Pagi-pagi sekali Irina berangkat bekerja..
Semalaman ia tidak tidur memikirkan hal semalam yang di luar nalar, dan bodohnya ia terpedaya begitu saja. Lucy sampai heran melihat tampilan Irina yang nampak lusuh dengan kantung mata menghitam, wanita itu hanya meninta data pada Lucy lalu kembali ke meja kerjanya begitu saja.
Tidak ada candaan, tidak ada sapaan di pagi hari atau sekedar membuat kopi. Irina buru-buru mengerjakan pekerjaannya, sembari menunggu pintu ruangan itu terbuka. Ada seseorang yang ia tunggu, dan seseorang itu berhutang penjelasan kepada Irina perihal kejadian semalam. Irina macam diteror oleh seorang penguntit yang menerobos ke rumahnya dan mengetahui segala pergerakan Irina.
Mulai dari makanan yang biasa Irina makan, tempat tinggal, bahkan pria itu bisa masuk ke rumahnya yang terkunci. Dan satu lagi, pria itu selalu tahu jika Irina selalu lupa mengunci rumahnya. Irina jadi berpikir apakah ia sedang berurusan dengan seorang Psikopat sekarang? Wanita itu tidak tahu jika pria itu mungkin lebih mengerikan dari pada seorang psikopat.
Hampir tengah hari Irina menunggu..
Ia sempat berpikir apakah tim audit tak lagi datang kemari sehingga tidak ada tanda-tanda dari pria itu lagi, jika iya, Irina tidak akan menemukan jawabannya.
Cekle...
Pintu berdecit, terbuka dan menampikan sosok pria itu lagi.
Pria yang semalam mengantarnya pulang dan membelikannya sebuah burger lengkap dengan kentang goreng dan juga minuman soda. Seperti de javu, kemarin terulang kembali. Tapi untuk kedua kalinya ini semakin mengerikan, melihat ada beberapa orang yang tiba-tiba berdiri lalu membungkuk saat pria itu melewati mereka.
Dan sempat melirik ke arah Irina sebelum akhirnya ia membuka pintu ruangan Deborah.
Mengapa tempat kerjanya seperti ini?
Nafas Irina terasa sesak, pria itu masih berhutang penjelasan kepadanya atas semua hal yang terjadi semalam. Namun tentu saja Irina tidak akan masuk ke dalam ruangan Deborah dan mencecar pria itu, akan sangat tidak sopan dan Irina bisa saja kehilangan pekerjaannya.
Sampai akhirnya jam makan siang tiba..
Irina tetap tak bergerak dari meja kerjanya menunggu pria itu keluar dari ruangan Deborah.
"Ir? Kau baik-baik saja?" Tanya Lucy yang sudah ada di hadapannya saat ini, sahabatnya itu seperti biasa akan mengajaknya makan siang di luar.
"Ya, aku baik-baik saja." Jawab Irina singkat.
"Ayo makan siang!" Ajak Lucy, namun Irina menolak.
"Kau duluan saja, ada sesuatu yang harus aku urus!" Sahut Irina, semakin membuat Lucy bingung.
"Irina, apa asa sesuatu?" Lucy mulai mengkhawatirkan Irina, wanita itu sedang tidak baik-baik saja terlihat dari raut wajahnya yang lesu.
"Nanti aku ceritakan, tapi sekarang ini bisakah kau meninggalkanku?" Pinta Irina, Lucy yang akhirnya mengerti hanya bisa mengagguk.
"Baiklah, beri tahu aku jika kau mau sekantung kentang goreng." Kata Lucy lalu berlalu pergi.
Mendengar kantung kentang goreng, membuat Irina menutup kedua matanya karena teringat kejadian semalam. Sampai pagi hari, Irina hanya memerhatikan makanan yang ada di meja makannya.
Tak lama, ketika ruangan kerja sudah sepi. Pintu ruangan Deborah terbuka dan sosok pria itu akhirnya keluar dari ruangan Deborah, sedari tadi Irina menunggu akhirnya keluar juga. Namun pria itu sepertinya tak menyadari jika Irina masih ada duduk di kursi kerjanya.
"Noah!" Panggil Irina tiba-tiba.
