Setelah perceraian, Irina berusaha mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lewan koran, laman berita bahkan poster-poster yang terpajang di dinding gedung maupun tiang listrik. Sampai akhirnya, Irina mendapati sebuah lowongan dari koran yang sesuai dengan kriteria dirinya.
Dibutuhkan segera seorang akuntan di sebuah kantor yang bergerak di bidang jasa keuangan!
Tentu saja hal itu menarik perhatian Irina, ia segera mengirim CV lewat email yang terdaftar di sana. Sembari mencari lowongan yang lain karena ia sudah lelah berharap pada satu lowongan saja, mengingat sudah ada banyak CV yang ia kirim. Tapi anehnya, hanya selang hitungan detik, emailnya dibalas oleh pihak perusahaan.
Irina yang duduk di meja kerja di kamarnya, yang dulunya milik Denis, terdiam seketika melihat ke arah layar laptopnya. Apakah biasanya secepat ini balasan dari pihak perusahaan? Apakah mereka sudah membaca CVnya? Irina hanya berharap ini bukanlah penipuan, tapi sepertinya, alamat yang tertera di lowongan adalah alamat yang resmi.
"Interview? Besok? Apakah aku bermimpi?" Kata Irina kepada dirinya sendiri saat ia berada di rumah sebesar ini seorang diri. Padahal, teman-teman seangkatannya dulu sempat bercerita bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah. Kata mereka Irina beruntung tidak perlu bekerja dan menikah dengan seorang dokter yang sudah mapan.
Ya, itu hanyalah sebuah awal yang tidak menjamin akhir yang bahagia.
Irina yang berantusias untuk interview besok, segera menyiapkan segalanya. Mulai dari menyetrika pakaian yang formal, heels yang formal serta tas dan tatanan rambut yang rapih. Mengenakan masker wajah dan rambut sedari semalam agar besok wajahnya terlihat bugar, beberapa minggu hidup seorang diri tak membuat Irina kesepian karena ia memang sudah terbiasa dengan kesendirian.
Pagi-pagi sekali Irina terbangunkan oleh alarm jam yang ada di atas nakas, mandi, lalu membuat sarapan. Setelah itu mempersiapkan diri dan tak lupa berkas-berkas yang sekiranya akan dibutuhkan nanti. Jam menunjukan pukul delapan pagi, Irina mengambil kunci mobil berniat untuk segera pergi.
Di sepanjang jalan Irina menyalakan musik di mobilnya, tersenyum riang karena sebentar lagi ia akan bekerja dan memulai karirnya. Cita-cita yang sempat tertunda selama dua tahun, tapi Irina tak menyesalinya. Lagi pula, ia tidak memiliki seorang anak. Irina bisa kemana pun yang ia mau tanpa harus mengkhawatirkan apapun.
Ia juga sudah mengantongi ijin dari kedua Orang Tuanya untuk bekerja.
Saat musik melantunkan sebuah lagu riang, lagi-lagi Irina harus melewati gedung yang sampai saat ini masih selalu ramai. Dengan orang-orang dan kendaraan yang sama persis seperti sebelum-sebelumnya saat ia selalu melewati jalanan ini.
Dan entah mengapa, gedung itu seakan menarik Irina untuk pergi ke sana. Sebenarnya Irina ingin ke sana, tapi saat ini ia belum memiliki pemasukan dan Irina khawatir jika nanti di perkumpulan itu tiba-tiba memungut biaya. Hingga pada akhirnya, Irina memutuskan untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu.
Sampai di alamat yang dituju, Irina memakirkan kendaraannya lalu memasuki gedung perkantoran yang cukup mewah di kota itu. Menunjukan berkasnya kepada resepsionis, tanpa harus menunggu anehnya Irina langsung diarahkan ke ruangan HRD.
"Halo, selamat pagi!" Ujar seorang pria yang begitu rapih dengan usia sekitar empat puluh tahunan, di meja kerjanya tertulis Mr. Darren di sana.
