Tahun-tahun pertama bekerja di kantor ini, sama seperti kantor pada umumnya. Pergi bekerja di pagi hari, dan sore pulang bekerja. Hari-hari terus berlalu seperti itu, sampai Irina lupa dengan sebuah gedung yang sering ia lewati. Mungkin karena sekarang gedung itu telah sepi, dan Irina mulai sibuk dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya.
"Psssttt!" Kedua mata dengan bulu mata lentik milik Irina melirik ke arah sumber suara. Lucy, wanita yang dulu sempat meliriknya sinis kini menjadi teman dekatnya. Lebih tepatnya sahabat..
Ia dan Lucy adalah satu-satunya pegawai kantor yang selalu makan siang di luar, tidak seperti semua orang yang membawa makanan dari rumah.
Lucy menunjuk ke arah jam dinding, waktu mulai menunjukan jam istirahat beberapa menit lagi. Wanita itu memberi isyarat agar mereka segera mencari makan siang karena sahabatnya itu sangat mencintai makanan, tapi Irina menggeleng. Deborah adalah sosok atasan yang lumayan garang dan tidak dapat mentorelansi apapun, termasuk jam kerja meski hanya satu detik.
Lucy yang paham penolakan Irina, hanya bisa uring-uringan di meja kerjanya. Irina tersenyum melihat Lucy, jujur perutnya pun juga bergejolak. Tapi Irina ingin karirnya bagus dan penilaian atasan kepadanya bersih, ia harus menjadi karyawan teladan agar cepat naik gajih ataupun promosi jabatan.
Pekerjaan Irina sudah selesai, ia pun menunggu jam makan siang sembari duduk termanggu menatap ke arah jam dinding. Tidak ada obrolan antara sesama pekerja karena di dalam sana Deborah selalu memantau meski hanya dengan telinganya, dan sepertinya orang-orang di kantor ini terlalu gila bekerja.
Cekle...
Pintu utama ke ruangan kerja ini tiba-tiba terbuka.
Sesosok pria memasuki ruangan seorang diri tanpa ada siapa pun di belakangnya, Irina tidak pernah melihat pria ini sebelumnya meski sudah bekerja di sini selama beberapa bulan lamanya. Tubuhnya tinggi, dibalut dengan jas dan juga coat serta sepatu berwaena hitam yang mengkilap.
Langkahnya begitu tenang sehingga membuat semua orang terhipnotis melihat ke arahnya, dan ada satu hal yang terasa aneh bagi Irina. Ada beberapa orang yang berdiri dari duduknya, padahal sedang fokus bekerja. Lalu membungkuk ketika pria itu berjalan melewati mereka, tentu saja hal itu membuat Irina dan beberapa orang yang lain terheran serta bingung dibuatnya.
Seolah pria itu begitu dihormati dan dikenal oleh beberapa orang di kantor ini, Lucy pun sampai melihat ke arah Irina. Anehnya, Irina tak melepaskan pandangan ke arah pria itu. Sedangkan, pandangan pria itu hanya lurus ke arah pintu ruangan Deborah, tapi sempat menoleh ke arah meja kerja Irina, hingga akhirnya pria itu membuka pintu ruangan kerja Deborah.
"Ir.... Irina?!" Seru Lucy yang ternyata sudah ada di hadapan Irina, seolah baru tersadar.
"Ayo makan siang! Aku memanggilmu sedari tadi, tapi kau hanya melamun." Tukas Lucy.
"Benarkah? Berapa lama?" Tanya Irina, anehnya debaran jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya.
"Cukup lama, sepertinya kau terkena hipnotis pria tampan yang memiliki jabatan tinggi seperti CEO, layaknya di novel-novel terkenal." Sindir Lucy, Irina tak menjawab. Mereka pun akhirnya pergi keluar mencari makan siang, meski Irina sempat melirik ke arah pintu ruangan Deborah yang tertutup.
"Apa kau lihat itu tadi?" Tanya Irina seolah ia masih berada di dalam hipnotis.
"Apa?" Tanya Lucy, mereka berdua memasuki restoran cepat saji di depan kantor.