Pria itu sontak menghentikan langkahnya lalu berbalik badan ke arah dimana sumber suara, ia melihat Irina duduk di kursi kerjanya , tepatnya di sudut ruangan.
"Ya?" Ia menjawab dengan santai, seolah tidak ada apa-apa di antara mereka berdua semalam.
Irina kemudian berdiri menghampiri pria yang sempat memberitahu namanya adalah Noah.
Memperlihatkan raut wajah lelahnya kepada pria itu karena semalaman Irina tidak dapat tidur dibuatnya.
"Kau yang meletakan makanan itu setiap hari di rumahku?" Tanya Irina, kini jarak mereka tidak terlalu jauh.
"Tidak." Jawabnya lagi, terlalu singkat. Dan jawaban itu bukanlah jawaban yang Irina ingin dengar.
"Lalu bagaimana kau bisa tahu dimana letak rumahku?" Cecar Irina.
Raut wajah Noah sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi takut atau terkejut, pria itu malah menyunggingkan senyum.
"Aku senang kau tahu, dan aku tahu kau adalah wanita yang cerdas." Kata Noah, begitu saja. Irina sama sekali tidak mendapatkan jawaban apapun.
"Apa maksudmu?" Irina mulai emosi mendengarnya.
"Apa kau ingat tentang pengagum rahasia yang aku katakan semalam?" Noah mencoba mengingatkan Irina lagi.
"Jadi kau pengagum rahasiaku? Jadi kau itu apa? Penguntit? Psikopat? Apa kau membunuhku? Atau memakan dagingku?" Cecar Irina lagi, tapi Noah hanya tertawa ringan mendengarnya.
"Ya, mungkin juga." Racau Noah.
"Tapi bagaimana jika aku menginginkan jiwamu?" Pertanyaan Noah membuat Irina terdiam, jiwa, dalam arti apa? Apa itu menguntungkan bagi pria itu? Rasanya tidak.
"Bagaimana mungkin?" Tanya Irina dengan suara pelan.
Lalu perlahan Noah melangkahkan kedua kakinya agar lebih mendekat ke arah Irina yang tengah berdiri mematung. Kali ini aura Noah tidak seperti kemarin atau semalam, lebih terasa mengerikan dan berhasil membuat bulu kuduk Irina merinding.
"Aku ingin jiwamu, ikut bersamaku!" Bisik Noah di telinga Irina. Selesai mengucapkan kalimat itu, Noah menatap Irina dengan intens, kedua netra sebiru laut nan indah itu seolah menghipnotis Irina. Membuat tubuh Irina terdiam beku di tempatnya berdiri saat ini.
"Jangan berkedip!" Kata Noah lagi.
Irina mendongak begitu jemari pria itu membelai dagu kemudian rahang hingga sebelah pipinya, seolah jemari milik Noah begitu memabukan. Noah mengarahkan wajah Irina agar lebih mendekat kepadanya, sedikit membungkuk akhirnya Noah menjatuhkan kecupannya di atas bibir yang sedari dulu berwarna peach tersebut.
Sontak membuat Irina menutup kedua matanya merasakan sensasi panas di bibirnya, entah mengapa pria itu terasa sangat, panas..
Irina tiba-tiba melepaskan ciuman Noah, menatap lamat-lamat wajah itu yang malah menyengir ke arahnya.
Irina yang baru tersadar seolah ia baru saja dalam keadaan koma, langsung mendorong tubuh Noah agar menjauh darinya.
Pria itu hanya terkekeh didorong seperti itu, sedari dulu Irina adalah wanita baik-baik. Bahkan ia menikah tanpa hasil berpacaran terlebih dahulu, dan sama sekali tidak pernah merasakan hubungan sepasang kekasih seperti pada umumnya.
"Kau begitu naif!" Sindir Noah.
"Padahal aku tahu kau menikmatinya." Sambungnya, kali ini Irina terdiam.
"Bagaimana? Kau masih mau ke gedung itu? Aku bisa membawamu jika kau ingin." Kata Noah menawarkan.
"Aku akan ke sana jika teorimu masuk akal." Kata Irina menantang Noah.
"Teori?" Pria itu menaikan sebelah alisnya.