"Halo, selamat pagi, Pak!" Irina menyalami pria itu dan akhirnya dipersilakan duduk.
Sesi interview pun dimulai, cukup lama dan cukup canggung bagi Irina yang untuk pertama kalinya melakukan interview seperti ini. Setelah selesai interview, Irina menunggu di luar ruangan HRD. Dan untuk kedua kalinya, hal yang aneh bagi Irina adalah, tidak ada orang lain yang melakukan sesi interview selain Irina.
Padahal, lowongan pekerjaan ini terpampang jelas di media yang cukup terkenal. Apakah pekerjaan di jaman seperti ini sudah tidak dibutuhkan lagi oleh orang-orang? Oleh sebab itukah berkas lamarannya cepat diproses dan ditanggapi.
"Mrs. Irina?!" Seru seseorang dari balik pintu ruangan yang bukan berasal dari ruangan Mr. Darren.
"Ya?" Irina segera bangkit dari duduknya dan menghampiri orang tersebut, seorang pria muda yang Irina kira-kira tak jauh usianya dari Irina. Mempersilakan Irina masuk ke ruangan dan mulai mengambil foto dengan pose formal Irina.
"Maaf, boleh saya tahu untuk apa?" Irina belum meng-iyakan pengambilan foto.
Ia masih berdiri memegangi tasnya saat pria itu menyuruhnya untuk duduk.
"Kau Irina, 'kan? Yang akan mulai bekerja besok? Fotomu akan digunakan untuk identitas pengenal, jadi besok pagi sudah bisa kau ambil dan dikenakan." Kata pria itu, jujur saja Irina sedikit bingung di sini.
Bertanya-tanya dalam hati apakah ia sudah diterima bekerja di perusahaan ini? Tapi entah mengapa bibir Irina terasa kelu untuk bertanya lagi dan akhirnya memilih untuk duduk.
Cekrek!
Satu gambar berhasil diambil, wanita muda berambut pirang lurus yang masih sangat cantik di usianya yang masih dua puluh enam tahun.
Tanpa ada yang mengira bahwa Irina bukanlah seorang gadis lagi.
"Baiklah, itu saja! Sekarang kau boleh pergi ke ruangan di pojok sana, buka saja pintunya dan kau akan bertemu dengan seorang wanita yang akan membawamu ke meja kerjamu dan mengenalkan beberapa rekan kerja yang ada di sini. Lagi-lagi hal aneh terjadi, tapi entah mengapa Irina hanya mengangguk saja lalu keluar dari ruangan itu dan menuju ruangan yang ada di pojok sana.
Melewati ruangan Mr. Darren yang terdengar ada suara tawa di dalam sana, yang anehnya ada suara perempuan juga selain suara Mr. Darren.
Cekle..
Begitu Irina memasuki ruangan pojok yang diarahkan oleh pria tadi, Irina mendapati ruangan yang cukup luas. Terdapat sekat-sekat di setiap meja kerja seperti kantor pada umumnya. Ada banyak orang yang sepertinya sedang sibuk di sana, Irina terdiam ketika semua orang memerhatikannya setelah membuka pintu. Namun seorang wanita bertubuh tinggi nan seksi segera menghampiri Irina dengan senyum ramah.
"Hai, kau pasti Irina karyawan baru. Aku Deborah, aku adalah atasanmu dan akan menjelaskan pekerjaanmu selama kau di sini!" Irina sempat terkejut, wanita itu terlihat seperti pemain fim dewasa dari pada wanita kantoran pada umumnya. Lipstrik merah menyala, setelan kerja yang terlihat kekecilan hingga menampilkan tubuhnya yang meliuk indah. Dilengkapi kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, serta rambut curly yang dicat berwarna merah terang.
Deborah memperkenalkan satu per satu karyawan yang ada di sana beserta posisi jabatannya masing-masing, namun Irina tidak dapat menghafal semuanya karena terlalu banyak. Hingga mereka tiba di sebuah meja kerja yang kosong tepat di ujung ruangan.