"Semua orang membungkuk layaknya memberi hormat, kau tahu siapa dia?" Tanya Irina sembari menunggu pesanan mereka.
"Entahlah, aku baru bekerja tiga tahun dan aku bukan seorang babygirl yang mempunyai koneksi bos-bos berdasi." Lucy masih saja acuh meski mereka baru saja mengalami keanehan.
"Sebenarnya tidak semua orang, hanya beberapa orang saja. Dan setahuku, orang-orang tersebut adalah orang-orang lama. Jadi wajar saja mereka tahu siapa pria itu tadi." Irina mendengarkan penjelasan Lucy, kini mereka duduk berhadapan sembari menyantap makan siang.
Well, mungkin Lucy benar.
Mungkin Irina saja yang terlalu paranoid akan hal-hal kecil semenjak perselingkuhan mantan suaminya, ia melanjutkan makan siangnya tanpa berpikir apapun lagi.
"Itu bukan hal aneh pertama yang aku alami." Tiba-tiba Lucy membuka suara, Irina yang baru saja berusaha berpikir positif, langsung menarik kursi yang ia duduki agar lebih mendekat kepada Lucy.
"Kau pernah mengalami hal aneh lainnya?" Tanya Lucy begitu antusias, wanita itu mengangguk sembari mengunyah kentang gorengnya.
"Aku baru satu tahun bekerja di sana. By the way, aku bisa bekerja di sana karena rekomendasi temanku."
"Oh, ya? Bagaimana temanmu bisa tahu tentang perusahaan itu?" Irina balik bertanya.
"Entahlah." Lucy menaikan bahunya acuh.
"Yang terpenting, aku bekerja sekarang."
"Lalu, dimana temanmu itu?" Tanya Irina lagi.
"Dia sudah meninggal dunia, dua tahun setelah membantuku masuk bekerja di sana." Jawab Lucy, Irina terdiam kali ini. Keningnya berkerut ketika semua hal semakin aneh baginya.
"Uhm... lalu, hal aneh apa yang kau bicarakan tadi?" Irina berusaha mengganti topik pembicaraan karena merasa tak enak ketika mendengar Lucy menyinggung perihal kematian temannya.
"Malam itu, pekerjaanku masih banyak. Deborah sampai mengomel padaku karena pekerjaanku tak kunjung selesai hingga malam tiba, padahal biasanya. Wanita itu yang selalu menyuruh anak buahnya untuk bekerja lembur, tapi malam itu, aneh sekali."
"...hingga pada akhirnya, tepat di jam sepuluh malam. Deborah menyuruhku pulang dan mengerjakan pekerjaanku di rumah, tentu saja aku senang pada waktu itu. Tapi..." Lucy berhenti di ujung kalimatnya yang membuat Irina semakin penasaran.
"Tiba-tiba saat aku ingin keluar dari gedung, baru saja lift terbuka. Ada banyak orang yang mendatangi gedung itu, tidak ada yang aku kenal satu pun. Aku pikir mereka adalah para petinggi pemilik perusahaan atau rekan bisnis, investor atau semacamnya."
"Aku keluar dari gedung, melihat ke lantai paling atas tepat dimana ruangan kerja kita berada, karena semua dinding luar terbuat dari kaca. Jadi aku bisa melihat secara jelas dari bawah sana."
"Tapi kau bilang kepada siapa-siapa ya? Ini hanya rahasia kita berdua, karena kalau sampai bocor, bisa-bisa Deborah akan memecatku!" Irina menghela nafas panjang, Lucy malah berhenti bercerita.
"Iya, aku tidak akan membicarakan hal ini kepada siapa pun." Jawab Irina.
"Baiklah, malam itu sudah sangat sepi. Tidak ada siapa pun hanya ada petugas keamanan yang berjaga di bawah, dan dari bawah, ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah. Aku melihat ada cahaya merah gelap tepat di ruangan kerja yang kita tempati sekarang ini." Kata Lucy, Irina bergidik ngeri. Entah karena apa, tidak ada hantu di dalam cerita Lucy.
Tapi cahaya merah..
"Apa ada pertemuan?" Tanya Irina berusaha berpikir positif.