"Tentang orang-orang yang tidak taat!" Irina mulai mengulik hal-hal yang terasa aneh di kantor ini, termasuk cerita Lucy dan kenyataan bahwa Noah ternyata pernah masuk ke dalam gedung itu.
Noah tertawa renyah, menatap Irina lamat-lamat seolah Irina adalah mangsa yang empuk.
"Terkadang orang-orang yang ada di sekitarmu bukanlah orang-orang yang menyembah Tuhan, Irina. Tapi penyembah Iblis!" Kata Noah.
...
"Aku pasti sudah gila!" Racau Irina di perjalanan pulang, sesampai di rumah Irina bergegas mandi dan membersihkan diri. Ia tidak mau ke dapur dan melihat makanan itu lagi di atas meja, Irina memutuskan untuk langsung tidur tanpa makan malam terlebih dahulu. Namun saat ia baru saja mengenakan piyama tidurnya, Irina mendengar suara bel berbunyi.
Irina terdiam saat berkaca di depan cermin, ia mulai paranoid setelah semua keanehan di tempat kerja ditambah dengan seseorang yang menguntitnya dan berkata dia akan mengambil jiwanya.
"Tidak, jangan dia lagi!" Irina menghela nafas kasar, sembari mengumpat ia keluar dari kamar lalu turun ke lantai satu.
Saat Irina membuka pintu dan hendak marah kepada pria itu, Irina malah mendapati Lucy berada tepat di depan pintunya.
"Luce? Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Irina heran, Lucy masuk begitu saja ke rumah Irina tanpa Irina mempersilakan masuk wanita itu. Layaknya orang ketakutan, Lucy melihat ke arah luar jendela seolah memastikan sesuatu.
"Lucy, ada apa?" Tanya Irina mendekati Lucy yang wajahnya panik dan pucat.
"Ir, kau satu-satunya orang yang dapat ku percaya kali ini. Apa kau percaya padaku?" Lucy memegangi bahu Irina sembari sedikit mengguncangnya.
"Ya, Lucy. Ada apa?" Tanya Irina penasaran, Lucy sudah seperti orang yang dikejar oleh hantu.
"Pria itu, dia membawaku ke suatu tempat dan membiusku secara tiba-tiba. Saat aku terbangun, aku sudah tanpa busana di sebuah kamar." Tukas Lucy, jujur saja Irina sempat menganggap ini adalah lelucon.
"Luce, kau harus berhati-hati dalam memilih kenalan. Bisa saja dia mengambil kesempatan darimu."
"Bukan, Ir. Bukan! Ini bukan tentang keperawanan atau organ intim, aku bukan seorang perawan. Aku pernah melakukannya juga, tapi ada sesuatu yang aneh saat aku terbangun." Irina mengernyitkan dahi menunggu penjelasan Lucy.
"Pria itu mengenakan jubah hitam yang menutupi sekujur tubuhnya dan hampir menikamku dengan sebuah belati, aku berontak dan beruntung bisa lari dari sana."
Mendengar hal itu, tentu saja Irina khawatir.
"Luce, kau harus melaporkan hal ini kepada pihak berwajib. Ini bukan lagi tentang pelecehan, tapi hampir terjadi pembunuhan!" Kata Irina yang mulai panik.
"Tidak, tidak, Ir! Mereka punya kuasa, mereka memegang semua sistem di kota ini, mereka berpengaruh." Tubuh Lucy merosot terjatuh ke atas lantai sembari menangis sesegukan.
Irina juga ikut berlutut sembari menenangkan sahabatnya itu dengan mengelus pelan bahunya.
"Apa maksudmu, Ir? Mereka siapa? Pria itu siapa?" Irina hampir tak bisa menahan emosinya, Lucy menangis sejadinya tanpa menyelesaikan ceritanya.
"Katakan padaku!" Cecar Irina.
"Tim audit berambut putih..." Lucy berkata sembari terisak.
"Bukankah dia kepala tim audit yang kemarin ke kantor? Dia pernah mewancaraiku." Tanya Irina memastikan.
"Ya, hari ini aku disuruh lembur oleh Deborah. Saat aku bekerja sendirian, tiba-tiba pria itu muncul dan menawarkan sesuatu. Pasal seks, aku tentu saja tidak bisa menolaknya. Jadi aku mengikutinya hingga kami berhenti di sebuah gedung." Jelas Lucy.