Namun bersebelahan dengan kaca dan hal itu membuat Irina sedikit lega, karena ia tak begitu menyukai tempat sempit dan tertutup. "Ini adalah meja kerjamu, kau bisa mengatur sesukamu asal jangan terlalu berlebihan!"
"...dan ini adalah, jobdeskmu! Kau akan mendapatkan data harian dari Lucy, yang ada di depan sana. Setelah itu data bisa kau olah lalu kirimkan kepadaku!"
"...ada waktu-waktu tertentu untuk mengirim laporan, dan aku tidak suka ada keterlambatan. Ada tambahan laporan mingguan dan bulanan, dan mungkin akan membuatmu lembur hingga malam." Jelas Deborah panjang lebar, Irina sangat paham apa yang dijelaskan oleh wanita itu.
Sesimpel ini, bekerja di perusahaan bidang jasa keuangan?
Entahlah, ini adalah pekerjaan pertama Irina. Tak mudah mencari pekerjaan dengan posisi bagus seperti ini dan Irina bersyukur dirinya tidak harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan ini.
"Baiklah, kau mulai bekerja besok, 'kan? Kau bisa kembali ke Mr. Darren dan menandatangani kontrak kerjamu." Ujar Deborah lalu pergi begitu saja ke sebuah ruangan yang ada di belakang meja kerja Irina.
Yang Irina duga adalah ruangan kerja Deborah.
Irina akhirnya meninggalkan ruangan itu, tapi ada lirikan sinis dari beberapa orang yang bekerja di sana kepada Irina. Seperti Lucy yang Irina ingat namanya karena setiap hari ia harus meminta data dari wanita itu.
Tok... tok... tok...
Irina membuka pintu ruangan Mr. Darren setelah ada suara dari dalam sana yang menyuruh Irina masuk, ternyata benar apa yang ia dengar tadi. Ada seorang wanita mengenakan setelan formal entah apa jabatannya di kantor ini, wanita itu nampak ramah seperti Deborah namun terlihat liar untuk ukuran wanita kantoran, pikir Irina.
Apakah style fashion wanita kantoran di jaman ini memang seperti ini? Tanya Irina dalam hati.
Wanita itu memberikan Irina sebuah kontrak kerja dengan perusahaan kepada Irina, Irina ingin membaca terlebih dahulu kontrak tersebut. Tapi sepertinya, wanita itu tidak mengijinkan Irina untuk membacanya.
"Bisa kau percepat tanda tangannya? Mr. Darren dan aku harus pergi ke suatu tempat yang sangat penting." Kata wanita itu.
Irina yang merasa tidak enak dan tidak ingin kehilangan kesempatan ini hanya bisa mengangguk lalu menandatangani kontrak tersebut tanpa berpikir panjang, sementara Mr. Darren dan wanita itu saling melihat satu sama lain seraya tersenyum sinis.
"Baiklah, Mrs. Irina. Kau bisa mulai bekerja besok karena Deborah sangat membutuhkan posisi tersebut dengan segera, mohon maaf jika harus secepat ini! Besok pagi kau boleh mengambil kartu identitasmu dan bisa mulai bekerja! Selamat ya!" Mr. Darren mengulurkan tangannya, dengan senang hati Irina menjabat tangan Mr. Darren meski tangan dan jemari pria itu terasa dingin di kulit tangan Irina.
Tak kalah dingin dari Mr. Darren, tangan wanita itu juga terasa dingin layaknya mayat hidup yang tak memiliki suhu tubuh panas dan aliran darah. Dan yang lebih mengherankan lagi, wanita itu menjabat tangan Irina cukup kuat dan cukup lama. Hingga membuat Irina tersenyum kikuk sembari menahan sakit di tangannya.
Entah Irina harus berbuat apa, haruskah ia menjerit atau berpura-pura baik-baik saja.
Setelah wanita itu melepaskan tangannya, Irina dipersilakan untuk pergi dan kembali besok pagi untuk memulai pekerjaannya. Interview yang begitu aneh, pikir Irina.