"Pertemuan dengan cahaya lampu berwarna merah? Kau pikir aku ini bodoh? Di perusahaan sebesar itu? Dan masih ada Deborah di atas sana." Kata Lucy sembari menujuk ke arah gedung perkantoran tempat mereka bekerja.
Irina menoleh ke belakang melihat gedung perkantoran itu, tidak ada yang aneh dan menyeramkan jika dilihat dari luar. Malah terlihat lebih modern dari pada gedung-gedung yang ada di sebelahnya, tapi setelah mendengar cerita Lucy. Irina jadi makin heran, karena dari awal Irina berteman dengan Lucy, wanita itu rasanya tidak pernah berbohong.
Jam makan siang telah usai, Irina dan Lucy telah berada di kantor sebelum Deborah mulai memulai omelannya. Tidak ada yang boleh datang terlambat dan pulang sebelum waktunya, Deborah sangat disiplin. Tidak heran jika Mr. Darren selalu mengandalkan Deborah, dan hal yang menganehkan lainnya. Deborah seperti tidak pernah sakit.
Tidak pernah cuti, tidak pernah ijin, tidak pernah tidak masuk bekerja. Seolah wanita itu tidak memiliki keluarga dan prioritas lain selain bekerja.
Terlarut dalam pikirannya sendiri, Irina tak sadar jika ternyata sudah ada seseorang di sampingnya. Sedari tadi ia hanya menoleh ke arah kaca melihat gedung-gedung pencakar langit yang ada di kota ini.
"Mrs. Irina?" Irina terkejut, mendengar suara itu hingga akhirnya ia menoleh ke arah kanan dan melihat sudah ada Deborah di sampingnya dengan kedua tangan berkacak pinggang. Lucy yang melihat dari kejauhan hanya bisa mengelus dahinya sendiri melihat temannya sedang sial, sedari tadi Deborah di sampingnya memanggil Irina.
Tapi Irina layaknya seorang putri yang sedang memandang pemandangan indah di luar sana.
"Eh, Miss Deborah!" Irina tersenyum kikuk.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Irina berusaha profesional, namun anehnya Deborah tak pernah memarahi Irina.
"Ya, bisa kau ke ruanganku sebentar? Tim audit sudah ada di dalam menunggu semua datamu selama hampir setahun bekerja." Ujar Deborah.
Irina menelan salivanya sendiri, di dunia akuntan dan administrasi, tim audit seperti malaikat pencabut nyawa. Jika ada kesalahan sedikit saja, pekerjaanmu akan hilang begitu saja dan karirmu akan berakhir. Dan selalu saja, tim audit datang secara tiba-tiba. Hal itu memperjelas pria yang datang tiba-tiba siang ini.
"Baiklah, Miss." Jawab Irina, memelankan suaranya karena ia sendiri tidak terlalu berani menghadapi tim audit.
Deborah masuk terlebih dahulu, Irina membenarkan pakaian dan tampilannya karena sepertinya ada banyak orang di dalam ruangan Deborah. Ia mengikat rambut pirang lurusnya agar terlihat lebih rapi.
Sebelum akhirnya Irina mengetuk pintu ruangan Deborah, untuk pertama kalinya Irina menapakan kedua kakinya memasuki ruangan ini. Ruangan itu begitu dingin, mungkin karena hanya diisi oleh satu orang tidak seperti ruangan kerja Irina yang terdapat banyak orang. Suhu ruangan ternyata juga berpengaruh pada suhu tubuh, ditambah di dalam ruangan Deborah sudah ada beberapa pria duduk di sana.
Termasuk pria yang siang ini melirik ke arah Irina sebelum ia memasuki ruangan kerja Deborah..
Ada meja kerja di sudut ruangan yang sepertinya milik Deborah, dan ada meja panjang yang biasa digunakan untuk meeting. Di sanalah semua pria itu duduk berjejer berhadapan dengan Irina yang masih berdiri menunggu perintah selanjutnya.
"Kau boleh duduk Miss Irina!" Ujar Deborah yang berada di meja kerjanya. Deborah mengangguk seraya menarik kursi, menimbulkan decitan yang cukup nyaring di ruangan yang sunyi ini.