Seketika Irina teringat akan satu hal.
"Gedung, apa?" Tanya Irina.
"Gedung yang satu arah dengan arah rumahmu ini." Jawab Lucy, tubuh Irina lemas seketika. Ia ikut terduduk bersama Lucy di atas lantai dengan pintu rumah yang masih terbuka, cahaya rembulan masuk menyinari mereka berdua.
Entah semua ini sebuah kebetulan atau tidak..
Irina mulai berpikir kalau tim audit dan hampir semua pekerja di perusahaan itu adalah sebuah kumpulan organisasi atau komunitas yang bertanggung jawab atas kejadian yang dialami Lucy.
Gedung itu, Noah dan juga perusahaan.
Semuanya perlahan mulai terkuak.
Tapi Irina tak ingin gegabah dan tak ingin Lucy tahu, wanita itu terlihat syok dan trauma.
"Baiklah, kau tinggal bersamaku di sini. Sampai kau aman, untuk sementara lebih baik kau tidak usah bekerja!" Kata Irina, Lucy pun mengangguk. Sepertinya tim audit datang ke kantor bukanlah untuk memeriksa semua berkas atau data, tapi lebih tepatnya mencari sasaran yang entah untuk apa.
Pantas saja pria berambut putih yang mewancarai Irina waktu itu di ruangan meeting, malah bertanya pasal Tuhan dan keyakinan.
Dan semua itu, berhubungan dengan semua perkataan Noah dan sering kali Noah menyelipkan tentang sebuah paham di kalimat-kalimatnya.
Kepercayaan, pembunuhan, jiwa?
Apa mereka semacam perkumpulan atau sekte sesat?
Irina bukanlah wanita yang bodoh, ia adalah wanita yang cerdas dan cepat mengambil kesimpulan. Meski ia belum bisa membuktikannya.
Malam ini, Lucy menginap di rumah Irina. Atau lebih tepatnya, pindah sementara sampai keadaan membaik dan soal pekerjaan, Lucy tak ingin lagi bekerja di sana dan memutuskan untuk berhenti.
Malam ini lagi-lagi Irina tidak bisa tidur, sesekali ia turun ke lantai satu untuk memastikan tidak ada yang mengikuti Lucy sampai ke sini. Dan tentu saja ia harus tetap waspada terhadap Noah, karena pria itu adalah salah satu tim audit yang aneh itu. Beruntung Noah belum sempat membawa Irina ke gedung itu.
Yang ternyata banyak menyimpan misteri...
Melihat Lucy tertidur di atas ranjangnya, Irina ikut berbaring di sebelah Lucy berharap ia bisa tidur nyenyak juga. Irina memejamkan mata setelah menyelimuti sebagian tubuhnya, baru saja ia terlelap ke alam mimpi. Tiba-tiba sosok bayangan Noah muncul di mimpinya.
Rasa panas menjalar di sekujur tubuh Irina, padahal pendingin ruangan masih menyala namun lama-kelamaan peluh mulai membanjiri suluruh tubuh Irina.
Dari kejauhan Noah berpakaian seperti biasa, coat berwarna hitam dan baju dalam berwarna senada. Mendekati Irina yang nampak menunggu kedatangan pria itu, di kelilingi oleh lautan api yang panas seolah akan membakar mereka.
Namun semakin panas suhu yang ada di sana, semakin panas pula hasrat liar yang dirasa. Entah mengapa tiba-tiba Irina ingin Noah menyentuhnya, melepaskan seluruh pakaiannya tanpa sehelai benang pun hanya demi dilihat oleh Noah. Perlahan tapi pasti, jemari Noah akhirnya menyentuh kulit mulus Irina dengan sesekali menggodanya dengan jemari Noah.
Semakin lama sentuhan itu semakin panas, tanpa Irina sadar tubuhnya melengking menahan hasrat liar itu saat dirinya masih tertidur di atas ranjang. Membelai leher jenjang lalu turun membelai bagian dada Irina dan berhasil membuat wanita itu melenguh nikmat, hingga akhirnya Noah berbisik di telinga Irina yang masih teringat jelas bahkan setelah Irina terbangun.
"Kau telah ku tandai semenjak darah menetes dari tangkai bunga mawar merah..."