Di hari yang sama ia mendapatkan pekerjaan itu, namun seperti masuk akal karena Irina tidak memiliki saingan. Ya, masuk akal karena katanya Deborah membutuhkan posisi itu segera. Irina keluar dari gedung perkantoran itu setelah menyapa sang resepsionis tadi. Hari sudah siang dan ia butuh makan siang, tepat di seberang jalan ada sebuah restoran cepat saji.
Karena perut Irina yang mulai bergejolak, Irina memutuskan untuk makan siang di sana meski hanya seorang diri. Karena memang dirinya sudah terbiasa sendirian.
Setelah memesan dan mengambil duduk, Irina menyantap burger dan segelas cola tak lupa dengan kentang gorengnya. Hari ini cukup singkat dan tidak memakan waktu lama untuk seseorang memperoleh pekerjaan.
Setelah ini ia akan mengabari kedua Orang Tuanya dan berkata bahwa ia sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, mendapatkan pekerjaan di usianya yang masih relatif muda. Dan tak lupa dengan perkumpulan itu, Irina ingin sekali pergi ke sana, berharap ada sesuatu yang membuat hidupnya sedikit lebih berwarna.
Mungkin mencari suami baru..
Heh!
Entahlah!
Sampai detik ini, Irina belum melupakan perselingkuhan mantan suaminya kepada dirinya.
Kekasih, mungkin iya.
Tapi menikah, sepertinya Irina lebih nyaman hidup seorang diri. Meski itu artinya menua seorang diri tanpa ada siapa pun yang menemaninya.
Terlalu lama melamun, tanpa sadar makanan Irina sudah habis. Irina melihat ke sekitar mengapa restoran ini hanya ada satu, dua pengunjung padahal berada tepat di pusat kota dan berseberangan dengan perkantoran. Rasa makanannya pun cukup lezat, apa semua orang membawa makanan dari rumah untuk makan siang? Jika iya, hal itu benar-benar akan merepotkan Irina di setiap paginya.
Irina ingin berdiri dari duduknya, namun saat ia ingin menggeser kursinya, kursi tersebut tertahan dengan orang yang duduk tepat di belakangnya. Irina sempat mengumpat dalam hati, ada banyak kursi dan meja yang kosong di sana. Tapi entah mengapa lebih memilih di belakang Irina hingga Irina kesulitan berdiri.
Orang itu juga sepertinya tidak meminta maaf kepada Irina dan hanya asik dengan makanannya, Irina tak melihat pasti wajahnya, karena tertutup oleh tudung jaket yang menutupi kepala bagian belakangnya.
Irina menghembuskan nafas panjang, lalu berlalu pergi meninggalkan restoran itu. Menuju ke kendaraannya yang masih terparkir manis di depan gedung perkantoran yang besok akan segera ia tempati.
Irina tak henti-hentinya tersenyum mengingat hal itu, ia lalu pergi menuju ke arah rumahnya yang lumayan jauh dari area perkotaan. Tepatnya rumah yang diberikan oleh Denis.
Karena lagi-lagi harus melewati gedung itu, Irina kembali menoleh ke sana. Ada banyak kendaraan dengan pintu utama gedung tertutup rapat.
Sepertinya forum diskusi itu cukup menarik, terbukti dari semua orang yang selalu konsisten pergi ke sana setiap hari. Irina semakin tidak sabar untuk pergi ke sana, ia kembali melajukan kendaraannya sampai di rumah. Masuk ke dalam rumah membuka heels dan juga tasnya, lalu berbaring di atas sofa melepas penat.
Hari mulai sore, Irina mengunci pintu lalu naik ke atas menuju kamarnya untuk mandi. Membuka seluruh pakaian dan memasuki kamar mandi, air hangat mengguyur seluruh tubuh Irina sangat membuat tubuhnya yang tadinya letih menjadi rileks kembali. Usai acara mandi yang cukup lama, Irina kembali ke lantai satu menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Namun anehnya, ada sebuah burger lengkap dengan kentang goreng dan minuman soda di atas meja makannya.