Ia duduk dengan perasaan canggung, berhadapan dengan empat pria yang katanya adalah tim audit. Sementara pria yang siang tadi duduk di ujung di antara jajaran tim audit.
Tak memandang sedikit pun ke arah Irina..
"Miss Irina?" Ujar seorang pria yang berada tepat di hadapan Irina.
"Ya?"
"Hanya, Irina?" Tanya pria itu lagi.
"Iya, Pak!" Jawab Irina.
"Kami di sini tidak akan menanyakan perihal pekerjaan, karena kami tahu kau adalah lulusan terbaik di kampusmu. Dan adalah yang sangat tidak pantas jika kami yang ada di sini meragukan kemampuanmu." Katanya panjang lebar.
Di sini Irina merasa sangat bingung, entah harus bahagia dan besar kepala atau sebaliknya. Ini adalah pekerjaan pertama Irina, dalam hati ia bertanya-tanya apakah pekerjaan memang selalu seperti ini?
Irina yang tidak bisa menjawab hanya tersenyum kikuk..
"Sebaliknya, kami hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan mengingat ini adalah tahun pertamamu bekerja, dan kau akan melanjutkan kontrakmu, benar begitu?" Tanya pria itu lagi.
"Benar, Pak!" Irina mengangguk.
"Baiklah, ku harap kau tidak akan bosan bekerja di sini, Miss Irina!"
Irina menggeleng, ia sangat menyukai pekerjaannya tentu saja. Kedua Orang Tuanya pun mendukung penuh keinginan Irina untuk bekerja.
"Apa pegangan hidupmu, Miss Irina?" Tanya pria itu, pada awalnya Irina menganggap ini hanya pertanyaan psikotes yang diajukan ketika mengajukan lamaran pekerjaan.
Dan sesungguhnya, jika Irina ingin menjawab jujur. Ia sama sekali tidak memiliki pegangan hidup.
Mungkin hanya keberuntungan..
"Apa kau percaya Tuhan, Miss Irina?" Tanyanya lagi, seolah tahu jika Irina tidak bisa menjawab pertanyaan pertama tadi dan hanya diam saja.
Kali ini Irina mengangguk.
"Ya, Pak! Aku percaya Tuhan." Jawab Irina meski ia sendiri bukan wanita yang taat pada agama.
"Baguslah, kalau kau percaya pada Tuhan dan bukan kaum liberal atau pun atheis. Itu artinya kau mempercayai adanya surga dan neraka, sementara kehidupan di dunia ini hanya sebuah kefanaan." Irina mulai menyatukan kedua alisnya di saat kebingungan mulai melanda.
Entahlah, semenjak kecil Irina adalah gadis baik-baik yang berasal dari keluarga baik-baik.
Menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami, hingga pada akhirnya keyakinan itu luntur semenjak sang suami mengkhianati dirinya. Irina kini berada di ambang antara masih percaya kepada ideologi kepercayaan atau hanya sekedar melanjutkan kehidupan saja.
"Sejujurnya saya bukan orang yang taat, Pak!" Jawab Irina, semua orang yang ada di dalam ruangan tesebut termasuk Deborah dan pria tadi sontak melihat ke arah Irina.
Mengulik lebih dalam memastikan raut wajah Irina tidak berbohong.
"Sayang sekali, kami lebih suka dengan orang taat. Tapi kau pasti memiliki alasan tersendiri mengapa kau jauh dari Tuhan." Kata pria yang sedari tadi mengajukan pertanyaan kepada Irina.
"Putus asa, depresi, tidak ada kepercayaan kepada manusia?"
"Ya, semua itu, iya." Irina langsung menjawab tanpa jeda, pria itu begitu tenang selama mengajukan pertanyaan kepada Irina.
"Rasa sesal bisa membuat siapa pun menjauhi Tuhan. Itulah mengapa ada istilah, jika kau dekat dengan Tuhan. Hidupmu akan semakin diberi banyak cobaan." Kata pria itu, hal itu tentu saja membuat Irina berpikir.
Apakah mungkin itu sebabnya hidupnya sekarang menjadi lebih baik dari sebelumnya?