasanya itu cukup untuk menjawab rasa penasaranku. Sebaiknya aku harus pulang sekarang juga, terimakasih makanannya!" Kata Irina, namun pria itu menahannya dan lagi-lagi menawarkan sesuatu kepada Irina.

"Hey, tunggu dulu! Aku bisa mengantarmu pulang jika kau mau. Kau tahu, hari sudah malam dan ku lihat kau begitu lelah." Katanya, sejujurnya Irina juga merasa lelah. Tapi ia baru saja mengenal pria ini, Irina khawatir pria ini sama saja dengan pria-pria lain yang berusaha menggodanya.

"Bagaimana kau akan mengantarku? Aku membawa kendaraanku sendiri." Sahut Irina.

"Aku mempunyai teman di sekitar sana." Jawabnya, Irina hanya mengangguk tanpa curiga sama sekali bagaimana pria itu tahu rumah Irina ada dimana dan bagaimana bisa ada temannya di dekat rumah Irina.

Tapi wanita itu hanya mengangguk dan keluar dari restoran diikuti oleh pria itu, Irina duduk di jok penumpang tepat di sebelah pria itu yang sedang mengemudi.

Karena terlalu lelah Irina tidak bisa berpikir dengan jelas, belum lagi hari ini benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. Ditambah, dengan makanan yang tiba-tiba ada di dalam rumahnya yang selalu terkunci.

"Hampir setiap hari ada makanan itu di atas meja makanku." Kata Irina saat mereka berdua di perjalanan menuju rumah Irina, tanpa Irina menunjukan arah jalan.

"Kau memiliki seorang pengagum rupanya." Sahut pria itu.

"Kalau dia memang seorang pengagum, mengapa dia tidak menunjukan jati dirinya dan berkenalan denganku?" Balas Irina.

"Kau yakin semudah itu?" Pria itu bertanya balik, benar saja Irina terdiam. Memang tidak semudah itu, karena ada banyak pria yang berusaha mendekatinya, tapi Irina dengan terang-terangan menolak mereka.

"Yah, kau benar." Irina kembali terdiam.

"Aku hanya tidak suka dengan kejutan seperti itu, itu membuatku takut."

"Tapi kau tidak takut padaku, kita bahkan baru bertemu hari ini." Kata pria itu.

"Ya, ada benarnya juga. Tapi setidaknya jika kau akan membunuhku atau memperkosaku sekarang juga, aku tahu bagaimana rupamu. Bukan orang yang diam-diam meletakan makanan dan menerobos masuk ke dalam rumahku." Kata Irina.

Hal itu membuat keduanya tertawa, candaan di malam hari yang cukup mengerikan. Mereka memang baru bertemu hari ini, tapi entah mengapa Irina suka sekali mengobrol dengan pria ini. Sampai pada akhirnya mereka berdua melewati gedung yang selalu membuat rasa penasaran Irina membuncah, gedung itu terlihat sepi dan gelap di malam hari meski ada beberapa kendaraan terparkir di halamannya. Pria itu melihat Irina memperhatikan gedung itu.

"Kau pernah masuk ke sana?" Tanya pria itu, Irina menggeleng lemah sampai akhirnya gedung itu hilang dari pandangannya.

"Mungkin suatu hari." Jawabnya, pria itu mengangguk.

"Aku bisa membawamu masuk ke sana jika kau mau." Pria itu menyunggingkan senyum, seketika membuat Irina terpaku dan menoleh ke arahnya.

"Apa kau anggota di sana?" Tanya Irina tak menyangka akhirnya ia bertemu seseorang yang ternyata memiliki antusias yang sama terhadap tempat itu.

"Aku punya teman di sana." Jawabnya singkat, tak menjawab atau membenarkan apakah ia benar-benar anggota di sana atau bukan.

"Baiklah, aku siap kapan saja kau ajak!" Seru Irina, pria itu tertawa sekilas. Meski Irina tidak tahu apa yang ada di dalam sana.

Mereka berdua pun tiba di rumah Irina, pria itu pun turun dari mobil mengikuti Irina yang hendak memasuki rumah.

"Baiklah, aku harus pergi!" Kata pria itu, sesungguhnya Irina ingin sekali mengobrol dengan pria itu lebih lama lagi sembari menyuguhkannya secangkir kopi.

"Sekarang? Kau tidak ingin secangkir kopi?" Tanya Irina, sedikit mendongak saat berhadapan dengan pria itu karena bobot tubuhnya yang tinggi.

"Tidak, ada hal yang harus aku urus. Mungkin lain kali." Jawabnya, Irina mengangguk seraya tersenyum. Pria itu memberikan kunci mobil kepada Irina setelah Irina membuka pintu rumah.

"Jangan lupa mengunci rumah, kau sering lupa melakukannya!" Kata pria itu seolah perhatian kepada Irina.

Saat mereka berhadapan begitu dekat seperti ini, Irina baru sadar jika pria itu memiliki netra berwarna biru, sebiru laut. Indah sekali, namun tertutup dengan bulu mata yang cukup lentik dan alis mata yang tajam seolah selalu menghipnotis lawan bicaranya.

"Terimakasih sudah diantar!" Kata Irina, pria itu mengangguk.

Baru saja pria itu ingin pergi, Irina memangggilnya secara tiba-tiba.

"Eh, aku belum tahu siapa namamu!" Ujar Irina, pria itu berhenti meski baru berjarak beberapa langkah dari Irina. Lalu berbalik badan..

"Namaku Noah!" Jawabnya, suaranya tegas namun tetap ramah. Irina hanya mengangguk setelah akhirnya ia mengetahui nama pria tersebut.

Berjalan kaki semakin menjauh, sampai akhirnya siluet pria itu tak nampak lagi di pandangan Irina. Irina pun masuk ke dalam rumahnya lalu tak lupa mengunci pintu rumah.

Saat akan menaiki tangga menuju kamarnya sembari tersenyum mengingat kejadian malam ini, tiba-tiba anak tangga yang Irina pijak berdecit.

Menghentikan langkah Irina dan dada wanita itu tiba-tiba saja berdetak kencang.

"Dia mengetahui rumahku padahal aku tidak mengarahkan jalan padanya?"

Irina langsung berlari ke arah dapur, memastikan tidak ada makanan lagi di atas meja makannya. Namun ternyata, makanan itu ada di sana. Masih hangat seolah baru saja diantar.